ETIKA LINGKUNGAN DAN KONSERVASI,
SERTA KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN
TUGAS TATA GUNA BIOLOGI
Disusun oleh :
140410100009
|
M Fajar Fahmi S.
|
140410100010
|
Candra Raharja
|
140410100026
|
Mutia Septi Saputri
|
140410100051
|
Ismi Istiqomah R.
|
140410100058
|
Zelan Dz Aliana
|
140410080083
|
Tammy M.
|
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
BANDUNG
2013
Etika
Lingkungan dan Konservasi, serta Kearifan Lokal dalam Pembangunan
Candra Raharja, Ismi Istiqomah Ruhyati, Muhammad Fajar
Fahmi Suffiandi, Mutia Septi Saputri, Zelan Dz Aliana, Tammy Maymediani Mahmud
Jurusan Biologi
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas
Padjadjaran, Bandung
ABSTRAK
Etika
lingkungan adalah sebuah refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang
manusia, alam dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang
bersumber dari cara pandang ini. Terdapat beberapa teori etika lingkungan yang
sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan,
yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Antroposentrisme adalah
teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam
semesta. Biosentrisme menyatakan bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai
nilai. Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari kepentingan
manusia. Ekosentrisme
merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme, karena kedua
teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia. Pembangunan merupakan suatu upaya
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok.
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna meningkatkan
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas dan
tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang permintaan akan
sumberdaya alam semakin meningkat. Beberapa kegiatan etika lingkungan dalam
pembangunan yang dilakukan masyarakat Indonesia, terwujud dalam bentuk kearifan
lokal.
Kata kunci: etika
lingkungan, pembangunan,
kearifan lokal
DAFTAR ISI
ABSTRAK
....................................................................................................... i
DAFTAR ISI
................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
........................................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang ………….................................................................... 1
1.2 Identifikasi
Masalah ............................................................................ 2
1.3 Maksud
dan Tujuan ............................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………..…… 3
2.1 Pengertian
dan Etika Lingkungan ........................................................ 3
2.2 Teori
Etika Lingkungan ....................................................................... 5
2.3 Prinsip
Etika Lingkungan …………………....................................... 6
2.4 Hakikat
Pembangunan dan Pembangunan Berkelanjutan............. . 7
2.5 Konsep
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability)……........... 7
KESIMPULAN ................................................................................................ 19
3.1 Kesimpulan
.......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan
tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat. Dapat pula dikatakan pembangunan
bertujuan untuk menaikkan mutu hidup rakyat. Karena mutu hidup dapat diartikan
sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar, pembangunan dapat diartikan
sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik.
Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang esensial bagi kehidupan manusia.
Dalam usaha untuk
memperbaiki mutu hidup, kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada
tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi rusak harus dijaga. Sebab jika kerusakan
terjadi, bukannya perbaikan mutu hidup yang akan dicapai, melainkan justru
kemerosotan. Bahkan bila kerusakan terlalu parah, dapatlah terjadi kepunahan
kehidupan kita sendiri. Atau paling sedikit ekosistem tempat kita hidup dapat
mengalami keambrukan yang akan mengakibatkan banyak kesulitan. Pembangunan
demikian bersifat tidak berkelanjutan.
Etika lingkungan
merupakan sebuah refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia,
alam dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari
cara pandang ini. Etika lingkungan cenderung dilupakan pada umumnya disebabkan
oleh beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme),
ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang
lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada
disekitarnya.
Oleh karena itu,
etika lingkungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan untuk
menaikkan tingkat hidup dan kesejahteraan manusia.
1.2
Identifikasi Masalah
1. Bagaimana etika
lingkungan dan konservasi yang berjalan dalam pembangunan saat ini.
2. Bagaimana peran
masyarakat itu sendiri dalam hal ini.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran
masyarakat Indonesia dalam pembangunan dengan berlandaskan etika lingkungan dan
konservasi. Tujuan dari penulisan makalah ini agar penulis mampu memahami peran yang dilakukan masyarakat Indonesia
dalam pembangunan dengan berlandaskan etika lingkungan dan konservasi.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Etika dan Etika Lingkungan
Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam arti
ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang
baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Moralitas berasal dari kata
Latin mos (jamak : mores) yang juga berarti “adat-istiadat”
atau “kebiasaan”. Jadi, dalam pengertian harfiah, etika dan moralitas sama-sama
berarti kebiasaan yang dibakukan dalam bentuk aturan (Keraf, 2002).
