Tuesday, January 5, 2016

Kearifan Lokal Suku Pedalaman di Indonesia dalam Mitigasi Bencana




Disusun untuk memenuhi mata kuliah Ekologi Pedesaan




Disusun oleh :
Hana Hunafa Hidayat 140410100036

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjajaran
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang terkenal akan kemajemukan suku bangsanya, terdapatratusan suku bangsa yang hidup di seluruh wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia jugamerupakan bangsa yang sangat akrab dengan bencana. Baik berupa bencana alam maupunbencana yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kecanggihan teknologi informatika,dalam era globalisasi kini memegang peranan penting dalam memprediksi datangnyabencana. Namun semua itu tak berlaku bagi kehidupan suku-suku pedalaman di pelosokwilayah Indonesia. Mereka masih memegang teguh kearifan lokalnya dalam bentukpengetahuan dan cara pandang tentang bencana yang diwariskan secara turun-temurun dikomunitasnya. Yang menjadi fokus pembahasan dalam
paper 
ini adalah cara mitigasibencana Suku Asmat di Papua, Suku Baduy di Banten, dan suku Dayak di Kalimantan. Tentusaja suku-suku tersebut masih menggunakan cara-cara tradisional dalam proses mitigasibencana dan menjaga kelestarian alam lingkungan hidup. Pembahasan tentang kearifanlokal dan mitigasi bencana pada masyarakat tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalamkaitannya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakattradisional (lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-samaciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alambisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisamarah jika kita merusaknya. Jika alam marah sehingga muncul bencana alam berupabanjir, tanah longsor, gunung meletus dan lain sebagainya, maka masyarakat tradisionalumumnya juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi danmelakukan mitigasi bencana alam di daerahnya.



BAB II
PEMBAHASAN

Letak geografis Negara Kesatuan Republik Indoneasia, di Asia Tenggara diantara duasamudera yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik. Negeri ini berdiri di atas pertemuanlempeng-lempeng tektonik. Akibatnya negeri ini berada di atas jalur gempa, patahan-patahan yang menyebabkan gempa. Indonesia juga memiliki banyak gunung berapi.Jumlahnya sekitar 140 gunung yang aktif. Iklim Indonesia yang tropis juga menyebabkanbanyak tanah yang tidak stabil. Banyak tanah yang rusak. Iklim tropis dengan curah hujanyang cukup tinggi memudahkan terjadi pelapukan. Bencana alam seperti longsor, misalnya,itu karena curah hujan di sini cukup tinggi. Letak geografis wilayah Indonesia berada di tigalempeng tektonik utama yang aktif, yaitu lempeng Eurosia, lempeng Pasifik, dan lempengHindia Australia. Ketiga lempeng tersebut, jika terjadi interaksi satu sama lain salingbergerak, proses inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi dan Indonesia hampirsetiap tahun mengalaminya.Sehingga Indonesia dinobatkan sebagai negara yang paling rawan bencana alam didunia demikian menurut
United Nations International Stategy for Disaster Reduction
(UNISDR: Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana). Berbagaibencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor,kekeringan, dankebakaran hutanrawan terjadi di Indonesia. Bahkan untuk beberapa jenisbencana alam, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam paparan terhadap pendudukatau jumlah manusia yang menjadi korban meninggal akibat bencana alam. Inilah yangmembuatIndonesia sebagai negara dengan resiko dan dampak bencana alam tertinggi didunia.Karena Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana alam, Indonesiawajib mempunyai standar penanganan yang baik terhadap dampak bencana alam.Mengingat bencana alam yang terjadi selain disebabkan oleh faktor alam juga olehfaktormanusiayang merusak alam, maka sudah sepatutnya kita bertindak lebih arif terhadap alam. Jumlah populasi penduduk Indonesia kini yang mencapai lebih dari 220 jutaorang. Terdiri dari beragam suku-suku yang tersebar di 34 propinsi di seluruh Indonesia.Negara Indonesia tergolong dalam negara dunia ketiga, yaitu negara yang sedangmengalami perkembangan. Segala segi aspek kehidupan warganya kini tengah mengalamiperkembangan mengikuti arus modernisasi, sehingga dalam urusan mitigasi bencana juga
            mengalami perkembangan. Bisa dilihat kini di Indonesia setelah peristiwa Tsunami di Acehtahun 2004, banyak ilmuwan dari luar negeri yang datang ke Indonesia memperkenalkanalat-alat teknologi canggih untuk mendeteksi datangnya bencana. Alat pendeteksi bencanaini dikelola dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga negara yang berhubungan denganbencana seperti LIPI, BMKG, dan badan nasional penanggulangan bencana (BNPB).
Dengan demikian fungsi lembaga-lembaga ini, adalah menyampaikan informasi dan memberikanpengetahuan tentang mitigasi bencana ke masyarakat agar masyarakat siap dalampenanggulangan resiko bencana.Namun tak semua akses informasi mengenai penanggulangan bencana dapat denganmudah menjamah masyarakat-masyarakat tradisional di pedalaman Indonesia. Kendalayang dihadapi pemerintah dan lembaga-lembaga bencana untuk situasi seperti ini adalahkesulitan akses untuk menuju pedalaman dan kurangnya teknologi informasi pada suku-suku di pedalaman. Walaupun mengahadapi kendala seperti ini, suku-Suku Asmat, Baduy,dan Dayak tidak khawatir akan terjadinya bencana. Karena dalam kehidupan mereka, sudahada pengetahuan tata cara tentang mitigasi bencana secara tradisional yang merekadapatkan secara turun-temurun.
Demi menjaga lestarinya lingkungan hidup tempattinggalnya. Mereka meyakini, ilmu pengetahuan yang turun-temurun mereka dapat darinenek moyang lebih ampuh dalam mitigasi bencana. Kearifan lokal yang membentuk polapikir masyarakat suku pedalaman, mampu bertahan hidup di tengah lingkungan alam yangkian lama rusak karena ulah keserakahan manusia.
1.Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan mempunyai beberapapengertian. Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan sertaberbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakatlokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh
unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasadan komunikasi, serta kesenian. Definisi lain, Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasansetempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dandiikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111). Dengan demikian kearifan lokalmerupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilakudan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangandalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalammasyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat danbudaya, serta bermanfaat untuk kehidupan. Pada umumnya, masyarakat lokal mempunyaipandangan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan menghuni selain manusiayaitu roh alam. Oleh karena itu, manusia yang beraktifitas di sekitarnya harus menghormatidan menjaga tempat-tempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan sumber air.Bahkan banyak tempat-tempat tersebut yang dijadikan tempat yang sakral ataudikeramatkan. Sehingga tak sembarang orang bisa memasuki tempat-tempat tersebut, danorang-orang pun akan enggan untuk merusak lingkungan tempat-tempat yang sudahdikeramatkan tersebut.




