Budidaya Caulerpa
sp Sebagai Upaya Menunjang Kontinuitas Produksi
dan Potensinya Sebagai Antibiotik Alami
Disusun
oleh :
Hana
Hunafa 140410100036
Ricky
R 140410100018
Saugi
140410100105
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Universitas Padjajaran
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara maritim.
Negara Indonesia memiliki banyak laut yang mengelilingi kepulauan sehingga
melimpahnya kekayaan alam lautnya. Makro alga laut merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang tersebar melimpah di seluruh kepulauan Indonesia itu (Sambo 2010).
Makroalga yang hidup di kawasan indonesia sangatlah bervariasi
jenisnya tetapi belum banyak yang memanfaatkan potensinya secara optimum oleh
masyarakat indonesia. Masyarakat di Indonesia telah lama mengenalnya
sebagai rumput laut (Sea Weed).Akan tetapi dalam pemanfaatannya umumnya masih banyak yang
menggantungkan dari alam, namun keperluan yang ada hanya sedikit melalui proses budidaya Nuraini (2006:101)
Makroalga sebagian besar hidup di
perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk
tempat menempel/hidup. makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu,
batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang moluska, dan epifit pada tumbuhan
lain atau makroalga jenis yang lain. Klasifikasi makroalga menurut Dawes
(1981), terdiri dari 3 divisio yaitu Chlorophyta (alga hijau), Rhodophyta (alga
merah), dan Phaeophyta (alga coklat).
Chlorophyceae (Ganggang
hijau) adalah salah satu kelas dari ganggang yang sel-selnya bersifat
eukariotin (materi inti dibungkus oleh membran inti), pigmen korofil terdapat
dalam jumlah terbanyak sehingga ganggang ini berwarna hijau. Pigmen lain yang
dimiliki adalah Karoten dan Xantofil. Makroalga jenis Chlorophyta biasanya
hidup di perairan laut (Sapri, 2008).
Caulerpa
adalah salah satu dari beberapa genus rumput laut, yang diidentifikasi berdasarkan
sifatnya. Thallus mempunyai struktur siphonous yang tidak bersepta, terdiri
dari rimpang merayap yang menghasilkan gumpalan berwarna, rhizoidnya kearah
bawah dan cabang fotosintetik (assimilators) kearah atas. Lapisan tipis
sitoplasma, yang terkandung tak terhitung banyaknya dari setiap jenis organel, dan
mendorong ke dinding. Assimilators diasumsikan dalam berbagai bentuk (Silva,
2002).
Makroalga C. racemosa mempunyai
bentuk yang terdiri dari sejumlah cabang terkait dengan stolons yang
berlabuh ke substrat
berpasir oleh rhizoids .Cabang-cabang
adalah beberapa sentimeter terpisah dan dapat tumbuh sampai ketinggian 30 cm
(12 inchi). Banyak sisi-tunas bulat atau bulat telur bercabang hal inilah
yang membuat alga ini dijuluki sebagai anggur laut (Agardh, 1873).
Jenis
ini sangat melimpah di kawasan Indonesia tetapi produksi rumput laut jenis Latoh (Caulerpa sp.) hingga masa sekarang masih juga menggantungkan hasil dari alam Aslan (1991) dalam Nuraini (2006:101). Pada umumnya sumber daya yang masih menggantungkan produksi dari alam sering mendapatkan hambatan, diantaranya adalah produksinya rendah karena ketergantungan pada
musim.Kondisi ini akan berdampak terhadap tidak adanya kesinambungan produksi
Latoh (Caulerpa sp) dalam jumlah yang
mencukupi pada setiap waktu. Di lain pihak permintaan akan rumput laut ini
semakin tahun semakin meningkat, sehingga produksi rumput laut tidak bisa hanya
mengandalkan hasil dari alam saja, untuk itu perlu dilakukan suatu usaha
budidaya untuk menunjang keberadaannya dalam jumlah besar dan secara kontinu.Selain
itu masih minimnya pengunaannya dalam
budidaya dan pemanfaatan potensi dari jenis alga ini. Maka dari itu makalah ini
akan mengulas bagaimana cara budidaya dan manfaat Caulerpa sp.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana
Budidaya Caulerpa sp yang baik ?