Etika juga berisikan nilai-nilai dan prinsip moral yang harus dijadikan
pegangan dalam menuntun perilaku. Sekaligus juga berarti, etika memberi kriteria
bagi penilaian moral tentang apa yang harus dilakukan dan tentang apakah suatu
tindakan dan keputusan dinilai sebagai baik atau buruk secara moral (Keraf,
2002)
Etika juga memiliki pengertian yang berbeda dengan moralitas. Etika
dalam pengertian ini berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan,
menentukan sikap, dan bertindak secara benar sebagai manusia. Refleksi kritis
ini menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang
diberikan oleh etika dan moralitas tentang norma dan nilai yang kita anut
selama ini. Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi
dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang
berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa
saja. Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, dan sistem
sosial-politik, sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Refleksi kritis yang
ketiga ini penting untuk menentukan pilihan dan prioritas moral yang akan
diutamakan, baik dalam hidup sehari-hari maupun situasi dilematis. Ketiga hal
ini harus dikaji dan dipertimbangkan secara kritis untuk sampai kepada sebuah
keputusan yang memilih salah satu dari norma dan nilai yang saling bertentangan
(Keraf, 2002).
Etika adalah hal yang sering dilupakan dalam pembahasan perusakan
lingkungan. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini cenderung
langsung menggunakan fenomena-fenomena yang muncul di permukaan dan kemudian
mencari penyebabnya kepada aktivitas yang ada di sekitar fenomena tersebut
(misalnya: Logging, Pertambangan,
Industri) sebagai tersangka dan untuk mendukung kecurigaan tersebut
digunakanlah bukti-bukti yang dikatakan ilmiah, walaupun sering terjadi data
yang dikemukakan tidak relevan.Pada sisi lain pihak yang dituduh kemudian juga
menyodorkan informasi atau data yang bersifat teknis yang menyatakan mereka
tidak bersalah, akibatnya konflik yang terjadi semakin panas dan meluas,
padahal kalau mereka yang berkonflik memiliki etika yang benar tentang
lingkungan hidup maka konflik yang menuju kearah yang meruncing akan dapat
dicegah (Kuswata dan Anthony, 1991).
Dengan adanya kedua pembedaan mengenai pengertian etika, etika
lingkungan hidup masuk ke dalam pengertian kedua, yakni sebuah refleksi kritis
tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan antara manusia
dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini (Keraf, 2002).
Etika lingkungan cenderung dilupakan pada umumnya disebabkan oleh
beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme),
ketidaktahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang
lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada
disekitarnya, atau karena telah terjadi transaksi jiwa antara perusak
lingkungan dengan Mephistopheles (iblis
dalam istilah Jerman), sehingga yang di kedepankan adalah meraih puncak-puncak
nafsu yang ada di bumi dan sekaligus mendapatkan bintang-bintang indah di
langit atau surga (Kuswata dan Anthony, 1991).
2.2 Teori
Etika Lingkungan
Terdapat beberapa teori etika lingkungan yang sekaligus menentukan pola
perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan, yakni antroposentrisme,
biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang berbeda
tentang manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam (Keraf, 2002).
Adapun teori etika
lingkungan lain yang timbul dari cara pandang lain sebagai alternatif hubungan
manusia dengan alam, sekaligus pembeda ketiga teori yang telah disebutkan
sebelumnya, teori etika lingkungan ini dikenal sebagai ekofeminisme (Keraf,
2002).
A. Atroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan
yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan
dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung atau tidak langsung. Alam pun
dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia (Keraf, 2002).
Suatu kebijakan dan tindakan
yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik jika mempunyai
dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia, seperti konservasi yang
dilakukan karena dianggap mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan
ekonomis. Sejauh ini teori inilah yang dituduh sebagai penyebab utama dari
krisis lingkungan yang kita alami sekarang (Keraf, 2002).
Cara pandang antroposentris
ini menyebabkan manusia manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi
memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupya, tanpa cukup member perhatian kepada
kelestarian alam (Keraf, 2002).
