Saturday, October 24, 2015

ETIKA LINGKUNGAN DAN KONSERVASI, SERTA KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN



ETIKA LINGKUNGAN DAN KONSERVASI, SERTA KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN


TUGAS TATA GUNA BIOLOGI


Disusun oleh :
140410100009
M Fajar Fahmi S.
140410100010
Candra Raharja
140410100026
Mutia Septi Saputri
140410100051
 Ismi Istiqomah R.
140410100058
Zelan Dz Aliana
140410080083
Tammy M.

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013
Etika Lingkungan dan Konservasi, serta Kearifan Lokal dalam Pembangunan

Candra Raharja, Ismi Istiqomah Ruhyati, Muhammad Fajar Fahmi Suffiandi, Mutia Septi Saputri, Zelan Dz Aliana, Tammy Maymediani Mahmud

Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK
Etika lingkungan adalah sebuah refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Terdapat beberapa teori etika lingkungan yang sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan, yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Biosentrisme menyatakan bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme, karena kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Pembangunan merupakan suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok. Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang permintaan akan sumberdaya alam semakin meningkat. Beberapa kegiatan etika lingkungan dalam pembangunan yang dilakukan masyarakat Indonesia, terwujud dalam bentuk kearifan lokal.

Kata kunci: etika lingkungan, pembangunan, kearifan lokal

DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................        i
DAFTAR ISI ...................................................................................................         ii
PENDAHULUAN ...........................................................................................        1
1.1         Latar Belakang …………....................................................................        1
1.2         Identifikasi Masalah ............................................................................        2
1.3         Maksud dan Tujuan .............................................................................        2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………..……           3
2.1         Pengertian dan Etika Lingkungan ........................................................       3
2.2         Teori Etika Lingkungan .......................................................................        5
2.3         Prinsip Etika Lingkungan  ………………….......................................        6
2.4         Hakikat Pembangunan dan Pembangunan Berkelanjutan.............      .        7
2.5         Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability)……...........               7
KESIMPULAN ................................................................................................       19
3.1         Kesimpulan ..........................................................................................        19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................       20



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat. Dapat pula dikatakan pembangunan bertujuan untuk menaikkan mutu hidup rakyat. Karena mutu hidup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar, pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik. Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang esensial bagi kehidupan manusia.
Dalam usaha untuk memperbaiki mutu hidup, kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi rusak harus dijaga. Sebab jika kerusakan terjadi, bukannya perbaikan mutu hidup yang akan dicapai, melainkan justru kemerosotan. Bahkan bila kerusakan terlalu parah, dapatlah terjadi kepunahan kehidupan kita sendiri. Atau paling sedikit ekosistem tempat kita hidup dapat mengalami keambrukan yang akan mengakibatkan banyak kesulitan. Pembangunan demikian bersifat tidak berkelanjutan.
Etika lingkungan merupakan sebuah refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Etika lingkungan cenderung dilupakan pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada disekitarnya.
Oleh karena itu, etika lingkungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan untuk menaikkan tingkat hidup dan kesejahteraan manusia.




1.2  Identifikasi Masalah
1.      Bagaimana etika lingkungan dan konservasi yang berjalan dalam pembangunan saat ini.
2.      Bagaimana peran masyarakat itu sendiri dalam hal ini.

