Saturday, October 24, 2015

Budidaya Caulerpa sp Sebagai Upaya Menunjang Kontinuitas Produksi dan Potensinya Sebagai Antibiotik Alami



Budidaya Caulerpa sp Sebagai Upaya Menunjang Kontinuitas Produksi
dan Potensinya Sebagai Antibiotik Alami

Disusun oleh :
Hana Hunafa 140410100036
Ricky R 140410100018
Saugi 140410100105

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjajaran
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Negara Indonesia memiliki banyak laut yang mengelilingi kepulauan sehingga melimpahnya kekayaan alam lautnya. Makro alga laut merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang tersebar melimpah di seluruh kepulauan Indonesia itu (Sambo 2010). Makroalga yang hidup di kawasan indonesia sangatlah bervariasi jenisnya tetapi belum banyak yang memanfaatkan potensinya secara optimum oleh masyarakat indonesia. Masyarakat di Indonesia telah lama mengenalnya sebagai rumput laut (Sea Weed).Akan tetapi dalam pemanfaatannya  umumnya masih banyak yang menggantungkan dari alam, namun keperluan yang ada hanya sedikit melalui proses budidaya Nuraini (2006:101)
Makroalga sebagian besar hidup di perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup. makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu, batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang moluska, dan epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis yang lain. Klasifikasi makroalga menurut Dawes (1981), terdiri dari 3 divisio yaitu Chlorophyta (alga hijau), Rhodophyta (alga merah), dan Phaeophyta (alga coklat).
 Chlorophyceae (Ganggang hijau) adalah salah satu kelas dari ganggang yang sel-selnya bersifat eukariotin (materi inti dibungkus oleh membran inti), pigmen korofil terdapat dalam jumlah terbanyak sehingga ganggang ini berwarna hijau. Pigmen lain yang dimiliki adalah Karoten dan Xantofil. Makroalga jenis Chlorophyta biasanya hidup di perairan laut (Sapri, 2008).
Caulerpa adalah salah satu dari beberapa genus rumput laut, yang diidentifikasi berdasarkan sifatnya. Thallus mempunyai struktur siphonous yang tidak bersepta, terdiri dari rimpang merayap yang menghasilkan gumpalan berwarna, rhizoidnya kearah bawah dan cabang fotosintetik (assimilators) kearah atas. Lapisan tipis sitoplasma, yang terkandung tak terhitung banyaknya dari setiap jenis organel, dan mendorong ke dinding. Assimilators diasumsikan dalam berbagai bentuk (Silva, 2002).
Makroalga C. racemosa mempunyai bentuk yang terdiri dari sejumlah cabang terkait dengan stolons yang berlabuh ke substrat berpasir  oleh rhizoids .Cabang-cabang adalah beberapa sentimeter terpisah dan dapat tumbuh sampai ketinggian 30 cm (12 inchi). Banyak sisi-tunas bulat atau bulat telur bercabang hal inilah yang membuat alga ini dijuluki sebagai anggur laut (Agardh, 1873).
Jenis ini sangat melimpah di kawasan Indonesia tetapi produksi rumput laut jenis Latoh (Caulerpa sp.) hingga masa sekarang masih juga menggantungkan hasil dari alam Aslan (1991) dalam Nuraini (2006:101). Pada umumnya sumber daya yang masih menggantungkan produksi dari alam sering mendapatkan hambatan, diantaranya adalah produksinya rendah karena ketergantungan pada musim.Kondisi ini akan berdampak terhadap tidak adanya kesinambungan produksi Latoh (Caulerpa sp) dalam jumlah yang mencukupi pada setiap waktu. Di lain pihak permintaan akan rumput laut ini semakin tahun semakin meningkat, sehingga produksi rumput laut tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari alam saja, untuk itu perlu dilakukan suatu usaha budidaya untuk menunjang keberadaannya dalam jumlah besar dan secara kontinu.Selain itu masih minimnya pengunaannya dalam budidaya dan pemanfaatan potensi dari jenis alga ini. Maka dari itu makalah ini akan mengulas bagaimana cara budidaya dan manfaat Caulerpa sp.

1.2. Identifikasi Masalah
1.      Bagaimana Budidaya Caulerpa sp yang baik ?
2.      Potensi apakah yang dihasilkan makroalga Caulerpa sp?

1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memenuhi mata kuliah budidaya alga, mengetahui cara budidaya Caulerpa sp dan mengetahui manfaat jenis Caulerpa sp.





BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Makroalga
Makro alga (rumput laut)  hidup di laut dan tidak memiliki akar, batang dan daun sejati dan pada umumnya hidup di dasar perairan dan menempel pada substrat (benda lain). Fungsi akar (holdfas) pada rumput laut bukan sebagai penyerap makan melainkan saebagai alat pelekat pada substrat. Karena tidak memiliki akar, batang dan daun seperti umumnya pada tanaman, maka rumput laut digolongkan ke dalam tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Morfologi dari rumput laut merupakan salah satu dasar untuk membedakan antara satu jenis alga dengan alga yang lain, bentuk thallus, kandungan pigmen, fungsi-fungsi bagian rumput laut serta beberapa hal mendasar yang membedakan rumput laut (Kadi,   1996).
Makro alga tersebar di daerah litoral dan sublitoral. Daerah tersebut masih memperoleh cahaya cukup, sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung (Dawes, 1981). Makro alga menyerap nutrisi berupa fosfor dan nitrogen dari lingkungan sekitar perairan  sehingga makro alga dapat dijadikan bioindikator sekaligus sebagai filter kondisi perairan.


2.2.   Caulerpa sp.
2.2.1. Klasifikasi Caulerpa racemosa.
Klasifikasi (Dodge, 1973):
Kingdom  : Protista
Divisi        : Chlorophyta
      Class     : Chlorophyceae                                        Gambar Caulerpa racemosa
                                                                                 (www.Forestryimage.org)
Ordo         : Volvocales
Famili       : Volvoceae
Genus       : Caulerpa
Spesies     : Caulerpa racemosa
Caulerpa racemosa termasuk ke dalam algae hijau (Chlorophyceae). Bentuk tubuh dari spesies ini adalah senositik. Alga jenis ini memiliki bentuk tubuh yang sangat spesifik karena menyerupai segerombolan buah anggur yang tumbuh pada tangkainya. Spesies mempunyai cabang utama yang berupa axis/stolon sehingga dimasukkan sebagai bangsa siphonales (stolon berbentuk seperti pipa). Holdfast yang terdapat menyebar di seluruh axis berfungsi untuk melekat pada substrat.
Alga ini terdiri dari banyak spesies yang umumnya banyak dijumpai pada pantai yang memiliki rataan terumbu karang. Spesies ini tumbuh pada substrat karang mati, pasir yang berlumpur dan lumpur. Kebanyakan jenis ini tidak tahan terhadap kondisi kering, oleh karena itu tumbuh pada saat surut terendah yang masih tergenang air (Aslan, 1991).
2.2.2.      Budidaya Bahan
2.2.2.1.                        Bahan Metode
Berdasarkan penelitian Nuraini (2006) yang dilaksanakan pada tanggal 2 Agustus - 2 Oktober 2000 di perairan sekitar Teluk Awur, Jepara dan di tambak yang berada di sekitar Kampus Ilmu Kelautan Teluk Awur, Jepara.Bahan yang digunakan dalam penelitian itu  adalah makroalga jenis Latoh (Caulerpa racemosa), yang didapatkan dari perairan di sekitar Teluk Awur, Jepara.Sebelum penelitian dilakukan diadakan adaptasi lebih dahulu dengan lingkungan tempat penelitian kurang lebih selama 1 minggu. Berat awal dari latoh yang digunakan pada setiap perlakuan dalam penelitian ini adalah 300 gram.Penelitian itu menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan penguikuran berulang sebagai rancangan utama penelitian. Perlakuan berupa berbagai macam metode budidaya latoh di laut dan di tambak, yaitu pemeliharaan latoh terapung pada permukaan laut (perlakuan A) dan di dasar laut (perlakuan B), pemeliharaan latoh terapung pada permukaan tambak (perlakuan C) dan di dasar tambak  (perlakuan D). Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.Pengambilan data dilakukan setiap minggu dan lama pemeliharaan adalah 2 bulan.
Data diperoleh melalui pengamatan secara langsung terhadap pertumbuhan bahan uji latoh (Caulerpa racemosa), yaitu dengan jalan menimbang berat latoh (Caulerpa racemosa) setiap minggunya.Data laju pertumbuhan pada akhir pengamatan yang diperoleh diuji secara statistik dengan menggunakan sidik ragam, yang sebelumnya telah dilakukan uji additivitas, homogenitas dan normalitas.Jika dari hasil perhitungan sidik ragam diperoleh perbedaan pengaruh perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil untuk melihat perlakuan mana yang memberikan perbedaan nyata.Selain pengumpulan data dari pertumbuhan seperti tersebut diatas, juga dilakukan pemantauan terhadap kualitas air yang meliputi parameter :kecerahan, suhu, salinitas, pH dan kandungan N dan P perairan baik yang di laut (Nuraini. 2006).
2.2.2.2.                        Hasil dan Pembahasan
Setelah dilakukan penimbangan setiap 1 minggu selama 2 bulan, maka didapatkan data tentang berat basah latoh yang disajikan pada Gambar 1, serta laju pertumbuhan spesifik latoh disajikan pada Gambar 2.Berdasarkan dari nilai pertambahan berat latoh (Gambar 1), dapat diketahui bahwa berat maksimum pada setiap perlakuan dicapai pada pada minggu ke 5, setelah itu ada kecenderungan berat mulai berkurang.Hasil perhitungan prosentase laju pertumbuhan (Gambar 2) menunjukkan nilai yang fluktuatif.Prosentase laju pertumbuhan untuk masing-masing perlakuan mencapai nilai optimum pada minggu ke2, untuk selanjutnya ada penurunan dan mulai terlihat ada peningkatan lagi pada minggu ke 5, setelah itu terlihat menurun lagi sampai pada akhir pemeliharaan.Nilai laju pertumbuhan spesifik latoh pada metode budidaya di permukaan laut berkisar antara 1,1100 -4,0333 % per hari dan pada metode