2. Potensi
apakah yang dihasilkan makroalga Caulerpa
sp?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah memenuhi mata kuliah budidaya alga, mengetahui cara budidaya Caulerpa sp dan mengetahui manfaat jenis
Caulerpa sp.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Makroalga
Makro alga (rumput laut) hidup di
laut dan tidak memiliki akar, batang dan daun sejati dan pada umumnya hidup di
dasar perairan dan menempel pada substrat (benda lain). Fungsi akar (holdfas)
pada rumput laut bukan sebagai penyerap makan melainkan saebagai alat pelekat
pada substrat. Karena tidak memiliki akar, batang dan daun seperti umumnya pada
tanaman, maka rumput laut digolongkan ke dalam tumbuhan tingkat rendah
(Thallophyta). Morfologi dari rumput laut merupakan salah satu dasar untuk
membedakan antara satu jenis alga dengan alga yang lain, bentuk thallus,
kandungan pigmen, fungsi-fungsi bagian rumput laut serta beberapa hal mendasar
yang membedakan rumput laut (Kadi, 1996).
Makro alga
tersebar di daerah litoral dan sublitoral. Daerah tersebut masih memperoleh
cahaya cukup, sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung (Dawes, 1981).
Makro alga menyerap nutrisi berupa fosfor dan nitrogen dari lingkungan sekitar
perairan sehingga makro alga dapat
dijadikan bioindikator sekaligus sebagai filter kondisi perairan.
2.2.
Caulerpa sp.
2.2.1.
Klasifikasi
Caulerpa racemosa.
Klasifikasi
(Dodge, 1973):
Kingdom : Protista
Divisi : Chlorophyta
Class
: Chlorophyceae Gambar Caulerpa racemosa
(www.Forestryimage.org)
Ordo : Volvocales
Famili : Volvoceae
Genus : Caulerpa
Spesies : Caulerpa
racemosa
Caulerpa racemosa termasuk
ke dalam algae hijau (Chlorophyceae). Bentuk tubuh dari spesies ini adalah
senositik. Alga jenis ini memiliki bentuk tubuh yang sangat spesifik karena
menyerupai segerombolan buah anggur yang tumbuh pada tangkainya. Spesies
mempunyai cabang utama yang berupa axis/stolon sehingga dimasukkan sebagai
bangsa siphonales (stolon berbentuk seperti pipa). Holdfast yang terdapat
menyebar di seluruh axis berfungsi untuk melekat pada substrat.
Alga ini terdiri
dari banyak spesies yang umumnya banyak dijumpai pada pantai yang memiliki
rataan terumbu karang. Spesies ini tumbuh pada substrat karang mati, pasir yang
berlumpur dan lumpur. Kebanyakan jenis ini tidak tahan terhadap kondisi kering,
oleh karena itu tumbuh pada saat surut terendah yang masih tergenang air
(Aslan, 1991).
2.2.2.
Budidaya
Bahan
2.2.2.1.
Bahan
Metode
Berdasarkan penelitian
Nuraini (2006) yang
dilaksanakan pada tanggal 2 Agustus - 2 Oktober 2000 di perairan sekitar Teluk Awur,
Jepara dan di tambak yang berada di sekitar Kampus Ilmu Kelautan Teluk Awur,
Jepara.Bahan yang digunakan dalam penelitian itu adalah makroalga jenis Latoh (Caulerpa racemosa), yang didapatkan dari
perairan di sekitar Teluk Awur, Jepara.Sebelum penelitian dilakukan diadakan
adaptasi lebih dahulu dengan lingkungan tempat penelitian kurang lebih selama 1
minggu. Berat awal dari latoh yang digunakan pada setiap perlakuan dalam
penelitian ini adalah 300 gram.Penelitian itu menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan penguikuran berulang sebagai rancangan utama penelitian. Perlakuan
berupa berbagai macam metode budidaya latoh di laut dan di tambak, yaitu
pemeliharaan latoh terapung pada permukaan laut (perlakuan A) dan di dasar laut
(perlakuan B), pemeliharaan latoh terapung pada permukaan tambak (perlakuan C)
dan di dasar tambak (perlakuan D).
Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.Pengambilan data dilakukan setiap minggu
dan lama pemeliharaan adalah 2 bulan.
Data diperoleh
melalui pengamatan secara langsung terhadap pertumbuhan bahan uji latoh (Caulerpa racemosa), yaitu dengan jalan
menimbang berat latoh (Caulerpa racemosa)
setiap minggunya.Data laju pertumbuhan pada akhir pengamatan yang diperoleh
diuji secara statistik dengan menggunakan sidik ragam, yang sebelumnya telah dilakukan
uji additivitas, homogenitas dan normalitas.Jika dari hasil perhitungan sidik
ragam diperoleh perbedaan pengaruh perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji beda
nyata terkecil untuk melihat perlakuan mana yang memberikan perbedaan
nyata.Selain pengumpulan data dari pertumbuhan seperti tersebut diatas, juga
dilakukan pemantauan terhadap kualitas air yang meliputi parameter :kecerahan,
suhu, salinitas, pH dan kandungan N dan P perairan baik yang di laut (Nuraini. 2006).
2.2.2.2.
Hasil
dan Pembahasan
Setelah
dilakukan penimbangan setiap 1 minggu selama 2 bulan, maka didapatkan data
tentang berat basah latoh yang disajikan pada Gambar 1, serta laju pertumbuhan
spesifik latoh disajikan pada Gambar 2.Berdasarkan dari nilai pertambahan berat
latoh (Gambar 1), dapat diketahui bahwa berat maksimum pada setiap perlakuan
dicapai pada pada minggu ke 5, setelah itu ada kecenderungan berat mulai
berkurang.Hasil perhitungan prosentase laju pertumbuhan (Gambar 2) menunjukkan
nilai yang fluktuatif.Prosentase laju pertumbuhan untuk masing-masing perlakuan
mencapai nilai optimum pada minggu ke2, untuk selanjutnya ada penurunan dan
mulai terlihat ada peningkatan lagi pada minggu ke 5, setelah itu terlihat
menurun lagi sampai pada akhir pemeliharaan.Nilai laju pertumbuhan spesifik
latoh pada metode budidaya di permukaan laut berkisar
antara 1,1100 -4,0333 % per hari dan pada metode
Budidaya latoh di
dasar laut berkisar antara 0,5591 - 3,2286 % perhari. Sedangkan nilai laju
pertumbuhan latoh padametode budidaya di permukaan tambak berkisar antara 0,8467
- 3,4388 % per hari dan pada metode budidaya latoh di dasar tambak berkisar
antara 0,5145- 3,0274 % per hari.Hasil analisis ragam terhadap laju pertumbuhan
specifik, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (P = 0,007) di antara
perlakuan metode budidaya di tambak.