1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat Indonesia dalam pembangunan dengan berlandaskan etika lingkungan dan konservasi. Tujuan dari penulisan makalah ini agar penulis mampu memahami  peran yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam pembangunan dengan berlandaskan etika lingkungan dan konservasi.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Etika dan Etika Lingkungan
Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Moralitas berasal dari kata Latin mos (jamak : mores) yang juga berarti “adat-istiadat” atau “kebiasaan”. Jadi, dalam pengertian harfiah, etika dan moralitas sama-sama berarti kebiasaan yang dibakukan dalam bentuk aturan (Keraf, 2002).
Etika juga berisikan nilai-nilai dan prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku. Sekaligus juga berarti, etika memberi kriteria bagi penilaian moral tentang apa yang harus dilakukan dan tentang apakah suatu tindakan dan keputusan dinilai sebagai baik atau buruk secara moral (Keraf, 2002)
Etika juga memiliki pengertian yang berbeda dengan moralitas. Etika dalam pengertian ini berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan, menentukan sikap, dan bertindak secara benar sebagai manusia. Refleksi kritis ini menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang diberikan oleh etika dan moralitas tentang norma dan nilai yang kita anut selama ini. Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja. Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, dan sistem sosial-politik, sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Refleksi kritis yang ketiga ini penting untuk menentukan pilihan dan prioritas moral yang akan diutamakan, baik dalam hidup sehari-hari maupun situasi dilematis. Ketiga hal ini harus dikaji dan dipertimbangkan secara kritis untuk sampai kepada sebuah keputusan yang memilih salah satu dari norma dan nilai yang saling bertentangan (Keraf, 2002).
Etika adalah hal yang sering dilupakan dalam pembahasan perusakan lingkungan. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini cenderung langsung menggunakan fenomena-fenomena yang muncul di permukaan dan kemudian mencari penyebabnya kepada aktivitas yang ada di sekitar fenomena tersebut (misalnya: Logging, Pertambangan, Industri) sebagai tersangka dan untuk mendukung kecurigaan tersebut digunakanlah bukti-bukti yang dikatakan ilmiah, walaupun sering terjadi data yang dikemukakan tidak relevan.Pada sisi lain pihak yang dituduh kemudian juga menyodorkan informasi atau data yang bersifat teknis yang menyatakan mereka tidak bersalah, akibatnya konflik yang terjadi semakin panas dan meluas, padahal kalau mereka yang berkonflik memiliki etika yang benar tentang lingkungan hidup maka konflik yang menuju kearah yang meruncing akan dapat dicegah (Kuswata dan Anthony, 1991).
Dengan adanya kedua pembedaan mengenai pengertian etika, etika lingkungan hidup masuk ke dalam pengertian kedua, yakni sebuah refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini (Keraf, 2002).
Etika lingkungan cenderung dilupakan pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada disekitarnya, atau karena telah terjadi transaksi jiwa antara perusak lingkungan dengan Mephistopheles (iblis dalam istilah Jerman), sehingga yang di kedepankan adalah meraih puncak-puncak nafsu yang ada di bumi dan sekaligus mendapatkan bintang-bintang indah di langit atau surga (Kuswata dan Anthony, 1991).

2.2  Teori Etika Lingkungan
Terdapat beberapa teori etika lingkungan yang sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan, yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang berbeda tentang manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam (Keraf, 2002).
      Adapun teori etika lingkungan lain yang timbul dari cara pandang lain sebagai alternatif hubungan manusia dengan alam, sekaligus pembeda ketiga teori yang telah disebutkan sebelumnya, teori etika lingkungan ini dikenal sebagai ekofeminisme (Keraf, 2002).

A. Atroposentrisme
       Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung  atau tidak langsung. Alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia (Keraf, 2002).
      Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik jika mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia, seperti konservasi yang dilakukan karena dianggap mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan ekonomis. Sejauh ini teori inilah yang dituduh sebagai penyebab utama dari krisis lingkungan yang kita alami sekarang (Keraf, 2002).
      Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupya, tanpa cukup member perhatian kepada kelestarian alam (Keraf, 2002).
      Teori ini dibela dan dipahami secara lebih kritis dari prespektif yang agak lain oleh W.H. Murdy dan F.Frase Darling. Murdy, seorang ahli botanis, mengajukan sebuah argument bahwasanya semua makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri, adalah hal yang alamiah dan wajar apabila manusia menilai dirinya dan spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga dari makhluk lain, yang menjadi masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya, tetapi tujuan-tujuan tidak pantas yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Sejauh manusia menggunakan alam semesta dan seluruh isinya demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannnya yang berguna serta tepat, ini dibenarkan secara moral. Dalam artian, krisis lingkungan yang terjadi bukan disebabkan pendekatan antroposentris semata, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan (Amstrong et al.,  1993).
      F.Frase Darling mengemukakan bahwa manusoa mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan spesies lain, sebagai “aristrokat biologis”, yakni manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain, menempati puncak rantai makanan dan pucak piramida kehidupan. Oleh karena itu, manusia hrus melayani semua yang ada di bawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawb moral untuk menjaga dan melindunginya (Amstrong et al., 1993).
      Pendekatan atroposentrisme tidak salah, karena menempatkan manusia pada posisi terhormat ia dituntut mempunyai tanggung jawab khusus terhadap seluruh isi semesta, yang salah adalah penerapan antroposentrisme yang keliru dengan melihat superioritas posisi manusia seakan dengan itu ia boleh menggunakan alam semesta dan segala isinya sewenang-wenang, sementara itu manusia melupakan bahwa posisi yang lebih tinggi itu mengandung tanggung jawab intuk melindungi dan menjaga semua yang lebih rendah posisinya (Keraf, 2002).
     
