BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI HUTAN
MANGROVE
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi
oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan
mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang
hidup di darat dan di laut. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa
Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macneae
1968 dalam Anonim 2009). Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan
pasang – surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun
komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan
untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan
komunitas tumbuhan tersebut. Nybakken (1988) mengatakan bahwa hutan mangrove
adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai
tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove tumbuh
disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis.
B.
HUTAN MANGROVE DI TAHURA NGURAH RAI BALI
Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai merupakan suatu
kawasan hutan bertipe hutan payau yang selalu tergenang air payau dan
dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi utama di Tahura ini adalah tanaman
mangrove. Tahura ini ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada tahun
1993 yang mempunyai luas sekitar 1.373.50 ha. Tahura Ngurah Rai berada di dua Kabupan/Kota
yaitu di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Tahura Ngurah Rai Merupakan muara
dari sungai Tukad badung dan Tukad mati yang merupakan sungai utama di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung. Hutan bakau di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali
ini menjadi kawasan hutan mangrove terbaik di Indonesia, bahkan sekawasan Asia.
Berkat keberhasilan mengembangkan dan melestarikan berbagai
jenis tamanan yang tumbuh subur dan lebat, menjadikan kawasan itu menjadi
rujukan studi banding para ahli mancanegara, kata Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Bali Anak Agung Ngurah Buana di Denpasar. Namun, di lain hal
sungai-sungai ini melewati banyak pemukiman pada sehingga kualitas air di dua
sungai berada dalam kondisi tercemar. Alih fungsi lahan, keberadaan sampah dan
keadaan air yang terpolusi merupakan masalah utama yang menyebabkan tertekannya
pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai.
Kawasan seluas hutan mangrove ini ditata sedemikian rupa,
dihubungkan dengan jalan setapak, sehingga menjadi tempat rekreasi bagi
masyarakat kota Denpasar maupun wisatawan mancanegara. Masyarakat setempat juga
biasa menjadikan kawasan hutan bakau sebagai tempat rekreasi seperti memancing
ikan. Sebelum ditetapkan sebagai Tahura, areal tahura banyak digunakan sebagai
tambak oleh masyarakat sekitar. Selama tahun 1994-2006 hutan mangrove di Tahura
ini mengalami perluasan meningkat menjadi sebesar 975.42 ha. Keadaan ini
menunjukkan bahwa dalam jangka 12 tahun luasan tanaman mangrove telah meningkat
luasanya sebesar 488.61 ha atau dengan kecepatan pertumbuhannya mencapai 40.72
ha per tahun. Keberadaan Mangrove Information Center (MIC) (Pusat Informasi
Mangrove) sangat berpengaruh terhadap peningkatan luasan tanaman mangrove pada
Tahura Ngurah Rai. MIC mempunyai mempunyai fungsi sebagai pusat pengelolaan dan
pelatihan mangrove yang berkelanjutan sehingga bisa merealisasikan keberadaan
wisata alam hutan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai.
BAB II
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI TAMAN HUTAN RAKYAT
NGURAH RAI BALI
A. KOMPONEN STRUKTUR
EKOSISTEM
Sebagai ekosistem, hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali
memiliki komponen struktur ekosistem biotik dan abiotik seperti di bawah ini :
1. Komponen
Biotik
Faktor biotik hutan mangrove adalah faktor hidup yang
meliputi semua makhluk hidup yang ada di hutan mangrove. Tumbuhan berperan
sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan
sebagai dekomposer.
a. Produsen
Di dalam hutan mangrove terdapat flora yang berkedudukan
sebagai produsen utamanya yaitu pohon mangrove itu sendiri.
b. Konsumen Hutan Mangrove
Untuk tingkat trofik konsumen terdapat berbagai fauna
mangrove. Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara 2 (dua)
kelompok:
i. Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya
menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan
burung.
ii. Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atas dua
tipe, yaitu yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan, dan udang
dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun
lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis invertebrata
lainnya
c. Mikroorganisme Hutan
Mangrove
Organisme pengurai menyerap sebagian hasil
penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat
digunakan kembali oleh produsen. Mikroorganisme yang banyak berperan adalah bakteri dan
fungi.
Mangrove
(Bakau)
Hutan pasang surut di daerah pantai
umumnya berupa hutan bakau (mangrove). Tergantung dari kombinasi pengaruh
pasang surut (tingkat salinitas atau tinggi air), tergantung pada aliran air tawar dari run off dan air tanah dan
produksi seresah oleh jenis tumbuhan bakau sehingga menghasilkan lahan
basah yang unik dan sangat komplek. Hutan bakau di wilayah tropis sangat
penting untuk manusia maupun satwa liar. Jika dikelola dengan baik, hutan ini
dapat menghasilkan lebih banyak kayu daripada hutan dipterocarp pada dataran
rendah. Hutan bakau jga sangat berperanan dalam pemeliharaan hasil perikanan
pantai dan juga menyediakan habitat untuk banyak jenis satwa liar.Species
indikatornya adalah Rhizophora apiculata,
Rhizopora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera cylindrica, Bruguiera
parviflora, Bruguiera sexangula, Cerios tagal, Kandelia candel, Sonneeratia
alba, Sonneratia
caseolaris/acida,
Sonneratia ovata, Avicennia alba, Avicennia marna, Avicennia officianalis,
Xylocapus grabatum, dan Xylocarpus moluccensis.
Potensi Pemanfaatan Ekosistem
Mangrove:
a. Perlindungan dari kekuatan alam (perlindungan pada garis pantai dan
pengendali erosi ; dan pemecah angin)
b. Pembuangan dan atau penyimpan
sedimen
c. Pembuangan dan atau penyimpan nutrien
d. Pembuangan dan atau penyimpan bahan-bahan toksik
e. Penghasil sumber daya alam on
site
f. Penghasil sumber daya alam off
site
g. Penghasil sumber energi
h. Gudang penyimpan plasma nutfah
i. Kawasan penting untuk konservasi:
Habitat penting untuk siklus
hidup berbagai jenis hewan dan tanaman penting
Adanya species, habitat ,
komunitas, ekosistem, landscpae langka, dan berbagai macam proses lahan
basah alami yang unik
j. Rekreasi dan turisme
k. Kepentingan sosio-kultural
l. Lanscape estetis yang penting
m. Adanya aktivitas manusia yang sangat penting
n. Kehidupan alamiah penting
o. Lokasi historis yang penting
p. Lokasi pendidikan dan penelitian
q. Kontribusi dalam pemeliharaan proses alami atau sistem
proses dan sistem ekologis,
geomorfologis dan geologis
pencegahan berkembangnya tanah
asam sulfat
r. Wakil penting lahan basah
Berdasarkan
alur pikir tersebut maka dampak kegiatan pembangunan yang direncanakan pada komponen biotik dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
Dampak Orde Pertama (Dampak Primer):
a.
Hilangnya komunitas biota
Dampak Orde Tinggi (Dampak Sekunder dst):
a.
Gangguan pada organ/bagian
tubuh dan atau gangguan pada proses fisiologi biota yang terkena polutan
b.
Perubahan besarnya populasi,
produktivitas dan komposisi pada
komunitas biota
c.
Terjadinya akumulasi zat kontaminan pada jaringan tubuh biota
Dampak Orde Lebih Tinggi, misalnya:
a. Perubahan stabilitas tanah dan iklim
sebagai akibat hilangnya vegetasi
b. Perubahan nilai ekonomi sebagai akibat
perubahan potensi penggunaan biota
c. Perubahan landscape sebagai akibat hilangnya biota
PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG BERKELANJUTAN
Oleh : Mangrove Information Centre
1. Ekosistem Mangrove
1.1
Sumber Daya Mangrove dan Pesisir
Formasi mangrove
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut
(pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu
(sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air
pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya
sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove
dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.
Mangrove sangat penting
artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak
semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai
adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan
benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke
arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi
efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan
bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi
laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Habitat mangrove sendiri
memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem
lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara
darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa
keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus
dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut
menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove
selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar
mangrove dapat tumbuh dengan baik.
Potensi ekonomi mangrove
diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan
pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan
peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk
sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang
kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah
tertentu.
Karena tekanan
pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan
tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan
mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah
tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan
sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem
pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi
perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah
tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong
terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu
sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber
daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove
didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Menipisnya hutan
mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia
dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan
bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan
penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada
musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi
primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupanseperti satwa yang
terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut
dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang
terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan,
serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi
juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan
terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.
1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove
a.