Untuk mengetahui
perbedaan antar metode budidaya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil.Hasil uji
Beda Nyata Terkecil diketahui bahwa laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh
metode budidaya terapung di permukaan laut, dan tidak berbeda nyata dengan laju
pertumbuhan pada metode budidaya dipermukaan tambak. Akan tetapi laju
pertumbuhan latoh dengan metode terapung di permukaan laut dan permukaan tambak
terlihat lebih baik dan berbeda nyata dengan laju pertumbuhan yang ada di dasar
laut maupun yang ada di dasar tambak. Adapun laju pertumbuhan terendah dicapai
oleh metode budidaya di dasar tambak.Data mengenai kualitas air dan faktor
lingkunganyang diukur dan diamati setiap minggu selama penelitian pada setiap
perlakuan, adalah sebagai berikut:
Hasil pengukuran
kualitas air dan faktor lingkungan untuk metode budidaya di laut memperlihatkan
bahwa nilai kecerahan air berkisar antara 92 - 109 cm, suhu berkisar antara
28,33 - 29,33oC, salinitas berkisar antara 33,28 - 34,33 o/oo
, pH antara 8,25 - 8,40. Kandungan NO3 dan PO4 yang terukur
berkisar antara 1,6420 - 1,7640 mg/l dan 0,0978 - 0,1170 mg/l dan substrat
dasarnya adalahpasir campur sedikit lumpur.Sedangkan hasil pengukuran kualitas
air dan faktor lingkungan untuk metode budidaya di tambak memperlihatkan bahwa
nilai kecerahan air berkisar antara 54 - 63 cm, suhu berkisar antara 27,9 -
30,4 oC, salinitas berkisar antara 24,3 - 30o/oo
, pH antara 8,50 - 8,70. Kandungan NO3
dan PO4 yang terukur di tambak sedikit lebih rendah dari
kandungan NO3 dan PO4 yang terukur di laut, yaitu berada
pada nilai antara 0,044 - 0,149 mg/l dan 0,010 - 0,15 mg/l. Adapun substrat
dasarnya adalah lumpur
Hasil analisis
ragam terhadap nilai laju pertumbuhan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
nyata (P = 0,007) diantara perlakuan metode budidaya. Laju pertumbuhan dengan
metode terapung pada permukaan terlihat lebih baik dibandingkan dengan metode
budidaya melekat pada substrat dasar baik yang di laut maupun di tambak.Hal ini
dikarenakan kedudukan dari masing-masing tanaman, dimana tanaman pada kedalaman
30 cm berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang diterimaoleh thallus. Azizah
dkk. (1991 ) dalam Nuraini (2006) membuat
suatu monogram intensitas sinar yang masuk ke dalam air dalam prosen. Hasil
pengamatan sechidisk dapat diketahui bahwa lapisan kedalaman 40 cmmempunyai
intensitas sinar 85 %, kedalaman 80 cm mempunyai intensitas sinar 75 % dan
kedalaman 120cm mempunyai intensitas sinar sekitar 60 %.Sedangkan Azizah, dkk.
(1991) dalam Nuraini (2006) mengatakan
bahwa perbedaan penyinaran baik kualitatif maupun kuantitatif pada keadaan yang
berbeda-beda akan mempengaruhi fotosintesa dari alga.
Lebih lanjut
Azizah dkk.(1991) dalam Nuraini (2006)
menambahkan bahwa variasi intensitas sinar yang diterima thallus secara
sempurna merupakanfaktor utama dalam fotosintesa yang akan menunjanglaju
pertumbuhan alga.Hasil uji Beda Nyata Terkecil, diketahui bahwalaju pertumbuhan
latoh pada metode budidayaterapung di permukaan laut menghasilkan laju pertumbuhan
tertinggi. Hal ini diduga karena kondisi perairan di laut lebih baik untuk
kehidupan latoh dibandingkan dengan yang ada di tambak, dimana didukung oleh
kandungan N dan P yang ada dilaut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
N dan P yang ada di tambak. Kandungan NO3 dan PO4 di laut
berkisar antara 1,6420 - 1,7640. mg/l dan 0,0978 - 0,1170. Sedangkan kandungan NO3
dan PO4 di tambak berkisar antara 0,044 - 0,149 mg/l dan 0,010 -
0,0315 mg/l. Menurut Hutabarat (2000) dalam
Nuraini (2006),
kandungan P di perairan tergolong tinggi jika nilainya diatas 0.1 ppm dan
menurut Pratiwi (1996),kondisi optimum kandungan NO3-N untuk pertumbuhan
alga di perairan tambak adalah sebesar 0,9 - 3,5 ppm. Seperti diketahui N dan P
adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh alga dalam pertumbuhannya. Unsur
P yang sedikit jumlahnya serta dalam perbandingannya dengan unsur N yang tidak serasi
seringkali merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan alga (Hutabarat, 2000 dalam Nuraini (2006).
Kondisi lain yang kurang mendukung kehidupan latoh di tambak adalah kedalaman
perairan tambak.