Teori ini dibela dan
dipahami secara lebih kritis dari prespektif yang agak lain oleh W.H. Murdy dan
F.Frase Darling. Murdy, seorang ahli botanis, mengajukan sebuah argument
bahwasanya semua makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya
sendiri, adalah hal yang alamiah dan wajar apabila manusia menilai dirinya dan
spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga dari makhluk lain, yang menjadi
masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat
alam semesta untuk kepentingannya, tetapi tujuan-tujuan tidak pantas yang
dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Sejauh
manusia menggunakan alam semesta dan seluruh isinya demi memenuhi kebutuhan dan
kepentingannnya yang berguna serta tepat, ini dibenarkan secara moral. Dalam
artian, krisis lingkungan yang terjadi bukan disebabkan pendekatan
antroposentris semata, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan
(Amstrong et al., 1993).
F.Frase Darling mengemukakan
bahwa manusoa mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan spesies lain,
sebagai “aristrokat biologis”, yakni manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk
hidup lain, menempati puncak rantai makanan dan pucak piramida kehidupan. Oleh
karena itu, manusia hrus melayani semua yang ada di bawah kekuasaannya secara
baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawb moral untuk menjaga dan
melindunginya (Amstrong et al., 1993).
Pendekatan atroposentrisme
tidak salah, karena menempatkan manusia pada posisi terhormat ia dituntut
mempunyai tanggung jawab khusus terhadap seluruh isi semesta, yang salah adalah
penerapan antroposentrisme yang keliru dengan melihat superioritas posisi
manusia seakan dengan itu ia boleh menggunakan alam semesta dan segala isinya
sewenang-wenang, sementara itu manusia melupakan bahwa posisi yang lebih tinggi
itu mengandung tanggung jawab intuk melindungi dan menjaga semua yang lebih
rendah posisinya (Keraf, 2002).
B. Biosentrisme
Biosentrisme menyatakan
bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai
pada dirinya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan
makhluk hidup di alam semesta memiliki nilai dan berharga pada dirinya sendiri
sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam berhak
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak (Keraf,
2002).
Albert Schweitzer (1964) menyatakan
inti teori etika lingkungan biosentrisme adalah hormat sedalam-dalamnya
terhadap kehidupan (reverence for life).
Etika ini bersumber dari kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral, dan
bahwa “saya menjalani kehidupan dan menginginkan tetap hidup, di tengah
kehidupan yang menginginkan untuk tetap hidup”. Orang yang benar-benar bermoral
adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk membantu semua kehidupan, ketika
ia sendiri mampu membantu, dan menghindari apapun yang membahayakan kehidupan
Terlepas dari apapun
kewajiban dan tanggung jawab sesame manusia, kita mempunyai kewajiab dan
tanggung jawab moral terhadap semua makhluk hidup di bumi ini demi kepentingan
mereka (Taylor, 1986).
Ada empat keyakinan yang
mendasari pandangan biosentrisme menurut Paul Taylor (1986), yakni :
1. Keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari
komunitas kehidupan di bumi dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang sama
dengan makhluk hidup lain dan merupakan anggota dari komunitas yang sama.
2. Keyakinan bahwa spesies manusia, bersama spesies
lain adalah bagian dari sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga
kelangsungan hidup dari makhluk manapun, serta peluangnya untuk berkembang biak
atau sebaliknya tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan, melainkan oleh
relasinya satu sama lain.
3. Keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat
kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri. Artinya setiap organisme adalah unik
dalam mengejar kepentingan sendiri sesuai caranya sendiri.
4. Keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendir tidak
lebih unggul dari makhluk hidup lain.
Keyakinan yang ada pada pendekatan
biosentris melahirkan pemahaman baru bahwa manusia hanya makhluk biologis yang
sama dengan makhluk biologis lain,. Manusia mendiami bumi yang sama dengan
makhluk hidup lain. Manusia merupakan bagian dari suatu keseluruhan dan bukan
merupakan keseluruhan atau pusat alam semesta. Dengan keyakinan ini, manusia
akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan makhluk
hidup lainnya secara serius, khususnya ketika ada benturan kepentingan antara
manusia dengan makhluk hidup lain (Keraf, 2002).
Untuk memahami teori biosentrisme, perlu
adanya pembedaan antara pelaku moral (moral
agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah
makhluk yang memiliki kemampuan yang dapat digunakannya untuk bertindak secara
moral, sehingga mempunyai tanggung jawab, dan bisa dituntut untuk bertanggung
jawab atas tindakannya. Kemampuan itu berupa akal budi, kebebasan dan kemauan.