B. Biosentrisme
      Biosentrisme menyatakan bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta memiliki nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam berhak diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah  ia bernilai bagi manusia atau tidak (Keraf, 2002).
      Albert Schweitzer (1964) menyatakan inti teori etika lingkungan biosentrisme adalah hormat sedalam-dalamnya terhadap kehidupan (reverence for life). Etika ini bersumber dari kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral, dan bahwa “saya menjalani kehidupan dan menginginkan tetap hidup, di tengah kehidupan yang menginginkan untuk tetap hidup”. Orang yang benar-benar bermoral adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk membantu semua kehidupan, ketika ia sendiri mampu membantu, dan menghindari apapun yang membahayakan kehidupan
      Terlepas dari apapun kewajiban dan tanggung jawab sesame manusia, kita mempunyai kewajiab dan tanggung jawab moral terhadap semua makhluk hidup di bumi ini demi kepentingan mereka (Taylor, 1986).
      Ada empat keyakinan yang mendasari pandangan biosentrisme menurut Paul Taylor (1986), yakni :
1.      Keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas kehidupan di bumi dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang sama dengan makhluk hidup lain dan merupakan anggota dari komunitas yang sama.
2.      Keyakinan bahwa spesies manusia, bersama spesies lain adalah bagian dari sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari makhluk manapun, serta peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan, melainkan oleh relasinya satu sama lain.
3.      Keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri. Artinya setiap organisme adalah unik dalam mengejar kepentingan sendiri sesuai caranya sendiri.
4.      Keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendir tidak lebih unggul dari makhluk hidup lain.
Keyakinan yang ada pada pendekatan biosentris melahirkan pemahaman baru bahwa manusia hanya makhluk biologis yang sama dengan makhluk biologis lain,. Manusia mendiami bumi yang sama dengan makhluk hidup lain. Manusia merupakan bagian dari suatu keseluruhan dan bukan merupakan keseluruhan atau pusat alam semesta. Dengan keyakinan ini, manusia akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan makhluk hidup lainnya secara serius, khususnya ketika ada benturan kepentingan antara manusia dengan makhluk hidup lain (Keraf, 2002).
Untuk memahami teori biosentrisme, perlu adanya pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan yang dapat digunakannya untuk bertindak secara moral, sehingga mempunyai tanggung jawab, dan bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Kemampuan itu berupa akal budi, kebebasan dan kemauan. Dengan kemampuan ini, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral sebelum bertindak, agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku moral juga dapat memahami man ayang baik dan buruk secara moral (Taylor, 1986).
Berdasarkan kemampuan tersebut, manusia yang bisa dikatakan pelaku moral, namun tidak semua manusia bisa dikatakan pelaku moral. Ada manusia yang tidak bisa dianggap pelaku moral, baik karena kemampuan moralnya belum berkembang secara penuh, maupun karena ia tidak mungkin bisa menggunakan kemampuan moralnya tersebut. Bayi dan anak termasuk kelompok pertama, sedangkan orang gila dan orang cacat mental termasuk kelompok kedua (Taylor, 1986).
Tidak menutup kemungkinan ada makhluk di luar manusia yang mempunyai kemampuan moral yang sama seperti manusia, oleh karena itu, kita juga tidak boleh mengklaim hanya manusia yang menjadi pelaku moral (Taylor, 1986).
Subyek moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan pelaku moral mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadapnya. Subyek moral ini bisa menjadi lebih baik keadaannya ataupun lebih buruk akibat perlakukan pelaku moral. Subyek moral adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu. Batu, air, udara, tanah, bukan merupakan subyek moral pada dirinya sendiri, tetapi benda-benda itu menentukan kehidupan subyek moral, oleh karena itu kita tetap memperlakukan benda-benda secara abiotik secara baik dan etis. Air sungai harus terus dijaga dengan baik karena ada makhluk hidup didalamnya  subyek moral bergantung padanya, ini berarti semua pelaku moral adalah subyek moral, tetapi tidak semua subyek moral adalah pelaku moral (Taylor, 1986).
Sebagai pelaku moral, manusia dengan sendirinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral atas keberadaan dan kelangsungan hidup semua organisme yang merupakan s subyek moral. Kewajiban utama manusia sebagai pelaku moral dan alam sebagai subyek moral adalah menghargai dan menghormati alam (respect for nature) (Keraf, 2002).
Adapun pendekatan etika bumi yang merupakan etika holisme dalam pandangan biosentris ini, bahwasanya nilai setiap entitas dalam bumi ditentukan berdasarkan sejauh mana mereka “cenderung mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas”. Piramida makanan merupakan sebuah sistem rapi untuk mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas di bumi. Piramida tersebut menunjukan adanya saling ketergantungan dan keterkaitan di anatara semua anggota bumi sebagai komunitas biotis, eksistensi satu mendukung eksistensi yang lain dalam sebuah rantai makanan yang kompleks. Manusia boleh saja membunuh binatang tertentu, menebang pohon tertentu untuk memenuhi kebutuhannya, asalkan tidak mengganggu dan merusak integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas (Leopold dalam Jardin, 1993).
Anti spesiesme adalah sebuah pendekatan yang menetang pandangan antroposentrisme yang membeda-bedakan kedudukan spesies, pendekatan ini pada intinya hampir sama dengan pendekatan etika bumi. Intinya adalah menghapuskan anggapan lebih tingginya suatu spesies tertentu, semua ras mempunyai kedudukan moral yang sama, demikian pula semua spesies mempunyai status moral yang sama (Keraf, 2002).
Inti teori biosentrisme adalah komunitas biotis, dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama Bahkan dalam kenyataannya, kita harus memilih dan terpaksa mengorbankan kepentingan satu dan mengutamakan kepentingan yang lain agar alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak dikorbankan begitu saja karena alasan bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai, ini adalah konsekuansi dari pilihan moral (Keraf, 2002).

C. Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme, karena kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Pada biosentrisme etika diperluas untuk mencakup komunitas biosentrisme, sedangkan pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Biosentrisme memusatkan etika pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak (Keraf, 2002).
Teori-teori yang ada pada pandangan ekosentrisme popular sebagai Deep Ecology (DE), teori ini memusatkan perhatian kepada seluruh spesies termasuk spesies bukan manusia, dan tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka prinsip moral yang dikembangkan DE menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis (Keraf, 2002).
Etika yang dikembangkan DE dikembangkan dalam sebuah gerakan atau aksi nyata di lapangan, dengan demikian DE lebih tepat disebut sebuah gerakan di antara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.Suatu gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigm secara mendasar dan revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, dan perilaku atau gaya hidup (Keraf, 2002).

D. Ekofeminisme
Ekofeminisme lahir sebagai pandangan yang mendobrak pandangan dominan terhadap masyarakat modern saat ini, ekofeminisme lahir sebagai cara pandang dan perilaku baru mengenai krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Kehancuran ekologi saat ini akibat pandangan dan praktek yang andosentris. Kaitan antara feminisme dan lingkungan hidup adalah historis kausal. Para filsuf ekofeminisme berpendapat konsep dasar dari dominasi kembar terhadap alam dan perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki nilai. Maka  peran etika feminisme dan lingkungan hidup adalah mengekspos dan membongkar dualisme ini serta menyusun kembali gagasan filosofis yang mendasarinya (Darmawati, 2002, Keraf, 2002).
Ekofeminisme adalah pandangan yang menyanggah sikap maskulinitas seperti cara berpikir hirarkhis, dualistik, dan menindas terhadap alam, ekofeminisme merupakan anggapan persamaan anatara perempuan dan alam, namun tidak dalam artian negatif, melainkan bentuk kelembutan perilaku terhadap alam. Wawasan ekofeminisme adalah kebutuhan penting untuk berbagi dalam masa kita. Dalam berbagi, kita perlu mengendalikan diri untuk memberikan kesempatan bagi yang lain. Ekofeminisme juga sangat menekankan perlunya mengakhiri permainan kekuatan, dan mulai berbagi serta membangun solidaritas antar penghuni Oikos, sehingga setiap penghuni dapat tinggal dengan  aman dan damai bersama-sama. Semangat untuk berbagi sungguh menjadi dasar untuk  bertahan hidup dan membangun segalanya diperlukan hubungan cinta kasih dan keadilan, yang kesemuanya dipanggil untuk membangun kebudayaan dengan gaya hidup yang  eco-friendly serta women-friendly (Astuti, 2004).