Menurut Sunaryo
(2001) dalam Nuraini (2006),
tambak yang dikelola secara tradisional maupun semi intensif umumnya sangat
dangkal, yaitu berkisar antara ± 60 - 80 cm. Lebih lanjut Sunaryo (2001) dalam Nuraini (2006),mengatakan
kondisi demikian ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian parameter
perairan sebagai akibat pengaruh fluktuasi alam, akibat selanjutnya dapat
berpengaruh terhadap organisme yang hidup di dalamnya.Hasil uji beda nyata
jujur, juga diperoleh bahwa laju pertumbuhan untuk metode budidaya di dasar baik
yang di laut maupun di tambak tidak menunjukkan berbedaan yang nyata, dan laju pertumbuhan
terendah dicapai oleh metode budidaya di dasar tambak. Keadaan ini disebabkan
karenasubstrat dasar dari kedua lokasi tersebut hampir sama,yaitu pasir
berlumpur dan lumpur berpasir. Keadaan substrat jenis ini kurang mendukung
untuk kehidupan alga. Substrat disini berfungsi sebagai tempat melekatnya
rumput laut, sedangkan rumput laut mendapatkan makanan dari air di sekitarnya
melalui proses difusi. Jenis substrat memegang peranan dalam kehidupan alga,
oleh karena itu substrat harusdiperhatikan derajat kekerasannya, kelembutannya,ketidakteraturannya
dan lain sebagainya. Tipe substratada bermacam-macam, yaitu pasir, lumpur,
pasircampur lumpur, karang mati, karang hidup, danpecahan karang. Akan tetapi
menurut Mubarak (1982) dalam Nuraini (2006)
tipe substrat yang ideal untuk pertumbuhan alga adalah reef area dengan dasar
pasir karang bercampurdengan potongan karang.Keadaan lain yang ikut
mempengaruhi laju pertumbuhan pada metode budidaya di dasar baik yang di laut
maupun di tambak adalah kecerahan.Karena letaknya di dasar pada kedalaman ± 1
meter,maka kecerahan pada kedua lokasi tersebut dalam kondisi yang tidak
maksimal, meskipun kecerahan hampir sampai di dasar akan tetapi kondisinya
tidak sebagus dengan yang ada di permukaan. Rumput laut merupakan tumbuhan
berklorofil yang memerlukan sinar matahari untuk pertumbuhannya, sehingga untuk
pertumbuhannya rumput laut hanya terbatas pada tempat yang dangkal saja (Azizah
dkk. 1991 dalam Nuraini (2006)).
Laju pertumbuhan
untuk berbagai macam metode budidaya latoh yang diterapkan terlihat semakin menurun
dengan bertambahnya umur pemeliharaan.Hal ini tampak jelas pada umur tanaman
mulai mencapai umur 5 minggu. Keadaan ini sesuai dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Mubarak (1982) dalam
Nuraini (2006)
bahwa pertumbuhan berjalan cepat pada awalpercobaan dan semakin lambat sejalan
dengan bertambahnya umur pemeliharaan.Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan
bahwa suhu di laut berkisar antara 28,33 - 29,330C dan ditambak
berkisar antara 27,9 - 30,4 oC, kondisi suhu tersebut cukup mendukung
kelangsungan hidup organisme di air. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) dalam Nuraini (2006),
temperatur yang baik untuk mendukung kelangsungan hidup organisme di laut
berkisar antara 28 - 30oC. Sedangkan menurut Soegiarto dkk. (1978) dalam Nuraini (2006) temperatur
yang baik untuk kehidupan rumput lautadalah sekitar 27,5oC.Air laut
di perairan Teluk Awur Jepara tempat penelitian mempunyai pH antara 8.25 - 8.40
dan pH di tambak penelitian berkisar antara 8.50 - 8.70.Kondisi pH tersebut
sesuai untuk pertumbuhan alga,hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1971) dalam Nuraini (2006)
yang mengatakan bahwa pH yang baik untuk pertumbuhanalga adalah 5 - 8.Salinitas
yang terukur selama penelitian di perairanlaut berkisar antara 33,28 - 34,33 o/oo
dan di perairan tambak salinitas berkisar antara 24,3 – 30 o/oo.