Dengan kemampuan ini, pelaku moral dapat membuat pertimbangan moral sebelum
bertindak, agar terhindar dari tindakan yang salah secara moral. Pelaku moral
juga dapat memahami man ayang baik dan buruk secara moral (Taylor, 1986).
Berdasarkan kemampuan tersebut, manusia
yang bisa dikatakan pelaku moral, namun tidak semua manusia bisa dikatakan
pelaku moral. Ada manusia yang tidak bisa dianggap pelaku moral, baik karena
kemampuan moralnya belum berkembang secara penuh, maupun karena ia tidak
mungkin bisa menggunakan kemampuan moralnya tersebut. Bayi dan anak termasuk
kelompok pertama, sedangkan orang gila dan orang cacat mental termasuk kelompok
kedua (Taylor, 1986).
Tidak menutup kemungkinan ada makhluk di
luar manusia yang mempunyai kemampuan moral yang sama seperti manusia, oleh
karena itu, kita juga tidak boleh mengklaim hanya manusia yang menjadi pelaku
moral (Taylor, 1986).
Subyek moral adalah makhluk yang bisa
diperlakukan secara baik atau buruk, dan pelaku moral mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab moral terhadapnya. Subyek moral ini bisa menjadi lebih baik
keadaannya ataupun lebih buruk akibat perlakukan pelaku moral. Subyek moral
adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu. Batu, air, udara,
tanah, bukan merupakan subyek moral pada dirinya sendiri, tetapi benda-benda
itu menentukan kehidupan subyek moral, oleh karena itu kita tetap memperlakukan
benda-benda secara abiotik secara baik dan etis. Air sungai harus terus dijaga
dengan baik karena ada makhluk hidup didalamnya
subyek moral bergantung padanya, ini berarti semua pelaku moral adalah
subyek moral, tetapi tidak semua subyek moral adalah pelaku moral (Taylor, 1986).
Sebagai pelaku moral, manusia dengan
sendirinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral atas keberadaan dan
kelangsungan hidup semua organisme yang merupakan s subyek moral. Kewajiban
utama manusia sebagai pelaku moral dan alam sebagai subyek moral adalah
menghargai dan menghormati alam (respect
for nature) (Keraf, 2002).
Adapun pendekatan etika bumi yang
merupakan etika holisme dalam pandangan biosentris ini, bahwasanya nilai setiap
entitas dalam bumi ditentukan berdasarkan sejauh mana mereka “cenderung
mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas”. Piramida
makanan merupakan sebuah sistem rapi untuk mempertahankan integritas,
stabilitas, dan keindahan komunitas di bumi. Piramida tersebut menunjukan
adanya saling ketergantungan dan keterkaitan di anatara semua anggota bumi
sebagai komunitas biotis, eksistensi satu mendukung eksistensi yang lain dalam
sebuah rantai makanan yang kompleks. Manusia boleh saja membunuh binatang tertentu,
menebang pohon tertentu untuk memenuhi kebutuhannya, asalkan tidak mengganggu
dan merusak integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas (Leopold dalam
Jardin, 1993).
Anti spesiesme adalah sebuah pendekatan
yang menetang pandangan antroposentrisme yang membeda-bedakan kedudukan
spesies, pendekatan ini pada intinya hampir sama dengan pendekatan etika bumi.
Intinya adalah menghapuskan anggapan lebih tingginya suatu spesies tertentu,
semua ras mempunyai kedudukan moral yang sama, demikian pula semua spesies
mempunyai status moral yang sama (Keraf, 2002).
Inti teori biosentrisme adalah komunitas
biotis, dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan moral
yang sama Bahkan dalam kenyataannya, kita harus memilih dan terpaksa
mengorbankan kepentingan satu dan mengutamakan kepentingan yang lain agar alam
semesta dan kehidupan di dalamnya tidak dikorbankan begitu saja karena alasan
bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai, ini adalah konsekuansi dari
pilihan moral (Keraf, 2002).
C. Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari
teori etika lingkungan biosentrisme, karena kedua teori ini mendobrak cara
pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas
manusia. Pada biosentrisme etika diperluas untuk mencakup komunitas
biosentrisme, sedangkan pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup
komunitas ekologis seluruhnya. Biosentrisme memusatkan etika pada kehidupan
seluruhnya, ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik
yang hidup maupun yang tidak (Keraf, 2002).