2.3  Prinsip Etika Lingkungan
Prinsip etika lingkungan dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi perilaku kita dalam berhadapan dengan alam, baik perilaku terhadap alam dan perilaku sesame manusia yang berdampak pada alam. Prinsip ini merupakan pedoman untuk melakukan perubahan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi untuk lebih pro lingkungan dan agar bisa mengatasi krisis ekologi saat ini, prinsip-prinsip etika lingkungan di antaranya (Keraf, 2012) :
1.      Sikap Hormat terhadap Alam
2.      Prinsip Tanggung Jawab
3.      Solidaritas Kosmis
4.      Prinsip Kasih sayang dan Kepedulian terhadap Alam
5.      Prinsip “No Harm
6.      Prinsip Hidup Selaras dengan Alam
7.      Prinsip Keadilan
8.      Prinsip Demokrasi
9.      Prinsip Integritas Moral

2.4  Hakikat Pembangunan dan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan merupakan suatu upaya untuk memenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan sosial (Galtung, 2003).
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Tjokroamidjojo, 1980).
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju moderenitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Sedunia untuk Lingkungan dan Pembangunan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Laporan komisi itu diumumkan pada tahun 1987 dan berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future). Komisi diketuai mempunyai wawasan jangka panjang antar generasi. Syarat untuk dapat tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya fisik saja, yaitu tidak terjadinya kerusakan pada ekosistem tempat kita hidup, melainkan juga harus adanya pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar-negara dan antar-kelompok di dalam sebuah negara.
Dari berbagai macam pengertian dari pembangunan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam rangka menunjang kesjahteraan masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan tanpa merusak lingkungan atau kehidupan sosial. Dan merupakan sebuah tranformasi atau perubahan ekonomi, sosial dan budaya yang di gerakkan atas tujuan atau strategi yang diinginkan yang berguna untuk peningkatan kualitas manusia dalam mempebaiki kualitas hidupnya.
Tujuan pembangunan berkelanjutan bukan hanya berorientasi pada sisi ekonomi saja, tetapi juga memiliki tujuan sosial serta ekologi. Tujuan ekonominya adalah eko-efisiensi, pertumbuhan ekonomi, stabilitas serta pemerataan; tujuan sosialnya adalah pemberdayaan masyarakat, mengurangi kemiskinan, menciptakan SDM berkelanjutan, memantapkan jati diri bangsa serta kebersamaan dan pembinaan sistem kelembagaan; tujuan ekologinya adalah melestarikan keanekaragaman hayati, mencegah terjadinya pencemaran, interitas ekosistem, lebih irit dalam penggunaan sumber daya alam (SDA) serta memulihkan lingkungan hidup yang rusak.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan saat ini tanpa perlu merusak atau menurunkan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya konsep ini merupakan strategi pembangunan yang memberikan batasan pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak absolut (mutlak) tetapi merupakan batas yang luwes (fleksibel) yang bergantung pada teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam, serta kemampuan biosfer dalam menerima akibat yang ditimbulkan dari kegiatan manusia (Indrawan et al, 2007).
Secara garis besar, pembangunan berkelanjutan menurut Indrawan et al (2007) memiliki empat dimensi yaitu, dimensi ekologis, dimensi sosial-ekonomi-budaya, dimensi sosial politik dan dimensi hukum-kelembagaan. Dari sisi dimensi ekologis, secara prinsip agar dapat terjaminnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperlukan:
1.      Keharmonisan spasial (spatial suitability)
2.      Kapasitas asimilasi
3.      Pemanfaatan berkelanjutan
Syarat keharmonisan spasial adalah suatu wilayah pembangunan seperti kota dan kabupaten diharapkan tidak seluruhnya diperuntukan bagi zona pemanfaatan tapi harus pula dialokasikan sebagiannya untuk kawasan konservasi maupun preservasi. Keberadaan kawasan konservasi dan preservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat vital dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan seperti membersihkan limbah secara alami, siklus unsur hara dan hidrologi serta sumber keanekaragaman hayati (Indrawan er al. , 2007).
Dari dimensi sosial ekonomi, pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa sehingga total permintaannya (demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suplainya.Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar kualitas kehidupan masyarakatnya.Secara sosial-ekonomi, konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan pembangunan suatu daerah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan penduduk (Kuswata dan Anthony, 1991).
Pada umumnya, permasalahan kerusakan lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya, pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah si pembuat kerusakan, melainkan pihak yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Ciri lain dari kerusakan lingkungan adalah bahwa akibat dari kerusakan biasanya muncul setelah beberapa waktu, ada semacam time lag. Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka hanya dengan sistem dan suasana politik yang transparan dan demokratis, pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Tanpa kondisi politik seperti ini, kerusakan lingkungan dapat bergerak lebih cepat dibandingkan upaya pencegahan dan penanggulangannya.