Salinitas tersebut cukup wajar untuk mendukung kehidupanalga. Menurut Perry
(2003) dalam Nuraini (2006),
alga sublitoral dapat mentolerir salinitas 0,5 - 1,5 kali dari salinitas normal
(16 - 50 o/oo). Sedangkan Alga intertidal mampu hidup pada
kisaran salinitas 0,1 - 3,5 kali salinitas normal.Selanjutnya Dawes (1987) dalam Nuraini (2006) mengatakan
bahwamakroalga masih dapat hidup pada salinitas antara 5- 35 o/oo.
Berdasarkan
hasil penelitian terhadap berbagai macam metode budidaya latoh (Caulerpa racemosa) yang telah dilakukan,
dapat diperoleh kesimpulan :Budidaya latoh (Caulerpa
racemosa) dengan metode terapung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan metode dasar, baik untuk percobaan di laut maupun di tambak, dan laju pertumbuhan
latoh (Caulerpa racemosa) tertinggi didapat
pada metode budidaya terapung di permukaan laut. Sedangkan dilihat dari laju pertumbuhannya
maka pemanenan latoh dapat dilakukan pada minggu ke 5 atau ke 6 (Nuraini,2006)
2.3.
Manfaat
Caulerpa racemosa
Caulerpa racemosa bersifat edible atau
dapat dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah
dimanfaatkan sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas
pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir (Nontji, 1993).
Caulerpa
racemosa memiliki kemampuan menghasilkan sumber
antioksidan (Fithrani. D, 2009). Sifat Caulerpa
racemosa yang aman dikonsumsi dan telah dimanfaatkan sebagian masyarakat
pesisir sebagai sayuran segar, memungkinkan rumput laut ini dapat dieksplorasi
sebagai sumber antioksidan alami.
2.3.1.
Penelitian
Caulerpa racemosa sebagai biokontrol (antibiotik alami)
Semakin
banyak permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan antibiotik sintetik membuat
perlu penelitian tentang potensi rumput laut Caulerpa racemosa sebagai biokontrol (antibiotik alami) dalam
pengendalian penyakit infeksi pada organisme budidaya (Zainuddin
dkk,2012).
Hasil pengujian membuktikan bahwa hanya ekstrak
n-heksana, ekstrak m. etanol dan ekstrak
metanol/H2O yang berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri pathogen.Aktivitas
tertinggi diperlihatkan oleh ekstrak metanol/H2O terhadap strain Vibrio harveyi BPPBAP (Ø zona hambat
20,7 mm) disusul ekstrak metanol/H2O dan ekstrak metanol terhadap
strain Vibrio harveyi FIKP dengan
diameter zona hambat masing-masing 20,0 mm (Zainuddin dkk,2012).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ekstrak Caulerpa racemosa berpotensi sebagai
biokontrol (antibakteri alami) penyakit infeksi pada organisme budidaya. (Zainuddin dkk,2012)
Sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya
hayati laut, terutama jenis rumput laut, penggunaan ekstrak rumput laut hijau Caulerpa racemosa sebagai biokontrol
(antibiotik alami) dapat menjadi alternatif yang efektif, aman dan ramah
lingkungan dalam menanggulangi penyakit infeksi pada organisme budidaya. Selain kandungan primernya
yang bernilai ekonomis, kandungan metabolit sekunder dari rumput laut memperlihatkan berbagai aktivitas sebagai antibakteri,
antivirus, antiparasit, antijamur, dan sitotoksik (Lindequist dan
Schweder(2001) dalam Zainuddin dkk.
(2012); Mayer dan Hamann (2002) dalam Zainuddin dkk. (2012); Newman dkk. (2003) dalam Zainuddin dkk. (2012); Serkedjieva
(2004) dalam Zainuddin dkk.
(2012); Tuney dkk.(2006)
dalam Zainuddin dkk. (2012); Manilal dkk. (2010) dalam Zainuddin dkk. (2012)).