Teori-teori yang ada pada pandangan
ekosentrisme popular sebagai Deep Ecology
(DE), teori ini memusatkan perhatian kepada seluruh spesies termasuk
spesies bukan manusia, dan tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan
jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka prinsip moral yang dikembangkan DE
menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis (Keraf, 2002).
Etika yang dikembangkan DE dikembangkan
dalam sebuah gerakan atau aksi nyata di lapangan, dengan demikian DE lebih
tepat disebut sebuah gerakan di antara orang-orang yang mempunyai sikap dan
keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam,
sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.Suatu gerakan yang menuntut
dan didasarkan pada perubahan paradigm secara mendasar dan revolusioner, yaitu
perubahan cara pandang, dan perilaku atau gaya hidup (Keraf, 2002).
D. Ekofeminisme
Ekofeminisme lahir sebagai pandangan yang
mendobrak pandangan dominan terhadap masyarakat modern saat ini, ekofeminisme
lahir sebagai cara pandang dan perilaku baru mengenai krisis lingkungan yang
terjadi saat ini. Kehancuran ekologi saat ini akibat pandangan dan praktek yang
andosentris. Kaitan antara feminisme dan lingkungan hidup adalah historis
kausal. Para filsuf ekofeminisme berpendapat konsep dasar dari dominasi kembar
terhadap alam dan perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki nilai. Maka peran etika feminisme dan lingkungan hidup adalah
mengekspos dan membongkar dualisme ini serta menyusun kembali gagasan filosofis
yang mendasarinya (Darmawati, 2002, Keraf, 2002).
Ekofeminisme adalah pandangan yang
menyanggah sikap maskulinitas seperti cara berpikir hirarkhis, dualistik, dan
menindas terhadap alam, ekofeminisme merupakan anggapan persamaan anatara
perempuan dan alam, namun tidak dalam artian negatif, melainkan bentuk
kelembutan perilaku terhadap alam. Wawasan ekofeminisme adalah kebutuhan
penting untuk berbagi dalam masa kita. Dalam berbagi, kita perlu mengendalikan
diri untuk memberikan kesempatan bagi yang lain. Ekofeminisme juga sangat menekankan
perlunya mengakhiri permainan kekuatan, dan mulai berbagi serta membangun solidaritas
antar penghuni Oikos, sehingga setiap
penghuni dapat tinggal dengan aman dan
damai bersama-sama. Semangat untuk berbagi sungguh menjadi dasar untuk bertahan hidup dan membangun segalanya diperlukan
hubungan cinta kasih dan keadilan, yang kesemuanya dipanggil untuk membangun
kebudayaan dengan gaya hidup yang eco-friendly serta women-friendly (Astuti, 2004).
2.3 Prinsip
Etika Lingkungan
Prinsip etika lingkungan dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi
perilaku kita dalam berhadapan dengan alam, baik perilaku terhadap alam dan
perilaku sesame manusia yang berdampak pada alam. Prinsip ini merupakan pedoman
untuk melakukan perubahan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi untuk lebih
pro lingkungan dan agar bisa mengatasi krisis ekologi saat ini, prinsip-prinsip
etika lingkungan di antaranya (Keraf, 2012) :
1. Sikap Hormat terhadap Alam
2. Prinsip Tanggung Jawab
3. Solidaritas Kosmis
4. Prinsip Kasih sayang dan Kepedulian terhadap Alam
5. Prinsip “No
Harm”
6. Prinsip Hidup Selaras dengan Alam
7. Prinsip Keadilan
8. Prinsip Demokrasi
9. Prinsip Integritas Moral
2.4 Hakikat
Pembangunan dan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan merupakan suatu upaya untuk memenuhan kebutuhan dasar
manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak
menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan sosial
(Galtung, 2003).
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena
meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan
ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan
peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Tjokroamidjojo,
1980).
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk
menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara
untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan
Rochmin Dahuri, 2004).