Budidaya latoh di dasar laut berkisar antara 0,5591 - 3,2286 % perhari. Sedangkan nilai laju pertumbuhan latoh padametode budidaya di permukaan tambak berkisar antara 0,8467 - 3,4388 % per hari dan pada metode budidaya latoh di dasar tambak berkisar antara 0,5145- 3,0274 % per hari.Hasil analisis ragam terhadap laju pertumbuhan specifik, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (P = 0,007) di antara perlakuan metode budidaya di tambak.
Untuk mengetahui perbedaan antar metode budidaya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil.Hasil uji Beda Nyata Terkecil diketahui bahwa laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh metode budidaya terapung di permukaan laut, dan tidak berbeda nyata dengan laju pertumbuhan pada metode budidaya dipermukaan tambak. Akan tetapi laju pertumbuhan latoh dengan metode terapung di permukaan laut dan permukaan tambak terlihat lebih baik dan berbeda nyata dengan laju pertumbuhan yang ada di dasar laut maupun yang ada di dasar tambak. Adapun laju pertumbuhan terendah dicapai oleh metode budidaya di dasar tambak.Data mengenai kualitas air dan faktor lingkunganyang diukur dan diamati setiap minggu selama penelitian pada setiap perlakuan, adalah sebagai berikut:
Hasil pengukuran kualitas air dan faktor lingkungan untuk metode budidaya di laut memperlihatkan bahwa nilai kecerahan air berkisar antara 92 - 109 cm, suhu berkisar antara 28,33 - 29,33oC, salinitas berkisar antara 33,28 - 34,33 o/oo , pH antara 8,25 - 8,40. Kandungan NO3 dan PO4 yang terukur berkisar antara 1,6420 - 1,7640 mg/l dan 0,0978 - 0,1170 mg/l dan substrat dasarnya adalahpasir campur sedikit lumpur.Sedangkan hasil pengukuran kualitas air dan faktor lingkungan untuk metode budidaya di tambak memperlihatkan bahwa nilai kecerahan air berkisar antara 54 - 63 cm, suhu berkisar antara 27,9 - 30,4 oC, salinitas berkisar antara 24,3 - 30o/oo , pH antara  8,50 - 8,70. Kandungan NO3 dan PO4 yang terukur di tambak sedikit lebih rendah dari kandungan NO3 dan PO4 yang terukur di laut, yaitu berada pada nilai antara 0,044 - 0,149 mg/l dan 0,010 - 0,15 mg/l. Adapun substrat dasarnya adalah lumpur
Hasil analisis ragam terhadap nilai laju pertumbuhan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (P = 0,007) diantara perlakuan metode budidaya. Laju pertumbuhan dengan metode terapung pada permukaan terlihat lebih baik dibandingkan dengan metode budidaya melekat pada substrat dasar baik yang di laut maupun di tambak.Hal ini dikarenakan kedudukan dari masing-masing tanaman, dimana tanaman pada kedalaman 30 cm berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang diterimaoleh thallus. Azizah dkk. (1991 ) dalam Nuraini (2006) membuat suatu monogram intensitas sinar yang masuk ke dalam air dalam prosen. Hasil pengamatan sechidisk dapat diketahui bahwa lapisan kedalaman 40 cmmempunyai intensitas sinar 85 %, kedalaman 80 cm mempunyai intensitas sinar 75 % dan kedalaman 120cm mempunyai intensitas sinar sekitar 60 %.Sedangkan Azizah, dkk. (1991) dalam Nuraini (2006) mengatakan bahwa perbedaan penyinaran baik kualitatif maupun kuantitatif pada keadaan yang berbeda-beda akan mempengaruhi fotosintesa dari alga.