2. Mitigasi bencana
Mitigasi bencana adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana ataumengurangi dampak bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No.131 tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinakan) diartikan sebagai upaya dankegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkanoleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan.
 Kearifan lokal suku-sukupedalaman dalam upaya mencegah dan meminimalisir terjadinya bencana (mitigasibencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusantahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan tersebut biasanya diperolehdari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan lingkungannya.
Sayangnya,kini berbagai pengetahuan lokal dalam berbagai suku bangsa di Indonesia banyak yangmengalami erosi atau bahkan punah dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagaisumber ilmu pengetahuan. Padahal pengetahuan dan kearifan lokal dapat dipadukan antaraempirisme dan rasionalisme sehingga dapat pula digunakan antara lain untuk mitigasi
bencana alam berbasis masyarakat lokal (Iskandar, 2009). Perlu ada kajian dan perhatiankhusus mengenai hal ini, dikarenakan suku-suku di pedalaman merupakan masyarakat yangsangat dekat dengan alam.

3. Suku Asmat di Papua
Masyarakat Suku Asmat di pedalaman Papua merupakan suku yang terkenal karenahasil kreasi ukirannya di Indonesia. Bahkan kini hasil seni mereka telah mendunia, dikenal dikancah internasional karena seni ukir mereka yang sungguh menawan salah satunya adalahpatung Asmat. Menurut tradisi, kesenian ukir pada Suku Asmat ternyata merupakan bentukkepercayaan atau simbol terhadap arwah nenek moyang mereka.
 Tujuannya sebagai penenang arwah para nenek moyang mereka. Lantaran perkembangan pemikiran tetapitetap menghargai nenek moyang, maka diambillah jalan tengah berupa pembuatan patung-patung yang didesain mirip dengan arwah nenek moyang mereka. Bagi Suku Asmat, prosesimengukir patung seperti sedang berdialog dengan arwah leluhur di alam lain.
 Tiga macamkonsep dunia pada masyarakat Asmat yang terdiri dari: Asmat on Capinmi (kehidupansekarang), Dampu on Capinmi  (alam persinggahan roh) dan Sarfar  (surga). Masyarakat SukuAsmat meyakini, sebelum dimasukan ke dalam surga, arwah kerap menggangu manusiaberupa penyakit atau bencana alam. Mereka pun membuat patung dan menggelar upacarapatung yang dinamakan Bis atau Bispokombi, pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu sebagai usaha penyelamat bencana tersebut.
Orang Asmat lebih maju dibandingsuku-suku lain di tanah Papua. Papua adalah propinsi paling timur Indonesia yangmenyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar 420.000 kilometer persegi,Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua jugaberlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat.
 Transportasi sampai detik ini masihmenjadi masalah untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sehingga sungaimemegang peranan penting sebagai salah satu sarana angkutan. Seperti Sungai Membramoatau Digul yang merupakan salah satu sungai terbesar. Bagi sebagian suku, sungai adalahkehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai mereka jugamenggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain. Menjaga kelestariansungai dalam kehidupan menjadi prioritas masyarakat Suku Asmat.
Jumlah populasi Suku Asmat kini berkisar kurang lebih 70.000 orang terbagi dalamdua populasi besar, yaitu mereka yang tinggal di pedalaman dan mereka yang tinggal dipesisir pantai. Cara hidup, ritual, kebiasaan, sistem sosial, dan dialek bahasa kedua populasiini sangat berbeda. Suku Asmat yang tinggal di daerah pesisir pantai dibagi menjadi SukuBisman dan Suku Simai.
Begitu sulit untuk mencapai Suku Asmat. Jaraknya bisa mencapai 70 km dari kecamatan yang masih bisa dijangkau kendaraan roda dua atau roda empat.Untuk mencapai ke perkampungan, paling tidak diperlukan waktu 1-2 hari perjalanandengan berjalan kaki.
Berikut adat istiadat mereka dalam kehidupan sehari-hari. Suku Asmatyang hidup di wilayah pedalaman biasanya mencari makan dari berbagai panganan hutanseperti umbi-umbian atau buah. Mayoritas Suku Asmat memiliki bentuk tubuh yang tegap,berhidung mancung, dan berkulit gelap. Selain di Papua, Suku Asmat juga banyak terdapatdi Selandia Baru dan Papua Nugini.