Satu atau lebih jenis tumbuhan
mangrove yang hidupnya hanya di habitat mngrove
b.
Satu atau lebih jenis tumbuhan
yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat selain
mangrove
c.
Berbagai jenis fauna baik fauna
terestris maupun fauna laut yang bersosiasi dengan habitat mangrove, baik
secara permanen maupun secara sementara
d.
Semua proses alamiah yang berperan
dalam memelihara kberadaan ekosistem mangrove (mis : sedimentasi)
e.
Penduduk yang hidupnya bergantung
pada sumber daya mangrove.
1.3 Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan
mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang
ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan
(Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove
yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok
mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan
mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal,
Bangladesh.
Meskipun
secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang
masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan
mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang
nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di
Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di
organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar
(mangrove dalam kawasan hutan).
Ketidakcocokan
ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang
dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber
utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah
estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang
berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990).
Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa
air tawar pada tepian zona pantai di Papua.
Data terkhir
yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa
terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di
dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.
Untuk
mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan
Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan
yang lebih baik.
Hutan
mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan
satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat
tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi
kesempatan khusus bagi Indonesia
guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber
daya biologi yang bermakna bagi dunia.
Walaupun
angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan
areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera
Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir,
sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama
pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an.
1.4 Ancaman Terhadap Hutan
Mangrove di Indonesia
Hutan
mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai
pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di
seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain
seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan,
industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah
penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove
yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui
pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas
pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman dari
luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan,
dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk
ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan
meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan
mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi
karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair
dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan
mangrove.
Ancaman
langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat
pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun
kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu,
yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak
bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak
baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk
membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara
tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan
dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian
diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut
menjadi terbengkalai.
Di seluruh
Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk
kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena
penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat
arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang
berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya
dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar
negeri.
Pada umumnya
jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan
bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara
internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.
Barangkali
ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat
umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan
sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau
dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi
mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi
individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi
secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan
mangrove Indonesia
dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove
Dikelola Secara Berkelanjutan
Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara
berkelanjutan adalah :
2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan
(renewable resources atau flow
resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis).
Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai
keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan
perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya
sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai
ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat
ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a.
Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1)
Hasil berupa kayu (kayu
konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur
kayu)
2)
Hasil bukan kayu
§
Hasil hutan ikutan (tannin,
madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)
§
Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai
fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan
maupun habitat berbagaia jenis fauna, diantaranya :
§
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi,
gelombang atau angin kencang
§
Pengendali intrusi air laut
§
Habitat berbagai jenis
fauna
§
Sebagai tempat mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut
lainnya.
§
Pembangunan lahan melalui
proses sedimentasi
§
Memelihara kualitas air
(mereduksi polutan, pencemar air)
§
Penyerap CO2 dan penghasil
O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.
2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih
(PPB) yang cukup tinggi, yakni :
biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan
riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun).
Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan
kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat
pesisir itu sendiri.
2.3 Dalam
skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif
kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan
lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan
dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan
(fragile) terhadap gangguan dan
cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun
bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam
stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
2.5 Ekosistem
mangrove merupakan sumber plasma nutfah
yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.
3. Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
Tindakan
pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang
produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya.
Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :
a.
Praktek pengelolaan SDA harus
meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar
penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan
tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA
dapat diperoleh secara terus menerus.
b.
Dalam pengelolaan SDA yang
berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu
pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai
dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.
Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA
berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola,
dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang,
baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.
3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Berkelanjutan
Sebagai suatu
ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi
ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan
kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA
lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi
dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang
optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan
dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat
kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem
SDA, yaitu :
a.
Letak hutan mangrove terbatas pada
tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.
b.
Peranan ekologis dari ekosistem
hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c.
Hutan mangrove memiliki potensi
hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan
adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove
dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan
utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a.
Mengoptimalkan manfaat produksi
dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan
ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang
bersangkutan.
b.
Merehabilitasi hutan mangrove yang
rusak.
c.
Membangun dan memperkuat kerangka
kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove
secara baik.
3.3 Kendala dalam Pengelolaan
Ekosistem Mangrove
a. Kendala Aspek Teknis
1)
Kondisi habitat yang tidak begitu
ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi
apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan
sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2)
Adanya pencampuran komponen
ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan
pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang
tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati
yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan
antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu
kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3)
Kawasan pantai dimana mangrove
berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan
tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.
b. Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam
pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya
adalah :
1)
Tata ruang kawasan pesisir di
banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.
2)
Status kepemilikan bahan dan tata
batas yang tidak jelas.
3)
Banyaknya pihak yang
berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4)
Belum jelasnya wewenng dan
tanggung jawab berbagai stake holder
yang terkait
5)
Masih lemahnya law enforcement dari peraturan
perundangan yang sudah ada
6)
Masih lemahnya koordinasi di
antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove
7)
Praktek perencanaan, pelaksanaa
dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan
partisipasi aktif masyarakat yang
berkepentingan dengan kawasan tersebut.
3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem
Mangrove
Pengelolaan
ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni
:
a.
Pengusahaan hutan mangrove yang
kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan
pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b.
Perlindungan dan pelestarian hutan
mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan
mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau,
sempadan pantai/sungai, dll)
c.
Rehabilitasi kawasan mangrove yang
rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan
penggunaan iptek yang tepat guna.
3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya
Dalam rangka
menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi
(kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus
ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut
beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah :
a. Kondisi fisik areal hutan
§
Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh
§
Luas areal hutan
§
Kondisi tanah
b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan,
baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan
d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan
e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan
bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang
pasarnya.
Berdasarkan
tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan
scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di
suatu daerah.
Selain
itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan
lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila
kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu
untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a.
Mangrove yang tumbuh di tanah
berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
b.
Mangrove yang tumbuh pada kawasan
pesisir yang arus air lautnya deras
c.
Mangrove tempat bertelur penyu
atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir
punah/endemic
d.
Kawasan lainnya yang dipandang
perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Kriteria dan
Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari
Sampai saat ini kriteria dan
indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun
secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) mengadakan
Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove
Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang
mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :
Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi
Indikator :
1)
Kepastian penggunaan lahan sebagai
kawasan hutan
2)
Perencanaan dan implementasi
penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan
3)
Besaran perubahan penutupan lahan
hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya
4)
Pemilihan dan penerapan sistem
silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat
5)
Macam dan jumlah hasil hutan non
kayu terjamin
6)
Investasi untuk penataan dan perlindungan
hutan
7)
Realisasi dana yang dialokasikan
untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk
spesies endemic, langka dan dilindungi.
8)
Pengorganisasian kawasan yang
menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat
rencana dan diimplementasikan
9)
Produksi tahunan sesuai dengan
kemampuan produktivitas hutan
10)
Efisiensi pemanfaatan hutan
11)
Tingkat kerusakan pohon induk
12)
Keabsahan sistem lacak balak dalam
hutan
13)
Kelancaran dan keteraturan
pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan.
14)
Kesehatan perusahaan
15)
Peran bagi pembangunan ekonomi
wilayah
16)
Sytem informasi manajemen
17)
Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)
18)
Tersedianya tenaga profesional
untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis
19)
Investasi dan reinvestasi untuk
pengelolaan hutan
20)
Peningkatan modal hutan
Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis
Indikator :
1)
Proporsi luas kawasan dilindungi
yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta
telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait.
2)
Propoprsi luas kawasan dilindungi
yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah
ditata batas di lapangan
3)
Intensitas gangguan terhadap
kawasan dilindungi
4)
Kondisi kenekaragaman spesies
flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe
hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
5)
Intensitas kerusakan struktur
hutan dan komposisi spesies tumbuhan
6)
Efektifitas penyuluhan mengenai
pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan ,
dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya
pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka
7)
Intensitas dampak kegiatan kelola
produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
8)
Pengamanan satwa liar
endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
Kriteria 3 :
Kelestarian fungsi Sosial
Indikator :
1)
Batas antara kawasan konsesnsi
dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh
melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya.
2)
Akses dan kontrol penuh masyarakat
secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin.
3)
Akses pemanfaatan hasil hutan oleh
komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin
4)
Digunakannya tata cara atau
mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas
hutan yang sama
5)
Sumber-sumber ekonomi komunitas
minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas
generasi
6)
Komunitas mampu mengakses
kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka
7)
Modal domestik berkembang
8)
Peninjauan berkala terhadap
kesejahteraan karyawan
9)
Minimasi dampak unit manajemen
pada integrasi sosial dan kultural
10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan
11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji
yang adil
13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
APA ITU HUTAN MANGROVE ?