Lebih lanjut Azizah dkk.(1991) dalam Nuraini (2006) menambahkan bahwa variasi intensitas sinar yang diterima thallus secara sempurna merupakanfaktor utama dalam fotosintesa yang akan menunjanglaju pertumbuhan alga.Hasil uji Beda Nyata Terkecil, diketahui bahwalaju pertumbuhan latoh pada metode budidayaterapung di permukaan laut menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi. Hal ini diduga karena kondisi perairan di laut lebih baik untuk kehidupan latoh dibandingkan dengan yang ada di tambak, dimana didukung oleh kandungan N dan P yang ada dilaut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan N dan P yang ada di tambak. Kandungan NO3 dan PO4 di laut berkisar antara 1,6420 - 1,7640. mg/l dan 0,0978 - 0,1170. Sedangkan kandungan NO3 dan PO4 di tambak berkisar antara 0,044 - 0,149 mg/l dan 0,010 - 0,0315 mg/l. Menurut Hutabarat (2000) dalam Nuraini (2006), kandungan P di perairan tergolong tinggi jika nilainya diatas 0.1 ppm dan menurut Pratiwi (1996),kondisi optimum kandungan NO3-N untuk pertumbuhan alga di perairan tambak adalah sebesar 0,9 - 3,5 ppm. Seperti diketahui N dan P adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh alga dalam pertumbuhannya. Unsur P yang sedikit jumlahnya serta dalam perbandingannya dengan unsur N yang tidak serasi seringkali merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan alga (Hutabarat, 2000 dalam Nuraini (2006). Kondisi lain yang kurang mendukung kehidupan latoh di tambak adalah kedalaman perairan tambak.
Menurut Sunaryo (2001) dalam Nuraini (2006), tambak yang dikelola secara tradisional maupun semi intensif umumnya sangat dangkal, yaitu berkisar antara ± 60 - 80 cm. Lebih lanjut Sunaryo (2001) dalam Nuraini (2006),mengatakan kondisi demikian ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian parameter perairan sebagai akibat pengaruh fluktuasi alam, akibat selanjutnya dapat berpengaruh terhadap organisme yang hidup di dalamnya.Hasil uji beda nyata jujur, juga diperoleh bahwa laju pertumbuhan untuk metode budidaya di dasar baik yang di laut maupun di tambak tidak menunjukkan berbedaan yang nyata, dan laju pertumbuhan terendah dicapai oleh metode budidaya di dasar tambak. Keadaan ini disebabkan karenasubstrat dasar dari kedua lokasi tersebut hampir sama,yaitu pasir berlumpur dan lumpur berpasir. Keadaan substrat jenis ini kurang mendukung untuk kehidupan alga. Substrat disini berfungsi sebagai tempat melekatnya rumput laut, sedangkan rumput laut mendapatkan makanan dari air di sekitarnya melalui proses difusi. Jenis substrat memegang peranan dalam kehidupan alga, oleh karena itu substrat harusdiperhatikan derajat kekerasannya, kelembutannya,ketidakteraturannya dan lain sebagainya. Tipe substratada bermacam-macam, yaitu pasir, lumpur, pasircampur lumpur, karang mati, karang hidup, danpecahan karang. Akan tetapi menurut Mubarak (1982) dalam Nuraini (2006) tipe substrat yang ideal untuk pertumbuhan alga adalah reef area dengan dasar pasir karang bercampurdengan potongan karang.Keadaan lain yang ikut mempengaruhi laju pertumbuhan pada metode budidaya di dasar baik yang di laut maupun di tambak adalah kecerahan.Karena letaknya di dasar pada kedalaman ± 1 meter,maka kecerahan pada kedua lokasi tersebut dalam kondisi yang tidak maksimal, meskipun kecerahan hampir sampai di dasar akan tetapi kondisinya tidak sebagus dengan yang ada di permukaan. Rumput laut merupakan tumbuhan berklorofil yang memerlukan sinar matahari untuk pertumbuhannya, sehingga untuk pertumbuhannya rumput laut hanya terbatas pada tempat yang dangkal saja (Azizah dkk. 1991 dalam Nuraini (2006)).
Laju pertumbuhan untuk berbagai macam metode budidaya latoh yang diterapkan terlihat semakin menurun dengan bertambahnya umur pemeliharaan.Hal ini tampak jelas pada umur tanaman mulai mencapai umur 5 minggu. Keadaan ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mubarak (1982) dalam Nuraini (2006) bahwa pertumbuhan berjalan cepat pada awalpercobaan dan semakin lambat sejalan dengan bertambahnya umur pemeliharaan.Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa suhu di laut berkisar antara 28,33 - 29,330C dan ditambak berkisar antara 27,9 - 30,4 oC, kondisi suhu tersebut cukup mendukung kelangsungan hidup organisme di air. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) dalam Nuraini (2006), temperatur yang baik untuk mendukung kelangsungan hidup organisme di laut berkisar antara 28 - 30oC. Sedangkan menurut Soegiarto dkk. (1978) dalam Nuraini (2006) temperatur yang baik untuk kehidupan rumput lautadalah sekitar 27,5oC.Air laut di perairan Teluk Awur Jepara tempat penelitian mempunyai pH antara 8.25 - 8.40 dan pH di tambak penelitian berkisar antara 8.50 - 8.70.Kondisi pH tersebut sesuai untuk pertumbuhan alga,hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) dalam Nuraini (2006) yang mengatakan bahwa pH yang baik untuk pertumbuhanalga adalah 5 - 8.Salinitas yang terukur selama penelitian di perairanlaut berkisar antara 33,28 - 34,33 o/oo dan di perairan tambak salinitas berkisar antara 24,3 – 30 o/oo. Salinitas tersebut cukup wajar untuk mendukung kehidupanalga. Menurut Perry (2003) dalam Nuraini (2006), alga sublitoral dapat mentolerir salinitas 0,5 - 1,5 kali dari salinitas normal (16 - 50 o/oo). Sedangkan Alga intertidal mampu hidup pada kisaran salinitas 0,1 - 3,5 kali salinitas normal.Selanjutnya Dawes (1987) dalam Nuraini (2006) mengatakan bahwamakroalga masih dapat hidup pada salinitas antara 5- 35 o/oo.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai macam metode budidaya latoh (Caulerpa racemosa) yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan :Budidaya latoh (Caulerpa racemosa) dengan metode terapung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode dasar, baik untuk percobaan di laut maupun di tambak, dan laju pertumbuhan latoh (Caulerpa racemosa) tertinggi didapat pada metode budidaya terapung di permukaan laut. Sedangkan dilihat dari laju pertumbuhannya maka pemanenan latoh dapat dilakukan pada minggu ke 5 atau ke 6 (Nuraini,2006)
2.3.  Manfaat Caulerpa racemosa
Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir (Nontji, 1993).
Caulerpa racemosa memiliki kemampuan menghasilkan sumber antioksidan (Fithrani. D, 2009). Sifat Caulerpa racemosa yang aman dikonsumsi dan telah dimanfaatkan sebagian masyarakat pesisir sebagai sayuran segar, memungkinkan rumput laut ini dapat dieksplorasi sebagai sumber antioksidan alami.
2.3.1. Penelitian Caulerpa racemosa sebagai biokontrol (antibiotik alami)
Semakin banyak permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan antibiotik sintetik membuat perlu penelitian tentang potensi rumput laut Caulerpa racemosa sebagai biokontrol (antibiotik alami) dalam pengendalian penyakit infeksi pada organisme budidaya (Zainuddin dkk,2012). 
Hasil pengujian membuktikan bahwa hanya ekstrak n-heksana, ekstrak m.  etanol dan ekstrak metanol/H2O yang berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri pathogen.Aktivitas tertinggi diperlihatkan oleh ekstrak metanol/H2O terhadap strain Vibrio harveyi BPPBAP (Ø zona hambat 20,7 mm) disusul ekstrak metanol/H2O dan ekstrak metanol terhadap strain Vibrio harveyi FIKP dengan diameter zona hambat masing-masing 20,0 mm (Zainuddin dkk,2012). 
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ekstrak Caulerpa racemosa berpotensi sebagai biokontrol (antibakteri alami) penyakit infeksi pada organisme budidaya.  (Zainuddin dkk,2012)
Sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati laut, terutama jenis rumput laut, penggunaan ekstrak rumput laut hijau Caulerpa racemosa sebagai biokontrol (antibiotik alami) dapat menjadi alternatif yang efektif, aman dan ramah lingkungan dalam menanggulangi penyakit infeksi pada organisme budidaya.  Selain kandungan primernya yang bernilai ekonomis, kandungan metabolit sekunder dari rumput laut memperlihatkan berbagai aktivitas sebagai antibakteri, antivirus, antiparasit, antijamur, dan sitotoksik (Lindequist dan Schweder(2001) dalam  Zainuddin dkk. (2012); Mayer dan Hamann (2002) dalam  Zainuddin dkk. (2012); Newman dkk. (2003) dalam  Zainuddin dkk. (2012); Serkedjieva (2004) dalam  Zainuddin dkk. (2012); Tuney dkk.(2006) dalam  Zainuddin dkk. (2012); Manilal dkk. (2010) dalam  Zainuddin dkk. (2012)).