 Dalam menjalankan kehidupan sosialnya, Suku Asmatmemiliki dua tipikal pemerintahan: yakni jabatan kepimimpinan yang ditentukan olehpemerintah secara administratif dan kepala adat/ suku yang ditentukan berdasarkan margatertua atau bekas pahlawan perang. Sebelum para misionaris datang, Suku Asmat masihmemeluk ajaran nenek moyang yakni animisme yang percaya pada kekuatan gaib.Namun, sekarang Suku Asmat sudah banyak yang memeluk agama sesuaidengan konstitusi negara, yakni Kristen, Katholik, dan agama Islam.
 Dalam mempertahakanhidupnya, Suku Asmat banyak yang bercocok tanam berbagai jenis tanaman seperti wortel, jeruk, jagung, matoa, dan beternak ayam hutan atau babi. Yang kesemuanya merupakanproduk budaya Suku Asmat di Papua. Walaupun nampak primitif karena penampilannyayang sederhana, namun ternyata Suku Asmat adalah suku yang memegang kuat filosofihidup dan nilai-nilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangunrumah adat Suku Asmat. Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli SukuAsmat, mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam.
 Oleh karena itulah mereka sangatmenghormati dan menjaga alam sekitarnya. Bahkan, pohon di sekitar tempat hidup merekaanggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buahmenggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka. Maka, dari itulahmasyarakat Suku Asmat tidak mau merusak alam, karena anggapan mereka jika merusakalam itu berarti merusak/merugikan diri sendiri dan orang lain.
 Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam, sehingga dalam setiap kreasi ukirannya terdapat
motif hewan ular. Suku Asmat dengan segala kearifan lokalnya mampu hidup bertahan danmelestarikan alam sehingga dengan pola seperti ini mereka dapat melakukan mitigasibencana yang tradisional namun ampuh dalam mencegah datangnya bencana.
4. Suku Baduy di Banten
Wilayah tempat tinggal masyarakat Suku Baduy berada di desa Kanekes, kecamatanLeuwidamar, kabupaten Lebak, propinsi Banten. Masyarakat Suku Baduy terbagi menjadidua kelompok yaitu kelompok Suku Baduy dalam (Baduy Tangtu) yang masih berada dilingkungan hutan yang kehidupannya masih primitif, dan kelompok Suku Baduy luar (Baduy Panamping) yang sudah merasakan modernisasi berada di luar wilayah hutan tempattinggal Suku Baduy dalam.
 Hingga saat ini masyarakat Baduy masih terikat pada pikukuh (aturan adat) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan, yang berarti panjang tidakboleh dipotong, pendek tidak boleh sambung. Makna dari  pikukuh itu antara lain tidakmengubah sesuatu atau menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangidari yang ada itu (Permana, 2009:92).
 Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi). Tentang kearifan lokalmasyarakat Baduy dalam upaya mencegah atau meminimalisasi terjadinya bencana (mitigasibencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusan danbahkan mungkin ribuan tahun yang lalu.Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional bersahaja namun kaya akansumber kearifan yang dapat menjadi teladan atau panutan kita.
Fakta dalam masyarakat Baduy menunjukkan bahwa:A. Masyarakat Baduy melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tetapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan. Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma. Bekas huma yang masih baru ditinggalkan disebut  jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma. PerladanganBaduy utamanya adalah menanam padi. Selain sebagai makanan pokok, padi juga
merupakan tanaman yang dianggap mulia.
 Masyarakat Sunda baik di wilayah Jawa Baratmaupun Banten sangat menghormati padi karena diyakinisebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Penghormatankepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen. Kearifanlokal masyarakat Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencanaterlihat dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang ( huma).
Tradisi pemilihanlahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor, sedangkan tradisipembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran hutan. Kearifan lokal dalamkaitannya dengan mitigasi kebakaran hutan terlihat dalam tradisi ngahuru atau ngaduruk,yakni membakar tebangan sehabis membuka ladang. Dahan, ranting, dedaunan danrerumputan bekas potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk dibakar.B. Di wilayah Baduy banyak hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, namuntidak pernah terjadi bencana banjir melanda permukiman.
 Kearifan lokal masyarakat Baduypada hutan dan air dalam kaitannya dengan mitigasi bencana banjir dan longor tercermindalam fungsi dan letak hutan dan air. Fungsi hutan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hutanlarangan, hutan dungusan