2.5  Konsep Berkelanjutan (Sustainability) dalam Pembangunan
Konsep ini telah menjadi pola pikir dan pola tindak baru dalam upaya penataan ruang kota saat ini. Kegiatan penataan ruang perkotaan di Indonesia, baik yang menyangkut perencanaan tata ruang (termasuk peninjauan kembali), pemanfaatan ruang, maupun pengendalian pemanfaatan ruang; dengan demikian harus mengedepankan pola pikir dan pola tindak (Indrawan et al, 2007).
Konsep pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mengandung tiga elemen dasar; tidak hanya elemen tradisional lingkungan tetapi juga elemen sosial dan ekonomi dari pembangunan yang harus disertakan.Aspek manusia kemudian menjadi salah satu isu sentral dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan.Di lain pihak, secara teknis konsep pembangunan berkelanjutan dalam penaatan ruang perkotaan mencakup hal-hal sebagai berikut (Kuswata dan Anthony, 1991) :
1.      Pemanfaatan sumber daya perkotaan dengan menimbang wilayah yang lebih luas
2.      Pengembangan bentuk dan struktur perkotaan yang hemat energy
3.      Pemanfaatan lahan perkotaan yang menghindari kawasan peka lingkungan
4.      Penggunaan prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai salah satu dasar dalam penilaian usulan pembangunan kegiatan yang diduga akan memberi dampak penting terhadap lingkungan hidup perkotaan.

2.6  Kearifan Lokal sebagai Refleksi Etika Lingkungan dalam Pembangunan di Indonesia.
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang permintaan akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan beragam.
Dampak pembangunan tersebut mengakibatkan daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Melihat kenyataan tersebut, kearifan lokal masyarakat setempat juga mendapatkan tantangan dengan harus memenuhi kebutuhan dasar yang semakin besar dan gaya hidup serta pola hidup yang dihadapi oleh masyarakat dengan adanya pengaruh-pengaruh : adopsi inovasi teknologi, ekonomi pasar dan kebijakan politik. Di samping itu dalam pemanfaatkan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga dipengaruhi oleh aspek : pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan masyarakat dan kebijakan pemerintah yang semuanya itu akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang sekaligus merupakan keputusan untuk mempertahankan atau tidaknya kearifan lokal yang selama ini dilakukan.
Beberapa kegiatan etika lingkungan dalam pembangunan yang dilakukan masyarakat Indonesia, terwujud dalam bentuk kearifan lokal :
1.      Di Jawa
a.      Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian.
Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam.

b.      Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng Bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.

c.       Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin)
Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air.