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan
yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampaisub-tropis yang memiliki
fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan
berupa pantai dengan reaksitanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat
didefinisikansebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama
di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yangtergenang pasang dan bebas
dari genangan pada saat surut yangkomunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Sedangkanekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri
atasorganisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktorlingkungannya
di dalam suatu habitat mangrove.Hutan mangrove di Indonesia, yang terbagi
kedalam 2 (dua)zone wilayah geografi mangrove yakni Asia dan Oseania, keduazona
tersebut memiliki keanekaragaman tumbuhan , satwa dan jasadrenik yang lebih
besar dibanding negara-negara lainnya. Hal initerjadi karena keadaan alamnya
yang berbeda dari satu pulau kepulau lainnya, bahkan dari satu tempat ketempat
lainnya dalampulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove
dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang
masing-masing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat
didalamnya.
LUAS DAN LETAK
Meskipun secara umum lokasi mangrove
diketahui, namunterdapat variasi yang nyata dari luas total ekosistem
mangroveIndonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha. Perbedaan
jumlahluasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologipengukuran
luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak.Walaupun demikian diakui
oleh dunia bahwa Indonesia mempunyailuas ekosistem mangrove terluas di dunia
(21% luas mangrove dunia).
Untuk lebih
jelasnya, luas dan penyebaran, status kawasan, dan lajuperubahan luasan hutan
mangrove (dari tahun 1982 - 1999) di Indonesiadapat dilihat pada Tabel
1.Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnyaekosistem mangrove antara
lain :
a.Konversi
hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain,seperti permukiman,
pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll.
b.Kegiatan
eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-perusahaan HPH serta
penebangan liar dan bentuk perambahanhutan lainnya.
c.Polusi di
perairan estuaria, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnyadimana tumbuh
mangrove.
d.Terjadinya
pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasidan abrasi yang tidak
terkendali.
Walaupun
alasan yang akurat mengenai adanya penambahanhutan mangrove di beberapa
propinsi (Tabel 1.) belum diketahui dandilaporkan secara pasti, namun ada
beberapa faktor yangmemungkinkan bertambahnya areal hutan mangrove
dibeberapapropinsi tersebut, yaitu:
a.Adanya reboisasi
dan atau penghijauan
b.Adanya
perluasan lahan hutan mangrove secara alami yangberkaitan dengan adanya proses
sedimentasi dan atau penaikanpermukaan air laut.
c.Presisi
metoda penafsiran luas hutan yang lebih baik dari metodayang digunakan
sebelumnya.
Tabel 1. Luas
dan Penyebaran Hutan Mangrove di Setiap Propinsi di Indonesia
Keterangan :
* data
ketika wilayah propinsi belum dimekarkan** luas mangrove DKI Jakarta sangat
kecil, sehingga digabung dengan wilayah Jawa Barat
Sumber :
Buku II Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
Indonesia, 2005 (Ekosistem Mangrove di Indonesia)
MANFAAT HUTAN MANGROVE
Secara garis
besar manfaat hutan mangrove dapat dibagidalam dua bagian :
1)
Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :
a. Hasil berupa kayu (kayu
konstruksi, kayu bakar, arang,serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang)
b. Hasil bukan kayu
*Hasil hutan ikutan (non kayu)
*Lahan (Ecotourisme dan lahan
budidaya)
2)
Fungsi ekologi, yang terdiri atas
berbagai fungsi perlindunganlingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun
habitatberbagai jenis fauna, diantaranya:
a. Sebagai
proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau anginkencang.
b. Pengendalian
instrusi air laut
c. Habitat
berbagai jenis fauna
d. Sebagai
tempat mencari, memijah dan berkembang biakberbagai jenis ikan dan udang
e. Pembangunan
lahan melalui proses sedimentasi
f. Pengontrol
penyakit malaria
g.
Memelihara kualitas air (mereduksi
polutan, pencemar air)
Hasil hutan
mangrove non kayu ini sampai dengan sekarangbelum banyak dikembangkan di
Indonesia. Padahal apabila dikajidengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove
non kayu diIndonesia sangat besar dan dapat medukung pengelolaan hutanmangrove
secara berkelanjutan. Salah satunya adalah sumberdayamangrove sebagai salah
satu makanan alternatif.
Peran Ekosistem Mangrove
A.
Peran
Ekologis Mangrove
1.
Mangrove
dan tsunami.
Hasil
penelitian Istiyanto (2003) yang melakukan pengujian model di laboratorium
menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora
sp.) dapat memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa
vegetasi mangrove terutama perakaran dapat meredam energi gelombang dengan cara
menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
2.
Mangrove
dan sedimentasi.
Hutan
mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi
atau abrasi. Selain itu juga dapat menahan lumpur dan penahan sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan.
3.
Mangrove
dan siklus hara.
Penelitian
tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan, dari beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa produksi serasah daun dan ranting pohon pada hutan mangrove
menyumbangkan nilai unsur hara yang sangat berarti bagi flora dan fauna yang
hidup di daerah mangrove maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam
ekosistem mangrove. Sebagian didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi bahan
anorganik yang berperan dalam menyuburan perairan dan mangrove itu sendiri.
4.
Mangrove
dan Instrusi air laut.
Mangrove
juga mampu menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian
Sukresno dan Anwar (1999) mengatakan bahwa air sumur pada jarah 1 km dari
mangrove kondisi baik tergolong baik, sedangkan pada mangrove yang buruk,
kondisi air sumur sudah terintrusi.
B.
Peran
Biologi Mangrove
1.
Mangrove
dan keanekaragaman hayati.
Mengrove
memiliki fungsi sebagai habitat berbagai jenis fauna akuatik seperti ikan,
udang, kerang, dan lainnya; dan fauna terestrial seperti insekta, reptilia,
amphibi, mamalia, dan burung.
2.
Mangrove
dan kesehatan.
Rusminarto
(1984) menyatakan bahwa nyamuk Anopheles sp. vektor penyakit malaria,
populasinya meningkat seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam area
mangrove. Berkaitan dengan polutan, Gunawan dan Anwar (2005) menemukan bahwa
tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih
tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 ali lebih tinggi dari tambak
yang bermangrove. Saat ini masih diteliti dimana kandungan merkuri yang diserap
(pohon mangrove atau biota perairan).
3.
Mangrove
dan kehidupan fauna.
Fauna
akuatik dan fauna terestrial memanfaatkan hutan mangrove sebagai daerah asuhan,
mencari makan, dan daerah pemijahan. Ekosistem mangrove berperan salam memberi
energi bagi revitalisasi sumberdaya perikanan.
C.
Peran
Ekonomi Mangrove
1.
Bahan
baku arang
Arang
mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang
onshyu dari Cina. Jenis Rhizophoraceae seperti
Rhizopora apiculata, R. mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza (Higaki, 1980; Inoue et al., 1999) merupakan kayu
bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet.
2.
Bahan
baku chip
Jenis
Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku
chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi
chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke
Korea dan Jepang. Areal produksinya
tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga
chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
3.
Bahan
bangunan
Kayu
mangrove seperti R. apiculata, R.
Mucronata, dan B. Gymnorrhiza sangat
cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya
lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun.
Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1
m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,-
sampai Rp 9.000,-. Kayu ini
diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).
4.
Kayu
bakar
Jenis
Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R.
Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena
menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi
masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak
melambung tinggi (Inoue et al., 1999).
5.
Tanin
Tanin
merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak
kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis.
Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga
2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
6.
Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang
sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang
dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan
ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan
ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan
mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah
dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.
7.
Obat-obatan
Beberapa
jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk
menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai
antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan
untuk obat diabetes (Inoue et al.,
1999)
8.
Pertanian
Keberadaan
hutan mangrove penting bagi pertanian di
sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang,
dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga
dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas
baik. Tempat di area hutan mangrove yang
masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan
perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu mangrove yang mati.
Di
Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak
mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila
dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp
68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua
dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp
2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).
9.
Perikanan
Sejumah
spesies ikan, moluska dan crustacea menggunakan mangrove sebagai daerah asuhan
(nursery ground). Setidaknya ada 77
spesies finfish di bawah 60 divisi dari mangrove Samudera Hindia bagian Barat Pasifik
Tengah (Jeyaseelan, 1998).