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja
diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan
daerah lainnya, negara satu dengan negara lain. Namun secara umum ada
suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan
(Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju moderenitas
dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar
Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai
“suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan
secara terencana”.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula
diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja
melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam
struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan
produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya
terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor
pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat
melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap
sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air
bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan
politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain,
dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya
perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan
spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang
tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi
organisasi modern dan rasional.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Komisi Sedunia untuk Lingkungan
dan Pembangunan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Laporan komisi itu diumumkan pada tahun 1987 dan berjudul Hari Depan Kita
Bersama (Our Common Future). Komisi
diketuai mempunyai wawasan jangka panjang antar generasi. Syarat untuk dapat
tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya fisik saja, yaitu tidak
terjadinya kerusakan pada ekosistem tempat kita hidup, melainkan juga harus
adanya pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar-negara dan
antar-kelompok di dalam sebuah negara.
Dari berbagai macam pengertian dari pembangunan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam rangka
menunjang kesjahteraan masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun sosial yang
bertujuan untuk mengurangi kemiskinan tanpa merusak lingkungan atau kehidupan
sosial. Dan merupakan sebuah tranformasi atau perubahan ekonomi, sosial dan
budaya yang di gerakkan atas tujuan atau strategi yang diinginkan yang berguna
untuk peningkatan kualitas manusia dalam mempebaiki kualitas hidupnya.
Tujuan pembangunan berkelanjutan bukan
hanya berorientasi pada sisi ekonomi saja, tetapi juga memiliki tujuan sosial
serta ekologi. Tujuan ekonominya adalah eko-efisiensi, pertumbuhan ekonomi,
stabilitas serta pemerataan; tujuan sosialnya adalah pemberdayaan masyarakat,
mengurangi kemiskinan, menciptakan SDM berkelanjutan, memantapkan jati diri
bangsa serta kebersamaan dan pembinaan sistem kelembagaan; tujuan ekologinya
adalah melestarikan keanekaragaman hayati, mencegah terjadinya pencemaran,
interitas ekosistem, lebih irit dalam penggunaan sumber daya alam (SDA) serta
memulihkan lingkungan hidup yang rusak.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
dalam kehidupan saat ini tanpa perlu merusak atau menurunkan kemampuan generasi
yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya konsep ini
merupakan strategi pembangunan yang memberikan batasan pada laju pemanfaatan
ekosistem alamiah dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak
absolut (mutlak) tetapi merupakan batas yang luwes (fleksibel) yang bergantung
pada teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam, serta
kemampuan biosfer dalam menerima akibat yang ditimbulkan dari kegiatan manusia
(Indrawan et al, 2007).
Secara garis besar, pembangunan berkelanjutan menurut
Indrawan et al (2007) memiliki empat
dimensi yaitu, dimensi ekologis, dimensi sosial-ekonomi-budaya, dimensi sosial
politik dan dimensi hukum-kelembagaan. Dari sisi dimensi ekologis, secara
prinsip agar dapat terjaminnya pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) diperlukan:
1. Keharmonisan
spasial (spatial suitability)
2. Kapasitas
asimilasi
3. Pemanfaatan
berkelanjutan
Syarat keharmonisan spasial adalah suatu wilayah
pembangunan seperti kota dan kabupaten diharapkan tidak seluruhnya diperuntukan
bagi zona pemanfaatan tapi harus pula dialokasikan sebagiannya untuk kawasan
konservasi maupun preservasi. Keberadaan kawasan konservasi dan preservasi
dalam suatu wilayah pembangunan sangat vital dalam memelihara berbagai proses
penunjang kehidupan seperti membersihkan limbah secara alami, siklus unsur hara
dan hidrologi serta sumber keanekaragaman hayati (Indrawan er al. , 2007).
Dari dimensi sosial ekonomi, pola dan laju pembangunan
harus dikelola sedemikian rupa sehingga total permintaannya (demand) terhadap
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan
suplainya.Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah
penduduk dan standar kualitas kehidupan masyarakatnya.Secara sosial-ekonomi,
konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari
kegiatan pembangunan suatu daerah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan
penduduk (Kuswata dan
Anthony, 1991).
Pada umumnya, permasalahan
kerusakan lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya, pihak yang
menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah si pembuat kerusakan, melainkan
pihak yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Ciri lain dari kerusakan
lingkungan adalah bahwa akibat dari kerusakan biasanya muncul setelah beberapa
waktu, ada semacam time lag.