Penghambatannya yang spesifik terhadap bakteri telah banyak dilaporkan oleh para peneliti (Zainuddin  (2010) dalam  Zainuddin dkk.(2012); De Val dkk. dalam  Zainuddin dkk. (2012), 2001; Siddhanta dkk. , 1997 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Mahasneh dkk., 1995 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Sridhar dan Vidyavathi, 1991 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Rao dan Parekh, 1981 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Sachithananthan dan Sivapalan, 1975 dalam  Zainuddin dkk. (2012)).  Namun masih sedikit yang melaporkan tentang aktivitasnya terhadap bakteri patogen pada ikan (Zainuddin dan Malina, 2009 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Bansemir dkk., 2006 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Choudhury dkk., 2005 dalam  Zainuddin dkk. (2012); Liao dkk., 2003 dalam  Zainuddin dkk. (2012)).
Caulerpa racemosa merupakan salah satu jenis rumput laut hijau yang berpotensi sebagai produk farmasi dan biasa digunakan oleh masyarakat pesisir pantai di Asia sebagai obat luka bakar, bahan antibakteri, antijamur dan anastetik ringan (Utomo, 2001).  Jenis ini juga dapat digunakan untuk terapi tekanan darah tinggi dan gondok (Saptasari, 2010).  Caulerpa racemosa ditemukan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas terhadap bakteri patogen Gram-negatif dan Gram-positif dengan diameter zona hambat 12-16 mm (Kandhasamy dan Arunachala (2008) dalam  Zainuddin dkk. (2012)). 
Ekstrak Caulerpa racemosa telah diteliti memiliki senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis, dengan diameter zona hambat berkisar antara 16-26 mm (Budji, 2010; Mtolera dan Semesi, 1996).  Jenis ini juga memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen Pseudomonas pavanaceae, Pseudomonas syntata, dan Pseudomonas tetrolens (Saptasari (2010) dalam  Zainuddin dkk. (2012)). 
Untuk penggunaannya dalam pengobatan sebagai antibiotik alami, maka penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) dari ekstrak Caulerpa racemosa sangat penting dilakukan.  Nilai KHM adalah konsentrasi terendah dari ekstrak uji yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen.  Hal ini sangat bermanfaat guna menghindari efek toksik atau mematikan terhadap organisme budidaya yang merupakan inang dari bakteri pathogen, serta terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan yang terakumulasi antibiotik dalam tubuhnya (Zainuddin dkk,2012).
Deteksi senyawa antibakteri dari ekstrak n-heksana maupun metanol dilakukan dengan tehnik KLT-bioautografi. Dari jenis Caulerpa sertularioides ditemukan 5 jenis senyawa dalam ekstrak n-heksana yaitu caulerpin, sitosterol, asam palmitat, steroid dan hidrokarbon.  Januar dkk. (2004) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif dalam fraksi metanol Caulerpa sp. berupa senyawa caulerpicin, caulerpenin, dan caulerpin.  Senyawa caulerpicin dan caulerpin dapat diisolasi dari Caulerpa racemosa, Caulerpa sertulariodes dan Caulerpa lentifera (Saptasari (2010) dalam  Zainuddin dkk. (2012)).  Caulerpicin memiliki efek anestesia yang ringan (Singko (2011) dalam  Zainuddin dkk. (2012)).

KESIMPULAN
1.Metode budidaya yang terbaik dalam budidaya Caulerpa sp. adalah metode terapung di permukaan laut.
2. 2.     Potensi yang dihasilkan makroalga Caulerpa sp. adalah sayuran segar atau lalap sebagai sumber antioksidan alami, antibiotik alami

No comments:

Post a Comment