Di
Mangrove Sundaran ada 120 spesies ikan ditangkap, hampir semuanya merupakan
spesies di air payau dan estuarin.
Termasuk di dalamnya ikan belanak ( Mugilidae sp.), kakap ( Lutjanidae sp.), bandeng (Chanos chanos), kakap merah (Lates calcarifer) dan Mujair (Cichlidae
sp.). Ikan yang paling menarik perhatian dan mungkin merupakan ikan endemik mangrove
adalah ikan glodok (Periophthalmus sp.).
10.
Pariwisata
Hutan
mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di
Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan
dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap
(Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek
wisata alam lainnya. Karakteristik
hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam
beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan
langsung dari alam.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
H. dan C. Anwar. 2005. Kajian
Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan
Silvofishery. Laporan Tahunan.
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor
Inoue,
Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model
Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.
Istiyanto,
D.C., S.K. Utomo, dan Suranto. 2003.
Pengaruh Rumpun Bakau terhadap Perambatan Tsunami di Pantai. Makalah pada
Seminar Nasional “Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset”
di Yogyakarta, 11 Maret 2003.
Mazda,
Y. and E. Wolanski. 1997. Drag Force Due
to Vegetation in Mangrove Swamp. Mangrove and Salt Marches. Kluwer Academic
Publisher, Netherland.
Mazda,
Y. and M. Magi. 1997. Mangrove Coastal
Protection From Waves in the Tong King Delta, Vietnam. Kluwer Academic Publisher, Netherland.
Rusminarto,
S., A. Munif, dan B. Riyadi. 1984.
Survey Pendahuluan Fauna Nyamuk di Sekitar Hutan Mangrove Tanjung
Karawang, Jawa Barat. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 232-234. LIPI,
Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
Sukresno
dan C. Anwar. 1999. Kajian Intrusi Air
Asin pada Kawasan Pantai Berlumpur di Patai Utara Jawa Tengah. Bulletin Teknologi Pengelolaan DAS V (1) :
64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.
KEANEKARAGAMAN
HAYATI HUTANMANGROVE
KEANEKARAGAMAN FLORA MANGROVE
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana,
alga, bakteri dan fungi.
Menurut Hutching dan Saenger (1987) telah diketahuilebih dari 20 famili
flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genusdan lebih kurang 80 spesies.Sedangkan
jenis-jenis tumbuhan yangditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar
89 jenis,yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9
jenisliana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemodihardjoet al, 1993 dalam
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Buku II).
Jenis-Jenis
Tumbuhan yang Ditemukan di Hutan Mangrove Indonesia
Acanthaceae , Acanthus ebracteus , A. Ilicifolius , A.
Volubilis , Adianthaceae ,
Vittaria sp. Aizoaceae , Sesuvium portulacastrum ,
Anacardiaceae , Gluta velutina Apocynaceae , Cerbera manghas , C odollam ,
Voacanga grandiflora , Araceae ,
Colocasia
esculenta , Livistonia saribus , Phoenix paludosa , Cryptocorina ciliata ,
Nypa fruticans
, Licuala sp , Oncosperma tigillarium , Asclepiadaceae ,
Dischidia benghalensis , Hoya sp , Gymmanthera paludosa , D. Rafflessia ,
Cynanchum
carnosium , Sarcolobus banksii , D.mommularia , Finlaysonia obovata
Aspleniaceae , Asplenium nidus , Asteraceae , Pluchea indica , Wedelia biflora
, Avicennaceae , Avicennia alba , A marina , A eucalyptifolia , A officinalis ,
Bataceae ,
Batis agillicola.
Flora mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori(Chapman, 1984) :
(1) Flora
mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyaiperan ekologi utama dalam
formasi mangrove, contoh :
Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia,Nypa, Xylocarpus, Derris,
Acanthus, Lumnitzera, Scyphiphora,Smythea dan Dolichandrone.
(2) Flora
mangrove peripheral (pinggiran), yaitu flora mangroveyang secara ekologi
berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting
dalam formasi hutan lain,contoh:
Excoecaria
agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas,Heritiera littorelis, Hibiscus
tiliaceus , dan lain-lain.
Sedangkan Tomlinson (1986) membagi
flora mangrovemenjadi tiga kelompok, yakni
(1) Flora mangrove mayor (flora mangrove
sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove,berkemampuan membentuk tegakan murni dan
secara dominanmencirikan struktur komunitas, secara morfologi
mempunyaibentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas)terhadap
lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanismefisiologis dalam mengontrol garam.
Contohnya adalah Avicennia,Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera,Lagunculari dan Nypa.
(2)
Flora mangrove minor, yakni flora
mangrove yang tidak mampumembentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis
tidakberperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria Xylocarpus,
Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum,Camptostemon, Scyphiphora,
Pemphis, Osbornia Pelliciera.
(3)
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera,
Acanthus, Derris,Hibiscus, Calamus, dan lain-lain
ZONASI MANGROVE
Flora mangrove umumnya di lapangan tumbuh membentukzonasi mulai dari
pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasidi hutan mangrove mencerminkan
tanggapan ekofisiologistumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yangterbentuk
bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasicampuran) dan zonasi yang
kompleks (beberapa zonasi) tergantungpada kondisi lingkungan mangrove yang
bersangkutan. Beberapafaktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi
adalah :
(a)
Pasang surut yang secara tidak
langsung mengontrol dalamnyamuka air (water table) dan salinitas air dan tanah.
Secara langsungarus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadapanakan.
(b) Tipe tanah
yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasitanah, tingginya muka air
dan drainase.
(c) Kadar garam
tanah dan air yang berkaitan dengan toleransispesies terhadap kadar garam.
(d)
Cahaya yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan anakan darispecies intoleran seperti
Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
(e)
Pasokan dan aliran air tawar
Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia
dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima
konsosiasi yang ditekuman dihutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi
Avicennia, konsosiasi Rhizophor,
konsosiasi Sonneratia , konsosiasi Bruguiera , dan konsosiasi nipa.
Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara
Bruguiera spp dan Rhizophora spp. sering ditemukan, terutamadi zona terdalam.
Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi(peralihan antara hutan mangrove
dan hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas
jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum,
sesuaidengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon
dominan) mangrove di Indonesia berbeda suatu tempat ketempat lain dengan
variasi ketebalan dari beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dari
garis pantai.
FAUNA MANGROVE
Hutan
mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baikfauna khas mangrove maupun
fauna yang berasosiasi denganmangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan
mangrove sebagaitempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat
berkembangbiak.Penelitian mengenai fauna mangrove di Indonesia masihterbatas,
baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saatini, beberapa hasil
penelitian yang telah dipublikasikan mengenaifauna yang berasosiasi khusus
dengan hutan mangrove mengambillokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung
Karawang, SegaraAnakan–Cilacap, Segara Anak–Jawa Timur, Pulau Rambut,
Sulawesi(Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Ambon, Sumatera(Lampung,
Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara), dan KalimantanFauna mangrove hampir
mewakili semua phylum, meliputiprotozoa sederhana sampai burung, reptilia dan
mamalia. Secaragaris besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna
darat(terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut. Fauna darat, misalnyakera
ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator ), berbagai jenis burung,
dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae.
Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan
Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut
tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.Secara garis besar,
ekosistem mangrove menyediakan lima tipehabitat bagi fauna, yakni :
*Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis
burung, mamaliadan serangga
*Lobang pada cabang dan genangan air pada
cagak antara batangdan cabang yang merupakan
habitat untuk serangga (terutamanyamuk)
*Permukaan
tanah sebagai habitat keong/kerang dan ikan glodok
*Lobang
permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagaihabitat kepiting dan katak
*Saluran-saluran
air sebagai habitat buaya dan ikan/udang
Fauna Darat
Alikodra et
al. (1990 dalam Strategi Nasional PengelolaanEkosistem Mangrove Buku II)
melaporkan adanya sekitar 30 jenisburung di hutan mangrove Segara Anak – Jawa
Timur dan 28 jenis burung di hutan mangrove Muara Cimanuk – Jawa Barat. Di Sulawesi
ditemukan 34 jenis burung laut, yang digolongkan sebagai jenis yang bermigrasi
dan menghabiskan sebagian waktunya dimangrove (Whitten, 1989). Giesen dan
Sukojto (1991) melaporkanbahwa di hutan mangrove yang termasuk Suaka Margasatwa
KarangGading dan Langkat Timur Laut – Sumatera Utara dijumpai 44 jenisburung,
dimana 13 jenis diantaranya termasuk burung migran.Hasil pengamatan Tim
Fakultas Kehutanan IPB (2002) diPulau Rambut menunjukkan bahwa Pulau Rambut
merupakan salahsatu pulau yang memiliki keanekaragaman jenis burung yang
tinggi. Jenis burung di Pulau Rambut terdiri dari kelompok burung air
dankelompok bukan burung air. Secara keseluruhan di Pulau Rambuttercatat 56
jenis burung yang terdiri dari 18 jenis burung air dan 38 jenis bukan burung
air.Suwelo (1973 dalam Strategi Nasional Pengelolaan EkosistemMangrove Buku II)
melaporkan bahwa terdapat 49 jenis burung di Pulau Rambut yang terdiri dari 16
jenis burung air dan 33 jenisbukan burung air. Sedangkan Mardiastuti (1992)
menyebutkan bahwa di Pulau Rambut terdapat 15 jenis burung air. Berdasarkan hasil
pengamatan Mardiastuti (1992), di Pulau Rambut terdapat 15spesies burung air
dengan populasi terbesar pada famili Heron(Ardeidae) dan Cormorant
(Phalacrocoracidae). Jenis yang lainnya termasuk ke dalam famili Darter
(Anhingidae), Stork (Ciconiidae)dan Ibises (Threskiornithidae).
