Petani pada umumnya memperoleh
pengetahuan tentang berbagai sistem usaha tani melalui pewarisan leluhur serta trial and error di lapangan dalam kurun
waktu sangat lama. karena itu, mereka menghasilkan sistem pertanian yang sesuai
dengan kondisi ekosistem lokal dan sistem sosial ekonomi setempat.
Contohnya, di Tataran Sunda telah
dikenal bermacam-macam sistem agroforestri tradisional, seperti sistem huma, kebon campuran dan kebon tatangkalan yang sngat khas,
antara lain memiliki keanekaragaman jenis dan varietas tanaman yang tinggi.
Jadi, struktur vegetasinya menyeruapai hutan alami (Terra,1958; Reijntjes
dkk,1992). Macam-macam sistem agroforestri tradisional tersebut memberikan
fungsi ekologis dan sosial ekonomi penting bagi penduduk.
Fungsi ekologis antara lain konservasi
plasma nutfah, habitat satwa liar, konservasi tanah, mengatur tata air
(Hidrologi) daerah aliran sungai dan memberikan kesejukan serta keteduhan.
adapun fungsi sosial ekonomi antara lain menghasilkan produksi tambahan bahan
pangan pokok karbohidrat: bumbu masak : sayur /lalap; serta bahan obat-obatan,
kerajinan,industri,upacara adat,kayu bakar dan bangunan.
Selain itu, penduduk juga memiliki
kearifan dalam mengawetkan,mengolah dan mengonsumsi aneka produksi tanaman.
Contohnya, untuk memasak umbi gadung, biasanya umbi tersebut dikupas ,
diiris-isis, dimasukan dalam karung, dan direndam dalam air sungai yang mengalir
cukup deras agar racun gadung tidak membahayakan kesehatan manusia.
Sementara itu, untuk mengolah umbi
ketela pohon agar tahan lama, biasanya umbi tersebut dikupas, diiris-iris dan
dijemur di terik matahari hingga kering menjadi singkong gaplek. gaplek tersebut biasa dibiarkan berhari-hari di simpan di
atap rumah terkena embun sehingga menjadi gatot
Pada umumnya gaplek dan gatot dapat disimpan cukup lama sebagai
persediaan pangan penduduk dalam rumah tngga dan penambah produksi beras.
KEANEKARAGAMAN
PANGAN
pada masa silam, urang Sunda di pedesaan
memiliki kebiasaan pola makan yang dinamakan tuang dan ngaleueut. tuang diartikan sebagai mengonsumsi
nasi, biasanya tuang enjing (makan
pagi)dan tuang sonten (makan sore) adakalanya pula kebiasaan itu ditambah ngawadang, makan siang dengan
mengonsumsi nasi sisa sarapan.
Sementara itu, ngaleueut biasanya
terdiri dari ngaleueut enjing-enjing (minum
pagi),ngaleueut siang (minum siang)
dan ngaleueut sonten /ngaleueut wengi (minum sore/malam), tetapi biasa pula disajikan aneka sajian
penganan non-beras contohnya beuleum sampeu dan bubuy sampe.
Pada umumnya penganan ngopi mempuntai nilai gizi yang penting
bagi kebutuhan penduduk. Sebab, penganan tersebut mempunyai kandungan kalori
cukup tinggi kendati tidak sebesar kandungan kalori pada beras. Misalnya
kandungan kalori 100 gram singkong gaplek mencapai 363,00 kal, gangyong
95,00kal, ubi jalar/hui 136,00 kal, taleus 98,00 kal, suweg 69,00 kal, gadung
101,00kal, hui manis 101,00 kal, sukun 302,40 kal, dan kacang suuk 136,00 kal.
adapun kandungan kalori beras merah sebesar 354,00 kal dan beras giling 360,00
kal (Suhardi dkk,2002).
Jadi aneka ragam bahan pangan
kalori/karbohidrat nonberas untuk ngaleueut
mempunyai peranan penting dalam mengurangi konsumsi penduduk terhadap
beras. Disamping itu, penting pula diketahui bahwa aneka ragampangan nonberas
tersebut biasanya diperoleh dari berbagai tata guna lahan nonsawah. Misalnya,
talas, singkong, ganyong, suweg, pisang dan sukun biasa ditanam penduduk secara
campur baur dengan tanaman lain diberbagai sistem agroforestri tradisional.
Oleh karena itu, keanekaragaman bahan
pangan nonberas tersebutg memiliki peran penting untuk mendukung ketahanan
pangan di pedesaan. Tananman padi di sawah sangat rawan terhadap berbagai
gangguan , seperti kelangkaan pupuk, pestisida, kemarau panjang, banjir dan
ledakan hama serta penyakit. ini berbeda dengan tanaman pangan nonpadi pada
macam-macam agroforestri tradisional yang pada umumnya tidak/kurang terpengaruh
oleh kelangkaan pupuk,pestisida,serta lebih tahan terhadap kekeringan, banjir
dan hama tanaman.
RAWAN
PANGAN
Pengaruh modernisasi dankomersialisasi
sistem pertanian sawah, antara lain melalui program Revolusi Hijau, telah
menyebabkan perubahan pada ekosistem sawah dan sistem sosial penduduk pedesaan.
Programpemerintah dengan mengupayakan swasembada pangan cendeung lebih
diartikan secara sempit sebagai swasembada pangan beras. Akibatnya, usaha tani
penduduk lebih ditekankan pada sistem usaha tanai sawah dengan mengabaikan
sistem agroforestri tradisional, seperti pekarangan,huma,kebon campuran dan kebon
tatangkalan
Padahal, pada masa silam urang Sunda
dengan kearifan ekologinya telah mempu mengelola sistem agroforestri
tradisional dengna kekhasan menanam aneka jenis dan varietas tanaman.Penduduk
pun telah membiasakan pola konsumsi dengna aneka bahan pangan nonberas.
Contohnya ialah kebiasaaan ngaleueut
pada pagi,siang, dan sore/malam dengan menyajikan minuman dan penganan nonberas
yang dibuat secara mandiri dalam keluarga tanpa harus membeli dari warung,toko
atau pasar.
Akan tetapi, kebiasaan usaha tani dengan
sistem agroforestri tradisional itu kuran g mendapatkan perhatian seksama dari
pemerintah. Beragam bahan pangan tradisional pedesaan cenderung kurang
mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Pengaruhnya, pola konsumsi
penduduk desa terhadap aneka ragam bahan pangan lokal nonberas cenderung kian
berkurang.
Selain itu, kue-kue tradisional tersebut
kian terdesak oleh kue dan minuman ringan (soft drink) dari kota. Akibatnya,
masyarakant pedesaan cenderung makin bergantung pada bahan pangan beras,kue,
serta minuman ringan dari warung dan pasar di kota. Konsekuensinya, ketahanan
pangan pedesaan untuk menanggulangi kemiskinan penduduk sangat rawan.
No comments:
Post a Comment