Mengingat karakteristik permasalahan
lingkungan tersebut, maka hanya dengan sistem dan suasana politik
yang transparan dan demokratis, pembangunan
berkelanjutan dapat dilaksanakan. Tanpa kondisi politik seperti ini,
kerusakan lingkungan dapat bergerak lebih cepat dibandingkan upaya pencegahan
dan penanggulangannya.
2.5 Konsep
Berkelanjutan (Sustainability) dalam
Pembangunan
Konsep ini telah menjadi pola pikir dan pola tindak baru dalam upaya
penataan ruang kota saat ini. Kegiatan penataan ruang perkotaan di Indonesia, baik
yang menyangkut perencanaan tata ruang (termasuk peninjauan kembali),
pemanfaatan ruang, maupun pengendalian pemanfaatan ruang; dengan demikian harus
mengedepankan pola pikir dan pola tindak (Indrawan et al, 2007).
Konsep pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mengandung tiga elemen
dasar; tidak hanya elemen tradisional lingkungan tetapi juga elemen sosial dan ekonomi dari
pembangunan yang harus disertakan.Aspek manusia kemudian menjadi salah satu isu
sentral dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan.Di lain pihak, secara teknis
konsep pembangunan berkelanjutan dalam penaatan ruang perkotaan mencakup
hal-hal sebagai berikut (Kuswata dan Anthony, 1991) :
1. Pemanfaatan sumber daya perkotaan dengan menimbang
wilayah yang lebih luas
2. Pengembangan bentuk dan struktur perkotaan yang
hemat energy
3. Pemanfaatan lahan perkotaan yang menghindari kawasan
peka lingkungan
4. Penggunaan prosedur Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) sebagai salah satu dasar dalam penilaian usulan pembangunan
kegiatan yang diduga akan memberi dampak penting terhadap lingkungan hidup
perkotaan.
2.6 Kearifan
Lokal sebagai Refleksi Etika Lingkungan dalam Pembangunan di Indonesia.
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna
meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam
terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang
permintaan akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat meningkatnya
kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat
dan beragam.
Dampak pembangunan tersebut mengakibatkan daya dukung lingkungan hidup
dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Melihat kenyataan tersebut, kearifan lokal masyarakat setempat juga
mendapatkan tantangan dengan harus memenuhi kebutuhan dasar yang semakin besar
dan gaya hidup serta pola hidup yang dihadapi oleh masyarakat dengan adanya
pengaruh-pengaruh : adopsi inovasi teknologi, ekonomi pasar dan kebijakan
politik. Di samping itu dalam pemanfaatkan sumberdaya alam oleh masyarakat
lokal juga dipengaruhi oleh aspek : pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan
masyarakat dan kebijakan pemerintah yang semuanya itu akan mempengaruhi keputusan
masyarakat untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang sekaligus merupakan
keputusan untuk mempertahankan atau tidaknya kearifan lokal yang selama ini
dilakukan.
Beberapa kegiatan etika lingkungan dalam pembangunan yang dilakukan
masyarakat Indonesia, terwujud dalam bentuk kearifan lokal :
1.
Di Jawa
a.
Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para
tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan
untuk mengolah pertanian.
Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini
memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam
dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri
meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran
irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga
mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam
petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam
mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam.
b.
Nyabuk
Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat
teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng
Bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan
dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang
banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang
memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
c.
Menganggap
Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin)
Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang
tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat
sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu
nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini
sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon
tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan
biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air.
2.
Di
Sulawesi
Komunitas adat
Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian
dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat
aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga
masyarakat.
Komunitas
Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang
penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan
pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Agar tetap terjaga. Dewan Adat
karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan
adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal
yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih
menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam
mengelola hutan mereka (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M Akhmar dan Syarifuddin,
2007).
Pesan-pesan
tersebut biasanya dibacakan oleh seorang galla (pelaksana harian pemeritahan
adat tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat
paska turun sawah (mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai
sutu bentuk ketetapan bersama dan semua warga komunitas adat karampuang harus
mematuhinya.
Contoh kearifan
tradisional dalam bentuk larangan (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Andi M
Akhmar dan Syarifuddin, 2007:3) adalah :
·
Aja’
muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko
matarata’ni manuke artinya jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan
adat belum bangun, jangan pula memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah
masuk kandangnya” = “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap
enau di petang hari”
Hal
tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan
dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan
mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau
tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali
ke sarangnya.