Atau dudungusan, dan hutan garapan. Masyarakat Baduy denganpenuh kesungguhan dari generasi ke generasi antara lain telah berhasil melindungi kawasanhutan seluas 5.635 hektar di hulu daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng,Kabupaten Lebak. Manfaat perlindungan tersebut telah dinikmati bukan hanya olehkomunitas Baduy sendiri, tetapi juga rumah tangga dan industri di hilir yang mendapatkanpasokan air yang lancar dari sekitar 120 sungai dan anak sungai Ciujung.C. Walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudahterbakar (kayu, bambu, rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat.
Pengetahuan tentang peletakan lumbung-lumbung terpisah dari permukiman merupakankearifan lokal masyarakat Baduy yang khas sebagai mitigasi bencana kebakaran rumah ataukampung. Tidak ada pola khusus peletakan lumbung, ada yang berada di seberang sungai, dibalik hutan kampung, di lereng bukit, atau pada jarak 10-20 meter dari rumah terakhir.D. Wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian Barat, tidakpernah terjadi kerusakan bangunan akibat bencana gempa.
Teknologi yang dimiliki olehmasyarakat Baduy dalam mendirikan bangunan masih tergolong sederhana, namunmenjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk samaberupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk dan rumbia.
Rumah panggung ini mempunyai ukuran yang hampir sama satu sama lain. Kearifan lokalmasyarakat Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasibencana gempa terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, sertapenggunaan umpak. Sementara itu, untuk struktur utama hateup (atap) digunakan ataprumbia ( kiray ) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat. Jika terjadi gempa, maka strukturrumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran.
5.Suku Dayak di Kalimantan
Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki arealhutan tropis yang sangat luas. Di wilayah hutan seluas 22 juta hektar ini melindungisedikitnya 50 komunitas suku Dayak, ribuan tanaman endemik, dan satwa eksotik.Bentuk kehidupan masyarakat Dayak yang selalu bergantung pada tiga unsur yaituair, tanah, dan hutan. Suku Dayak sebenarnya terdiri dari bermacam-macam subsuku.
 Karena di dalam Suku Dayak masih terdapat lagi ada adat budaya yang berbeda-beda meskipun muaranya sama. Beberapa sub Suku Dayak yaitu: Dayak Sama, Bajau, Yakan, Banuaka, Meratus, Iban, dan Kedayan. Sebenarnya Suku Dayak cukup bertoleransi atas perbedaan agama dan budaya yang menyertainya. Hnayasaja mereka saat ini terkenal dengan sisi magis dan keseramannya apabilaberhubungan dengan orang-orang yang ingin merusak lingkungan tempat tinggalmereka.
Suku Dayak mempercayai bahwa seseorang yang hidup harus memilikiharmonisasi dengan alam sekitar sehingga semua bisa terlaksana dengan baik. SukuDayak takut apabila ada penebangan pohon besar-besaran dan pertamabangan yangterus dibuka di wilayah hutan-hutan Kalimantan maka kehidupan akan tidak lagiharmonis. Akan banyak hewan dan tumbuhan yang mati, polusi, dan berbagaiperusakan alam lainnya. Untuk itulah terkadang orang Dayak terlihat tidak mauterbuka dalam menerima orang-orang baru di wilayah mereka. Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Banuaka merupakan benda/barangadat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat.
 Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Banuaka mengalami zaman yang paling buruk. Hutansebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Banuaka dengan berdalih padaUndang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Banuaka dengan sumber satu-satupenghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanandan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namunmenjadi keanehan bahwa orang Dayak Banuaka yang menyebabkan degradasi hutanbesar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebutsebagai perladangan berpindah.
Peristiwa seperti ini seharusnya tak perlu terulangilagi, karena kini masyarakat Suku Dayak terancam kehilangan lingkungan tempat tinggalnya. Karena luas areal huta di Kalimantan dari tahun ke tahun semakin menipis, disebabkan berbagai alih fungsi hutan menjadi industri pertambangan ataupun penebangan liar. Pemerintah Daerah di propinsi-propinsi Kalimantan, harus bertindak lebih keras lagi dalam menegakan peraturan-peraturan hukum berkaitan dengan wilayah hutan di Kalimantan. Agar ekologi masyarakat Suku Dayak, tetap terjaga dan kearifan lokal mereka bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.