Mamalia,
terutama dari jenis primata yang terdapat dimangrove Jawa dan Sumatera adalah
monyet berekor panjang Macaca fascicularis , sedang di Kalimantan adalah Nasalis
larvatus yang langka dan endemik. Pada beberapa lokasi konservasi
sepertimangrove di Angke-Kapuk, Baluran dan Taman Nasional UjungKulon dijumpai
monyet hitam berekor panjang (Presbytis
cristata). Jenis reptilia yang sering dijumpai di mangrove adalah biawak
(Varanus
salvator ), kadal (Mabouya multifasciata), berbagai jenis ular seperti
Boiga
dendrophila dan buaya muara (Crocodilus porosus)
.Hasil
pengamatan Giesen dan Sukotjo (1991) di hutanmangrove Suaka Margasatwa Karang
Gading dan Langkat Timur Laut menunjukkan bahwa di hutan mangrove tersebut
dijumpai 12 jenis mamalia, 13 jenis reptil.
Fauna Air Tawar
Fauna air
tawar pada ekosistem mangrove termasuk ke dalam kelompok vertebrata dengan
jumlah spesies yang terbatas.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Cann (1978) diacu Hutchingdan Saenger, (1987)
diketahui bahwa di mangrove terdapat jeniskura-kura air tawar dan buaya air
tawar (Crocodylus johnstone).
Cogger
(1979) dalam Hutching dan Saenger, (1987) mendapatkan jeniskura-kura berkulit
alur (Carettochelys
inscupta) di Victoria.
Fauna Laut
Fauna laut
didominasi oleh Mollusca (didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda) dan
Crustacea
(didominasi oleh Brachyura).
Berdasarkan
habitatnya, fauna laut di mangrove terdiri atas dua tipe yaitu :
Infauna yang
hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikandan udang, dan
Epifauna yang
menempati substrat baik yang keras(akar dan batang pohon mangrove) maupun yang
lunak (lumpur),terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata
lainnya.
Fauna laut
di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran, yaitu :
1)
Fauna yang menyebar secara vertikal
(hidup di batang, cabang daranting, dan daun pohon), yakni berbagai jenis
Moluska,terutama keong-keongan, misalnya Littorina scrabra, L.melanostoma, L.
undulata, Cerithidea spp., Nerita birmanica,Chthalmus witthersii, Murex
adustus, Balanus amphitrite, Crassosraeacuculata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius
longitarsus.
2)
Fauna yang menyebar secara
horisontal (hidup di atas atau didalam substratum) yang menempati berbagai tipe
habitat sebagai berikut :
*Mintakat pedalaman (Birgus latro, Cardisoma
carnifex,Thalassina anomala, Sesarma spp.,
Uca lactea, U. bellator , dan lain-lain).
*Hutan Bruguiera dan semak Ceriops (Sarmatium spp.,
Helicespp., Ilyoggrapsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus
frontalis,M.thukuhar, . messor, Cleistosma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax
spp.,Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostomadepressum,
Utica spp, Telescopium telescopiu, Uca spp., Cerithidea spp, dan lain-lain).
*Hutan
Rhizophora (Metopograpsus latifrons,Alpeid prawn, Macrophthalmusm spp.,
Telescopium telescopium, dan
lain-lain). Mintakat pinggir pantai dan saluran (Scartelaos viridus, Macropthalmus
latrillei, Boleophthalmus chrysospilos, Rachypleus gigas,Cerberus rhysospilos,
Tacchypleus gigas, Cerberus rhynchops, Syncerabrevicula, Telescopium
telescopium, Epixanthus dentatus, Eurycarcinusintegrifrons, Heteropanope
eucratoides, dan lain-lain).
3.2 Pengertian dan
Karakteristik Vegetasi Mangrove
3.2.1 Pengertian
Mangrove
Banyak definisi yang
menerangkan tentang istilah ‘Mangrove’. Soerianegara dan Indarwan (1982)
menyatakan bahwa Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak
terpengaruh iklim, (2) dipengaruhi pasang surut, (3) tanah tergenang air laut,
(4) tanah rendah pantai, (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk, (6)
jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas Api-api (Avicenia Sp.), Pedada (Sonneratia
sp.), Bakau (Rhizopora Sp.),
Lacang (Bruguiera Sp.), Nyirih (Xylocarpus Sp.), Nipah (Nypa Sp.) dan lain-lain. Kusmana (1999)
mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu
jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.
Ekosistem Mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Menurut
Steenis (1978), yang dimaksud dengan “Mangrove” adalah vegetasi hutan yang
tumbuh di antara garis pasang surut. Nybeikhen (1988) menyatakan Hutan Mangrove
adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan tumbuh dalam perairan asin. Menurut Snedaker (1978)
dalam mangrovecentre.or.id, diakses tgl 15 Nop.2007 , Hutan Mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub
tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam
dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sedangkan menurut
Aksornkoe (1993), Hutan Mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup
pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup
disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah
mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
sub-tropis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘Mangrove’ merupakan suatu
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut air laut (seperti pantai,
laguna, dan muara) dan dapat bertoleransi terhadap kondisi salinitas yang
tinggi.
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang
secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air
permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus
menerus. Sirkulasi yang tetap (terus-menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan
nutrient, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan.
Perairan dengan salinitas rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan
alkalin, mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir keasaman tanah.
Mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam substrat (sebagai contoh tanah
berpasir, tanah lumpur, lempung, tanah berbatu dan sebagainya). Mangrove tumbuh
pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk
memelihara pertumbuhan mangrove (Dahuri, 1996).
3.2.2 Karakteristik
Hutan Mangrove
Mangrove
memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai baik estuari atau
muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis dan sub tropis
mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Pada
kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.
Secara karakteristik hutan mangrove mempunyai habitat dekat pantai (Kapludin,
2010). Sebagaimana menurut FAO (1982) bahwa hutan mangrove merupakan jenis
maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove
mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang
berperan sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai.
Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi
dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan. Disamping itu memiliki
kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut
ke daratan .
Umumnya mangrove mempunyai sistem
perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran
ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen
atau bahkan anaerob. Jenis-jenis tumbuhan hutan mangrove bereaksi berbeda
terhadap variasi-variasi lingkungan fisik , sehingga memunculkan zona-zona
vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah (Anonymous,
2009):
1).
Jenis tanah.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di
pesisir bisa sangat berbeda. Jenis yang paling umum adalah hutan mangrove
tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di
beberapa tempat, bahan organik ini proporsinya banyak sekali, bahkan ada pula
hutan mangrove yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah
lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang,
yaitu di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2).
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan
mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka dipastikan mengalami terpaan ombak
yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih
tenang. Karakteristik yang hampir serupa adalah bagian-bagian hutan yang
berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi
sungai. Perbedaannya terdapar pada tingkat salinitas, di bagian tepi sungai tidak begitu tinggi,
terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan mangrove juga
merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
3).
Penggenangan oleh air pasang
Zona bagian luar mengalami genangan
air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya, bahkan terkadang
terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-di zona bagian dalam hutan
mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi (sekali atau dua
kali dalam sebulan). Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini,
secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove yang biasanya berlapis-lapis
mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman
yang relatif kering.
4).
Salinitas
Kondisi salinitas sangat
mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar
salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif
mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis
yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor et.al., 1999).
Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh
kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya
ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut,
kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo.
Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras
corniculatum pada salinitas 20 – 40
o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo, Ceriops
tagal pada salinitas 60 o/oo dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil,
bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo
(Chapman, 1976).
Secara fisik, kebanyakan vegetasi
mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup, seperti aneka bentuk akar
dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi morfologis.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.),
yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya
gelombang. Jenis Api-api (Avicennia spp.)
dan Pidada (Sonneratia spp.)
menumbuhkan akar napas (pneumatophore)
yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon
Kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai
akar lutut (knee root), sementara
pohon-pohon Nirih (Xylocarpus spp.)
berakar papan yang memanjang berkelok-kelok. Keduanya untuk menunjang tegaknya
pohon di atas lumpur, disamping untuk mendapatkan udara bagi respirasi.
Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki Lentisel,
lubang pori pada bagian batang untuk bernapas. Untuk mengatasi salinitas yang
tinggi, jenis Api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah
daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora
mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam
(Anonymous, 2009).
Tumbuhan mangrove mempunyai daya
adaptasi yang khas terhadap lingkungan sehinga dapat bertahan hidup dan
berkembang. Bengen (2001), menguraikan bahwa Daya adaptasi tumbuhan mangrove
terhadap lingkungan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen
Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah,
menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas:
(1) bertipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora (misalnya : Avecennia spp.,
Xylocarpus Spp., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen
dari udara
(2) bertipe penyangga/tongkat yang
mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora
spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
a. Memiliki sel-sel khusus dalam daun
yang berfungsi untuk menyimpan garam.
b. Berdaun kuat dan tebal yang banyak
mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
c. Daunnya memiliki struktur stomata
khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang
surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan
membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon,
akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Bentuk adaptasi
lain yang perlu untuk diperhatikan adalah dalam hal perkembangbiakan jenis.
Menghadapi kondisi yang ekstrim lingkungan , tidak memungkinkan bagi tumbuhan
mangrove untuk berkembangbiak seperti tumbuhan-tumbuhan lain pada umumnya.
Faktor kimiawi dan fisik (lumpur dan pasang surut air laut) yang menjadi faktor
yang paling menentukan dalam hal ini.
Hampir semua
jenis flora hutan mangrove memiliki biji atau buah yang dapat mengapung,
sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari
jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah
berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Contoh yang paling dikenal
barangkali adalah perkecambahan buah-buah Bakau (Rhizophora Spp.), Tengar (Ceriops
Spp.) atau Kendeka (Bruguiera Spp.).
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa
tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh,
buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau
terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan (Bengen,
2001).
Kemungkinan lain,
terbawa arus laut dan terbawa ke tempat yang jauh. Sedangkan Buah Nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya
sementara masih melekat di tandannya. Pada buah Api-api (Avicennia Spp.), Kaboa (Aegiceras
corniculatum), Jeruju (Acanthus
ilicifolius) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski
tak nampak dari sebelah luarnya (Bengen, 2001).
Keistimewaan-keistimewaan
ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai
pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga
berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat
bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Jika akan tumbuh menetap, beberapa
jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya,
sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air.
Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang
berlumpur (Bengen, 2001).
Menurut Noor, dkk (1999),
secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah
terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir
tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.
1). Mangrove terbuka
Mangrove terbuka berada
pada bagian yang berhadapan dengan laut. Samingan (1980) menemukan bahwa di
Karang Agung, Sumatra Selatan, di zona ini didominasi oleh Soneratia alba yang tumbuh pada areal
yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut.
Van Steenis (1978) melaporkan bahwa S. alba dan A. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang ini. Komiyama, dkk (1988) menemukan bahwa Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1978).
Van Steenis (1978) melaporkan bahwa S. alba dan A. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang ini. Komiyama, dkk (1988) menemukan bahwa Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1978).
2). Mangrove tengah
Untuk mangrove tengah,
di zona ini terletak di belakang mangrove terbuka. Di zona ini biasanya
didominasi oleh jenis Rhizophora sp. . Namun, Samingan (1980)
menemukan di Karang Agung, Sumatera Selatan, didominasi oleh Bruguiera cylindrica.
Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah B.
eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R.
mucronata, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus
moluccensis.
3). Mangrove payau
Mangrove payau yaitu mangrove yang berada di
sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya
didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung,
komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di
sepanjang sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering kali ditemukan
tegakan N. fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang
terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena
palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai,
campuran komunitas Sonneratia – Nypa lebih sering ditemukan. Menurut
Giesen dan Van Balen (1991), di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau
Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai
Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama
di
bagian estuari yang berair hampir tawar.
4). Mangrove daratan
Mangrove
ini berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau
mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini
termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Instia
bijug, Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp.
dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan zona lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmana, C. 1999. Pedoman Pembuatan Persemaian Jenis-Jenis
Pohon Mangrove. Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor.
Steenis, C.G.G.J. 1958. Ecology of Mangroves.
Introduction to Account of the Rhizophoraceae
by Ding Hou, Flora Malesiana, Ser. I, 5: 431- 441.
Nybeikhen
J.W.1988. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. Terj. dari Marine biology: An ecological approach, oleh Eidman M., Koesoebiono,
Bengen D.G., Hutomo M. & Sukardjo S. PT Gramedia, Jakarta.
Snedaker, R. 1978. Tentang Mangrove. http://www.mangrovecentre.or.id/Profile/ttgmangrove.htm diakses pada 4
Mei 2013.
Aksornkoae,
S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN Wetlands Programme. IUCN, Bangkok, Thailand.
Bengen,
Dietriech G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –. IPB, Bogor.
Noor, Y. R., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Samingan, M.T. 1980. Notes on The Vegetation of The Tidal
Areas of South Sumatra, Indonesia,
with Special Reference to Karang Agung. Dalam International Social Tropical Ecologi, Kuala Lumpur.
Komiyama, A., H. Moriya, S.
Prawiroatmodjo, T. Tomi & K. Ogino. 1988. Forest as an Ecosystem, Its Structure and Function; #1:
Floristic Composition and Stand Structure.
Dalam Biological System of Mangroves. Laporan Ekspedisi Mangrove Indonesia Timur tahun 1986, Ehime
University, Japan.
Giesen, W., M. Baltzer & R.
Baruadi. 1991. Integrating Conservation with Land-use Development in Wetlands of South
Sulawesi. Publikasi PHPA/AWB, Bogor.
Kerusakan
ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia
(antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan
mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya
terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya.
KERUSAKAN
EKOSISTEM MANGROVE
Kerusakan ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan
manusia (antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kawasan mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya
terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya.
Kebutuhan itu dapat berupa pemanfaatan lahan untuk pemukiman,
sebagai lahan kegiatan ekonomi seperti industri maupun pertambakan,
kebutuhan bahan bakar non migas dsb. Kebutuhankebutuhan itu memaksa
masyarakat untuk melakukan banyak hal yang dapat merusak hutan
mangrove seperti membuka dan menkonversi lahan serta penebangan liar.
Kerusakan dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik
secara bio-ekologis berupa rusaknya system maupun fungsi ekonomis
berupa penurunan produksi. Kesalahan managemen hutan mangrove juga berpotensi
besar terhadap degradasi fungsi mangrove. Ada beberapa dampak yang
akan muncul sebagai akibat aktivitas manusia pada atau sekitar
wilayah mangrove Kerusakan alami merupakan akibat lanjut dari erusaan akibat
kegiatan antropogenik. Terpaan ombak yang terus-menerus akan merusak ekosistem mangrove,
akan tetapi hal ini tidak akan terjadi apabila tidak terjadi penurunan
fungsi mangrove sebagai penahan gelombang akibat kegiatan manusia.
DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE
Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
|
UPAYA
MENGATASI BERBAGAI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
Restorasi
Dan Arahan Pemulihan Kawasan Mangrove
Mencermati
uraian pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati; dengan demikian konsep
pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat dilakukan
melalui:
Penanganan
dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya,
Pemulihan
secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya,
mengharmoniskan
perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti,
memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk
mempertahankan, melestarikannya,
meningkatkan
akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak
terkait lainnya.
Adapun
langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengendalian lingkungan
fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan:
a. pembinaan
dan peningkatan kualitas habitat,
b. peningkatan
pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan
atau perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai.