·
Narekko
engka pugauki ripasalai artinya Jika ada yang melakukannya akan dikutuk
jika melanggar akan dikenakan sanksi adat. Maksud dari ungkapan tersebut adalah
jika ada warga komunitas adat Karampuang yang melakukan pelanggaran atau tidak
mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan ajakan dan larangan
yang difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar
kecilnya sanksi tergantung dari pelanggarannya.
3.
Di
Baduy Dalam
Menurut Gunggung
Senoaji (2003) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama
kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi.
Segala gerak laku
masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam
bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk
melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun
menurun.
Pikukuh itu harus
ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke
Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah :
1. Dilarang
masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau
mengambil hasil hutan lainnya.
2. Dilarang
menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenisjenis
tertentu.
3. Dilarang
menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas
hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan.
4. Berladang
harus sesuai dengan ketentuan adat.
4.
Di
Kalimantan
Khususnya di Kalimantan Tengah, adanya Upacara Adat
Manyanggar dan Upacara Adat Mamapas Lewu oleh Masyarakat Dayak. Menyangar
adalah konsep kehati-hatian dalam upaya pemanfaatan suber daya alam, sedangkan
Memapas Lewu adalah upacara adat yang dilakukan setahun sekali untuk
memperingati orang untuk perduli terhadap lingkungan. Keduanya mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia
dengan penciptanya (Usop, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1.
Etika lingkungan dan konservasi dalam
pembangunan saat ini cenderung dilupakan. Pada umumnya disebabkan oleh beberapa
hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidaktahuan bahwa
lingkungan perlu untuk kehidupan.
- Peran masyarakat Indonesia terhadap etika lingkungan dan konservasi dalam pembangunan berupa kearifan lokal , seperti di Jawa : Pranoto Mongso, Nyabuk Gunung, dan menganggap pohon besar (Beringin) sebagai tempat keramat , di Sulawesi : adanya Komunitas Karampuang, di Baduy Dalam : adanya aturan dalam berinteraksi dengan alam yang harus ditaati baik oleh suku Baduy maupun pengunjung, serta di Kalimantan adanya Upacara Adat Manyanggar dan Memapas Lewu oleh Masyarakat Dayak.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, S. dan Richard. 1993. Enviromental Ethics : Diveregence and Convergence. Mc-Graw-Hill.
New York.
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan,
PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup
RI. Masagena Press, Makasar.
Astuti, T. 2004. Ekofeminisme
dan Peran Perempuan dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation .
Vol. 1 No. 1 - Juni 2012 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 49-60
Darmawati, I. 2002. “Dengarlah Tangisan Ibu Bumi! Sebuah Kritik Ekofeminisme atas Revolusi
Hijau”, dalam Jurnal Perempuan. No. 21. hal. 7-24.
Galtung, J. 2003. Studi
Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Pustaka Eureka.
Surabaya
Gunggung Seno Aji, 2003. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkunyannya,
Tesis S 2 Ilmu Kehutanan. UGM, Yogyakarta.
Indrawan, M., Richard B. Primack., Jatna S. 2007. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Kartasasmita, G, 1994. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
CIDES. Jakarta.
Keraf, S. 2002. Etika
Lingkungan. P.T.Kompas Media Nusantara. Jakarta
Kuswata, K dan Anthony J. W. (1991), Krisis Biologi Hilangnya Keanekaragaman
Biologi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif. Ekonomi,
Sosial dan Lingkungan. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah.PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Schweitzer,A. 1964. The Ethics of Reverence for Life. Syracuse University Press. New
York
Siagian. 1994. Pokok-pokok
Pembangunan Desa, Masyrakat Desa. Citra Aditya Bhakti. Bandung.
Taylor, P. 1986. Respect for Nature : A Theory of Enviromental Ethics.
Priceton University Press. New Jersey
Tikson, T Deddy, dkk. 2005. Evaluasi Pembangunan Pasca Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan. Kerjasama
Bappeda Propinsi Sulsel dengan Lembaga Penelitian Unhas, Makassar.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya. 1980. Teori Strategi Pembangunan Nasional.
Jakarta: Gunung Agung
Usop, S. 2013. Kearifan Masyarakat Dayak. https: //www.youtube.com/
watch?v=eMBukfVcg_s. Diakses 2 April 2013.
No comments:
Post a Comment