Penghambatannya
yang spesifik terhadap bakteri telah banyak dilaporkan oleh para peneliti (Zainuddin (2010) dalam
Zainuddin dkk.(2012); De Val dkk. dalam Zainuddin
dkk. (2012), 2001; Siddhanta
dkk. , 1997 dalam Zainuddin dkk. (2012); Mahasneh dkk., 1995 dalam Zainuddin dkk.
(2012); Sridhar dan Vidyavathi, 1991 dalam Zainuddin dkk. (2012); Rao dan Parekh, 1981 dalam Zainuddin dkk. (2012); Sachithananthan dan
Sivapalan, 1975 dalam Zainuddin dkk.
(2012)). Namun
masih sedikit yang melaporkan tentang aktivitasnya terhadap bakteri patogen
pada ikan (Zainuddin dan Malina, 2009 dalam Zainuddin dkk.
(2012); Bansemir
dkk., 2006 dalam Zainuddin dkk. (2012); Choudhury dkk.,
2005 dalam Zainuddin dkk.
(2012); Liao dkk., 2003
dalam Zainuddin dkk. (2012)).
Caulerpa racemosa merupakan salah satu jenis
rumput laut hijau yang berpotensi sebagai produk farmasi dan biasa digunakan
oleh masyarakat pesisir pantai di Asia sebagai obat luka bakar, bahan
antibakteri, antijamur dan anastetik ringan (Utomo, 2001). Jenis ini juga dapat digunakan untuk terapi tekanan
darah tinggi dan gondok (Saptasari, 2010).
Caulerpa racemosa
ditemukan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas terhadap bakteri
patogen Gram-negatif dan Gram-positif dengan diameter zona hambat 12-16 mm (Kandhasamy dan Arunachala (2008) dalam Zainuddin dkk.
(2012)).
Ekstrak Caulerpa racemosa telah diteliti memiliki senyawa
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen seperti Escherichia
coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis, dengan diameter zona hambat berkisar antara
16-26 mm (Budji, 2010; Mtolera
dan Semesi, 1996). Jenis ini juga
memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri patogen Pseudomonas pavanaceae, Pseudomonas
syntata, dan Pseudomonas tetrolens (Saptasari (2010) dalam Zainuddin dkk. (2012)).
Untuk
penggunaannya dalam pengobatan sebagai antibiotik alami, maka penentuan
konsentrasi hambat minimum (KHM) dari ekstrak Caulerpa racemosa sangat penting dilakukan. Nilai
KHM adalah konsentrasi terendah dari ekstrak uji yang menghambat pertumbuhan
bakteri patogen. Hal ini sangat bermanfaat guna menghindari efek
toksik atau mematikan terhadap organisme budidaya yang merupakan inang dari
bakteri pathogen, serta terhadap manusia yang mengkonsumsi ikan yang
terakumulasi antibiotik dalam tubuhnya (Zainuddin
dkk,2012).
Deteksi senyawa antibakteri
dari ekstrak n-heksana maupun metanol dilakukan dengan tehnik KLT-bioautografi. Dari jenis Caulerpa sertularioides
ditemukan 5 jenis senyawa dalam ekstrak n-heksana yaitu caulerpin, sitosterol,
asam palmitat, steroid dan hidrokarbon.
Januar dkk. (2004) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif dalam
fraksi metanol Caulerpa sp. berupa senyawa caulerpicin, caulerpenin, dan
caulerpin. Senyawa caulerpicin dan
caulerpin dapat diisolasi dari Caulerpa racemosa, Caulerpa sertulariodes
dan Caulerpa lentifera (Saptasari (2010) dalam Zainuddin dkk. (2012)).
Caulerpicin memiliki efek anestesia yang ringan (Singko (2011) dalam Zainuddin dkk. (2012)).
KESIMPULAN
1.Metode budidaya yang terbaik dalam budidaya Caulerpa sp. adalah metode terapung di permukaan laut.
2. 2. Potensi yang dihasilkan makroalga Caulerpa
sp. adalah sayuran segar atau lalap sebagai sumber antioksidan alami, antibiotik
alami
No comments:
Post a Comment