Terhadap
pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau
terganggu fungsi ekosistemnya, untuk mengembalian peranan fungsi jasa
bio-ekohidrologisnya dan dilakukan dengan cara:
a. rehabilitasi,
b. reklamasi
habitat,
Sedangkan
peningkatan kualitas kawasan mangrove dilakukan dengan pengembangan jenisjenis
tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan, tempat bersarang atau
sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya. Mengharmoniskan perilaku
lingkungan sosial dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan, pelatihan
dan atau menunjukkan contoh-contoh aktivitas yang berwawasan pelestarian lingkungan.
Agar langkah kongkrit di atas dapat dilakukan serasi dan selas serta sejalan
berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akutabilitas kinerja petugas juga perlu
dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai.
Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam
kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang
dapat diterapkan. Kedua konsep tersebutpada dasarnya memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat
tetap lestari. Kedua kosep tersebutadalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi
hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam
rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk
suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai
bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas,
berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan
ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso,
2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman
laut,
taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal
penggunaan lain).
Perlu
diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan
mangrove juga terdapat areal/lahanyang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan
ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan,
pertanian, dan sebagainya.
Saat
ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif
yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove
dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola
pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif
meliputi : komponen yang diawasi,sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi
formal yang mengawasi, para pihak yang
terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi
(Santoso, 2000).
Bengen,
D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Indonesia.
Santoso,
N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta,
Indonesia.
Dahuri,
M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah
Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
3.5.
Indikator kerusakan Ekosistem Mangrove
Kondisi hutan mangrove
sampai saat ini masih mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan
pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan
pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan
pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk
pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan tambak dan lahan
pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti menjadi
faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan
pantai.
Kerusakan ekosistem
mangrove harus dapat dicermati dan diperhatikan secara mendalam. Karena
dengan terjadinya kerusakan ekosistem
mangrove selalu diikuti dengan permasalahan-permasalahan lingkungan,
diantaranya terjadinya aberasi pantai, banjir, sedimentasi, menurunnya
produktivitas perikanan, sampai terjadinya kehilangan beberapa pulau kecil.
Karena dengan kerusakan ekosistem mangrove berarti hilangnya bufferzone (daerah
penyangga) yang berfungsi untuk menjaga kesetabilan ekosistem pesisir, pantai
dan daratan. Indikasi adanya ancaman terhadap degradasi hutan mangrove masih
berlangsung pada hampir semua wilayah pantai.
Mengingat
pentingnya keberadaan dan peranan ekosistem hutan mangrove bagi daerah pantai,
maka penataan dan pengelolaan hutan mangrove yang sesuai dengan sifat dan
karakteristiknya sangat perlu dilakukan. Dalam hal ini, salah satu upaya yang
diperlukan adalah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Untuk mendukung kegiatan
tersebut, diperlukan adanya suatu indikator kerusakan dari hutan mangrove.
Menurut
Departemen Kehutanan (2006), berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan
tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS dan inderaja
2. Penilaian secara langsung di lapangan (terestris)
3. Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove
berdasarkan faktor sosial ekonomi
3.5.1.
Sistem Penilaian dengan Menggunakan Teknologi GIS (Geographic
Information
System)
dan inderaja (citra satelit)
Berikut
ini merupakan kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove
dengan teknologi SIG dan Penginderaan jauh (Departemen Kehutanan, 2005):
1. Tipe penggunaan lahan yang dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kategori, yaitu: 1) hutan (kawasan berhutan); 2) tambak tumpang sari dan
perkebunan dan 3) areal non vegetasi hutan (pemukiman, industri, tambak non
tumpang sari, sawah dan tanah kosong)
2. Kerapatan tajuk, berdasarkan nilai NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index) dapat diklasifikasikan menjadi kerapatan tajuk
lebat, kerapatan tajuk sedang dan kerapatan tajuk jarang
3. Ketahanan tanah terhadap abrasi yang dapat diperoleh dari
peta land system dan data GIS lainnya. Dalam hal ini, jenis-jenis tanah dapat
dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu jenis tanah tidak peka erosi
(tekstur lempung), jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) dan jenis tanah
sangat peka erosi (tekstur pasir).
Tabel 1. Kriteria, bobot
dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan
bantuan teknologi GIS dan inderaja
Catatan:
skor 1 = jelek
Berdasarkan Tabel 1 di atas, total nilai skoring (TNS1)
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
TNS1 = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20)
Dari total nilai skoring (TNS1), selanjutnya dapat ditentukan
tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut:
•
Nilai
100 – 166 : rusak berat
•
Nilai
167 – 233 : rusak
•
Nilai
234 – 300 : tidak rusak
3.5.2.
Sistem Penilaian Secara Langsung di Lapangan (Terestris)
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004, kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove
dengan cara survei langsung di lapangan terdiri atas 4 komponen diantaranya :
1. Daerah Pengukuran
a.
Sempadan
Pantai Mangrove : minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang
tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah
darat. Pada kondisi pantai yang terdapat hamparan endapan lumpur (mudflat),
digunakan batasan 100 meter dari garis pasang tertinggi.
b.
Sempadan
Sungai Mangrove : 50 meter ke arah kiri dan kanan dari garis pasang tertinggi
air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut.
2. Metode Pengukuran
Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi
mangrove adalah dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line
Transect Plot). Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot)
adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan
petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem
tersebut. Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode pengukuran yang
paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang
akurat.
3. Mekanisme Pengukuran
a.
Wilayah
kajian yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus dapat
mengindikasikan atau mewakili setiap zone mangrove yang terdapat di wilayah
kajian (Gambar.1.);
b.
Pada
setiap wilayah kajian ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual
berdasarkan keterwakilan lokasi kajian;
c.
Pada
setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut ke
arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang
terjadi) di daerah intertidal;
d.
Pada
setiap zona mangrove yang berada disepanjang transek garis, letakkan secara
acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10
m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot);
e.
Pada
setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis
tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur
lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3 meter (Gambar.2.).
Gambar.1.
Contoh Peletakan Garis Transek yang mewakili setiap zona mangrove.
(Sumber : Kepmen. LH No 201 Tahun 2004).
Gambar.2. (A) Penentuan lingkar batang mangrove
setinggi dada.
(B) Penentuan
lingkar batang mangrove pada berbagai jenis batang mangrove.
(Sumber
: Kepmen. LH No 201 Tahun 2004).
4. Metode
Analisa
a.
Penutupan:
perbandingan antara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas total area
penutupan untuk seluruh jenis (∑C) :
RCi
= (Ci/∑C) x 100
Ci
= ∑BA/A
dimana,
BA = πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah
diameter batang pohon dari jenis I, A adalah luas total area pengambilan contoh
(luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/Ï€ (dalam cm), CBH adalah lingkaran
pohon setinggi dada.
b. Kerapatan
: perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan
seluruh jenis (∑n):
Rdi=
(ni/∑n) x 100
Slanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove
sebagai berikut :
3.5.3.
Sistem Penilaian melalui Faktor Sosial Ekonomi
Kriteria-kriteria
penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi,
yaitu mata pencaharian utama, lokasi lahan usaha, pemanfaatan kayu bakar dan
persepsi terhadap hutan mangrove. Metode pelaksanaannya yaitu dengan
menggunakan kuisioner terhadap responden yaitu warga sekitar lokasi penelitian
dan stakeholder (pengguna).
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove. https://onrizal.files.wordpress.com/2012/04/pedoman_inventarisasi_mangrove.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2013, pukul 23.00 WIB.
Departemen Kehutanan. 2006. Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Wilayah DAS. http://www.bpdaspemalijratun.net.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2013, pukul 23.00 WIB.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove. http://www.freewebs.com/irwantomangrove/mangrove_rusak .pdf.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2013, pukul 22.00 WIB.
Kerusakan
ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia
(antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan
mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya
terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya.
KERUSAKAN
EKOSISTEM MANGROVE
Kerusakan ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan
manusia (antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kawasan mangrove yang umumnya berada pada daerah pesisir keberadaanya
terancam oleh kebutuhan masyarakat yang berada disekitarnya.
Kebutuhan itu dapat berupa pemanfaatan lahan untuk pemukiman,
sebagai lahan kegiatan ekonomi seperti industri maupun pertambakan,
kebutuhan bahan bakar non migas dsb. Kebutuhankebutuhan itu memaksa
masyarakat untuk melakukan banyak hal yang dapat merusak hutan
mangrove seperti membuka dan menkonversi lahan serta penebangan liar.