KESIMPULAN

Pandangan hidup pada masyarakat tradisional, manusia dan alam adalah satukesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusiadiyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa menjadi ramah jika manusiamemperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya.Jika alam marah sehingga muncul bencana alam berupa banjir, tanah longsor,gunung meletus dan lain sebagainya, maka masyarakat tradisional umumnya jugamemiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukanmitigasi bencana alam di daerahnya.
Kearifan lokal masyarakat Suku Asmat, SukuBaduy, dan Suku Dayak di wilayah pedalaman Indonesia dalam mitigasi bencanamerupakan pengetahuan yang turun-temurun ada sejak zaman dahulu. KarenaIndonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana alam, Indonesia wajibmempunyai standar penanganan yang baik terhadap dampak bencana alam.Mengingat bencana alam yang terjadi selain disebabkan oleh faktor alam juga olehfaktormanusiayang merusak alam, maka sudah sepatutnya kita bertindak lebih arif terhadap alam.











DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial RI,Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas AdatTerpencil,

Kementerian Sosial Republik Indonesia (online)
    2006,http://www.kemsos.go.id/, diakses 28 maret 2014.

J.Iskandar ‘Mitigasi Bencana lewat Kearifan Lokal’, Kompas (online), 6 Oktober2009,http://Kompas.com, diakses 28 maret 2014.

A.Sadaniang, ‘Filsafat Dayak’, Kompasiana (online),19 JunI,2012,http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/19/filsafat-dayak/, diakses 28 maret 2014.
Sartini, ‘Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat’ ,
    Jurnal Filsafat 37 , 2004, 111-120.

C.E. Permana, ‘Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional berbasis Tanaman’ ,
   Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya,11, 2009, 81-94. 
 
United Nations Office for Disaster Risk Reduction, UNISDR (online), http://www.unisdr.org/, diakses 28 maret 2014..

A.Ahira, ‘Patung Asmat Simbol Nenek Moyang’,
    Anneahira (online),
    http://www.anneahira.com/patung-asmat.htm, diakses 28 maret 2014.
.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia,  Depdagri (online),
    http://www.depdagri.go.id/, diakses 28 maret 2014.

No comments:

Post a Comment