2.      Di Sulawesi
Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat.
Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Agar tetap terjaga. Dewan Adat karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M Akhmar dan Syarifuddin, 2007).
Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan oleh seorang galla (pelaksana harian pemeritahan adat tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat paska turun sawah (mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai sutu bentuk ketetapan bersama dan semua warga komunitas adat karampuang harus mematuhinya.
Contoh kearifan tradisional dalam bentuk larangan (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M Akhmar dan Syarifuddin, 2007:3) adalah :
·         Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke artinya jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan adat belum bangun, jangan pula memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masuk kandangnya” = “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari”
Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
·         Narekko engka pugauki ripasalai artinya Jika ada yang melakukannya akan dikutuk jika melanggar akan dikenakan sanksi adat. Maksud dari ungkapan tersebut adalah jika ada warga komunitas adat Karampuang yang melakukan pelanggaran atau tidak mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan ajakan dan larangan yang difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar kecilnya sanksi tergantung dari pelanggarannya.

3.      Di Baduy Dalam
Menurut Gunggung Senoaji (2003) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi.
Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun.
Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah :
1.      Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.
2.      Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenisjenis tertentu.
3.      Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan.
4.      Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat.

4.      Di Kalimantan
Khususnya di Kalimantan Tengah, adanya Upacara Adat Manyanggar dan Upacara Adat Mamapas Lewu oleh Masyarakat Dayak. Menyangar adalah konsep kehati-hatian dalam upaya pemanfaatan suber daya alam, sedangkan Memapas Lewu adalah upacara adat yang dilakukan setahun sekali untuk memperingati orang untuk perduli terhadap lingkungan. Keduanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan penciptanya (Usop, 2013).
BAB III
KESIMPULAN

      1.            Etika lingkungan dan konservasi dalam pembangunan saat ini cenderung dilupakan. Pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupan.
  1. Peran masyarakat Indonesia terhadap etika lingkungan dan konservasi dalam pembangunan berupa kearifan lokal , seperti di Jawa : Pranoto Mongso, Nyabuk Gunung,  dan menganggap pohon besar (Beringin) sebagai tempat keramat , di Sulawesi : adanya Komunitas Karampuang, di Baduy Dalam : adanya aturan dalam berinteraksi dengan alam yang harus ditaati baik oleh  suku Baduy maupun pengunjung, serta di Kalimantan adanya Upacara Adat Manyanggar dan Memapas Lewu oleh Masyarakat Dayak.



DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, S. dan Richard. 1993. Enviromental Ethics : Diveregence and Convergence. Mc-Graw-Hill. New York.
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Masagena Press, Makasar.
Astuti, T. 2004. Ekofeminisme dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation . Vol. 1 No. 1 - Juni 2012 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 49-60
Darmawati, I. 2002. “Dengarlah Tangisan Ibu Bumi! Sebuah Kritik Ekofeminisme atas Revolusi Hijau”, dalam Jurnal Perempuan. No. 21. hal. 7-24.
Galtung, J. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Pustaka Eureka. Surabaya
Gunggung Seno Aji, 2003. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkunyannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan. UGM, Yogyakarta.
Indrawan, M., Richard B. Primack., Jatna S. 2007. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kartasasmita, G, 1994. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.
Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. P.T.Kompas Media Nusantara. Jakarta
Kuswata, K dan Anthony J. W. (1991), Krisis Biologi Hilangnya Keanekaragaman Biologi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif. Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Schweitzer,A. 1964. The Ethics of Reverence for Life. Syracuse University Press. New York
Siagian. 1994. Pokok-pokok Pembangunan Desa, Masyrakat Desa. Citra Aditya Bhakti. Bandung.
Taylor, P. 1986. Respect for Nature : A Theory of Enviromental Ethics. Priceton University Press. New Jersey
Tikson, T Deddy, dkk. 2005. Evaluasi Pembangunan Pasca Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan. Kerjasama Bappeda Propinsi Sulsel dengan Lembaga Penelitian Unhas, Makassar.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya. 1980. Teori Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung
Usop, S. 2013. Kearifan Masyarakat Dayak. https: //www.youtube.com/ watch?v=eMBukfVcg_s. Diakses 2 April 2013.




No comments:

Post a Comment