Kerusakan dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik
secara bio-ekologis berupa rusaknya system maupun fungsi ekonomis
berupa penurunan produksi. Kesalahan managemen hutan mangrove juga berpotensi
besar terhadap degradasi fungsi mangrove. Ada beberapa dampak yang
akan muncul sebagai akibat aktivitas manusia pada atau sekitar
wilayah mangrove Kerusakan alami merupakan akibat lanjut dari erusaan akibat
kegiatan antropogenik. Terpaan ombak yang terus-menerus akan merusak ekosistem mangrove,
akan tetapi hal ini tidak akan terjadi apabila tidak terjadi penurunan
fungsi mangrove sebagai penahan gelombang akibat kegiatan manusia.
DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE
Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
|
UPAYA
MENGATASI BERBAGAI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
Restorasi
Dan Arahan Pemulihan Kawasan Mangrove
Mencermati
uraian pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati; dengan demikian konsep
pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat dilakukan
melalui:
Penanganan
dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya,
Pemulihan
secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya,
mengharmoniskan
perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti,
memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk
mempertahankan, melestarikannya,
meningkatkan
akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak
terkait lainnya.
Adapun
langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengendalian lingkungan
fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan:
a. pembinaan
dan peningkatan kualitas habitat,
b. peningkatan
pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan
atau perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai.
Terhadap
pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau
terganggu fungsi ekosistemnya, untuk mengembalian peranan fungsi jasa
bio-ekohidrologisnya dan dilakukan dengan cara:
a. rehabilitasi,
b. reklamasi
habitat,
Sedangkan
peningkatan kualitas kawasan mangrove dilakukan dengan pengembangan jenisjenis
tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan, tempat bersarang atau
sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya. Mengharmoniskan perilaku
lingkungan sosial dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan, pelatihan
dan atau menunjukkan contoh-contoh aktivitas yang berwawasan pelestarian lingkungan.
Agar langkah kongkrit di atas dapat dilakukan serasi dan selas serta sejalan
berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akutabilitas kinerja petugas juga perlu
dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai.
Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam
kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang
dapat diterapkan. Kedua konsep tersebutpada dasarnya memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat
tetap lestari. Kedua kosep tersebutadalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi
hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam
rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk
suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai
bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas,
berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan
ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso,
2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman
laut,
taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal
penggunaan lain).
Perlu
diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan
mangrove juga terdapat areal/lahanyang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan
ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan,
pertanian, dan sebagainya.
Saat
ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif
yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa
masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove
dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola
pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif
meliputi : komponen yang diawasi,sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi
formal yang mengawasi, para pihak yang
terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi
(Santoso, 2000).
Bengen,
D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Indonesia.
Santoso,
N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta,
Indonesia.
Dahuri,
M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah
Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
4. a. Faktor lingkungan (abiotik) yang mempengaruhi
keberadaan Ekosistem Mangrove.
Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan,
hutan mangrove mempunyai gradien sifat
lingkungan yang sangat ekstrim. Pasang-surut air laut menyebabkan terjadinya perubahan
beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Kondisi faktor
abiotik lingkungan ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan
zonasi pada hutan mangrove. Zonasi yang terjadi pada hutan mangrove ini sangat
berkaitan erat dengan beberapa faktor lingkungan, antara lain adalah tipe
tanah, keterbukaan areal mangrove dari hempasan ombak, salinitas dan pengaruh
pasang-surut (Soerianegara, 1971; Chapman, 1976, Kartawinata & Waluyo,
1977).
1.
Tipe Tanah.
Pengaruh tipe tanah atau substrat
tersebut, sangat jelas terlihat pada jenis Rhizophora,
misalnya pada tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh dan didominasi
oleh Rhizophora mucronata yang
kadang-kadang tumbuh berdampingan dengan Avicennia
marina, kemudian untuk Rhizophora
stylosa lebih menyukai pada pantai yang memiliki tanah pasir atau pecahan
terumbu karang, dan biasanya berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba. Sedangkan untuk jenis Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.
2.
Kondisi kadar garam atau salinitas.
Kondisi kadar garam atau salinitas
pada substrat juga mempunyai pengaruh terhadap sebaran dan terjadinya zonasi.
Berbagai macam jenis tumbuhan mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas
tinggi, namun jenis Avicennia merupakan
jenis yang mampu hidup bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat
besar. MacNAE (1968) menyebutkan bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas
sangat rendah sampai 90%, sedangkan Sonneratia
sp. umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, kecuali Sonneratia casiolaris (sekitar 10%). Jenis Bruguiera sp. biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar 25%,
sedangkan jenis Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa mampu hidup pada
salinitas yang relatif tinggi.
3.
Pasang-surut Air Laut
Pasang-surut air laut juga mempunyai pengaruh terhadap
jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah. Watson dalam Kartawinata
ddk. (1979) memberikan gambaran tentang lima kelas genangan yang merupakan
korelasi antara tingginya genangan air pasang dan lama genangan, dengan jenis
tumbuhan mangrove.
Adapun klasifikasi kelas genangan tersebut adalah sebagai
berikut:
Klasifikasi genangan
|
Deskripsi keberadaan mangrove
|
a. Kawasan pantai digenangi
oleh setiap air pasang (all high tides).
|
Di tempat seperti ini jarang
jenis mangrove yang mampu hidup, kecuali Rhizophora
mucronata.
|
b. Kawasan pantai digenangi
oleh air pasang agak besar (medium high tide).
|
Di tempat seperti ini yang
muncul adalah jenis Avicennia sp.
dan Sonneratia sp.
|
c. Kawasan pantai digenangi oleh
air pasang rata-rata (normal high tide).
|
Tempat ini mencakup sebagian
besar hutan mangrove, yang ditumbuhi jenis
Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora.
|
d. Kawasan pantai digenangi
oleh air pasang
perbani (spring tides).
|
Di daerah ini jenis tumbuh jenis Bruguiera sp., dan umumnya adalah Bruguiera
cylindrica membentuk tegakan murni, namun kadang-kadang pada areal yang
baik drainasinya ditumbuhi oleh Bruguiera
parviflora dan Bruguiera sexangula.
|
e. Kawasan pantai yang
kadang-kadang digenangi oleh pasang
tertinggi (exceptional or equinoctial tides).
|
Di tempat ini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan
baik, dan kadang berasosiasi dengan paku-pakuan Acrostichum sp.
|
Ekosistem mangrove yang tumbuh di
sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai dipengaruhi oleh pasang surut
perpaduan antara air sungai dan air laut. Terdapat tiga syarat utama yang mendukung
berkembangnya ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air payau, tenang dan
endapan lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat
bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan
air pasang di kawasan pantai tersebut (Waryono, 2000)
Ketika
lingkungan mengalami perubahan kondisi, hal ini dapat menyebabkan berbagai
perubahan juga pada ekosistem mangrove. Sebagai contoh pada laporan penelitian
yang dilakukan di Sub-Distrik Liquisa bulan Desember 2012. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove dan pengaruh parameter lingkungan
fisika-kimia terhadap struktur komunitas vegetasi mangrove di kawasan pesisir
Tibar, Ulmera, dan Kaitehu daerah Bazartete District Liquisa, Timor-Leste.
Tidak tersedianya air tawar dan salinitas yang tinggi mencapai kisaran 34 ppt
serta ketersediaan unsur hara yang minim menyebabkan kerapatan mangrove yang
jarang di stasiun Tibar. Oleh karena itu, perubahan faktor-faktor lingkungan
habitat mangrove akan sangat mempengaruhi keberadaan tumbuhan mangrove, fauna
yang berkembanbiak dan tinggal di kawasan mangrove. Jika kondisi atau faktor
lingkungan ini terjaga dengan baik, maka ekosistem mangrove dapat terus ada dan
stabil, sebaliknya jika faktor lingkungan ini terabaikan maka keberadaan
ekosistem mangrove ini akan terancam.
Daftar
Pustaka
Chapman, V. J. 1976. Mangrove Vegetation.
J. Cramer, Inder A. R. Gantner Verlag Kommanditgesellschaft, FL-9490 VADUZ, p.
447
Jesus, A. 2012. Kondisi ekosistim
mangrove di Sub District Liquisa Timor-Leste. Jurnal Depik, 1 (3) : 136-143
Desember 2012. ISSN 2089-7790. Universitas Brawijaya
Kartawinata, K. and E. B. Waluyo
1977. A Preliminary Study of The Mangrove Forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mar.
Res. Indon. 18:119-129.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S.
Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di
Indonesia. Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Soerianegara, I. 1971.
Characteristic of Mangrove Soil of Java. Rimba Indonesia 15:141-150.
Waryono, T. 2000. Keanekaragaman
Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove. Diskusi Panel Progam Studi Biologi
Konservasi FMIPA-UI, Depok. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008.