Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi
Pedesaan
Disusun oleh :
Hana Hunafa Hidayat
Npm :140410100036
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia diklaim
kehilangan areal persawahan sebesar 80.000 ha-100.000 ha/tahun akibat
kemampuan cetak lahan yang dilakukan pemerintah tidak mampu mengimbangi
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian.
“Setiap kita
bangun tidur, 220 ha sawah hilang. Padahal kita masih belum bisa lepas
dari nasi. Ini disebabkan keberpihakan makro ke sektor pertanian kurang,
fragmentasi lahan dan lemahnya penegakan hukum,” kata Direktur Pengelolaan
Air Irigasi Ditjen Sarana dan Prasarana Kementan Tunggul Iman Panudju, Rabu
(16/4/2014).
Kementerian
Pertanian mencatat sampai tahun lalu Indonesia memiliki sawah seluas 8,13
juta ha, pertanian lahan kering 18,58 juta ha dan perkebunan 18,93 juta
ha, yang berpotensi terus berkurang karena konversi menjadi perumahan atau
perkebunan (nonsawah).
Di luar Jawa,
sekitar 48,6% sawah yang dikonversi berubah menjadi perkebunan, sementara
pola yang terjadi di Jawa sebagian besar konversi menjadi perumahan, yaitu
sebesar 58,7%.
Dia
mengatakan bahwa hal ini makin diperparah dengan kualitas sawah yang baru
dicetak itu hanya 1/3 dari kualitas sawah yang sudah ada, serta tidak
adanya kepastian rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Dari total
491 Pemda, ada 347 RTRW yang sudah ditetapkan, tapi hanya 160 perda yang
menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Ini ancaman serius
terhadap sawah, yang anehnya by law, by design. Sampai
saat ini masih tersisa 4,7 juta ha sawah untuk pangan,” ujarnya.
Untuk itu
seharusnya pemerintah kabupaten/kota yang belum menuntaskan Peraturan
Daerah RTRW segera membuat terlebih dahulu Peraturan Bupati atau Wali
Kota, untuk mempertahankan lahan sawah.(bisnis.com)
BAB II
ISI
Upaya Pengendalian Konversi
Lahan Sawah
Berdasarkan fakta, upaya
pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena lahan sawah merupakan private
good yang legal untuk ditransaksikan. Oleh karena itu upaya yang dapat
dilakukan hanya bersifat pengendalian. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya
bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu
faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Namun hal tersebut hendaknya
didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang
dilengkapi dengan teknologi yang memadai.
Beberapa konsep
pengendalian telah direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Namun karena belum
adanya pemberdayaan hukum yang konsisten dan dibutuhkan prasyarat yang ketat
maka, pengendalian konversi lahan cenderung tidak efektif. Pengendalian dengan
instrumen ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme kompensasi dan kebijakan
pajak progressif. Kebijakan pajak progresif relatif mudah diaplikasikan dan
sudah dirintis oleh pemerintah. Namun dua peneliti tersebut mengkhawatirkan
penggunaan pendekatan kompensasi dan pajak progerssif akan mengarah kepada
kondisi kapitalis dimana sumberdaya lahan akan dikuasai dan dimiliki oleh orang
yang modalnya kuat.
Dengan pendataan yang akurat
dan penegakan hukum yang konsisten, sebenarnya pengenaan pajak progresif
cenderung lebih aplikatif. Kekhawatiran mengarah pada kapitalis dapat dihambat
dengan penegakan hukum. Implikasi ekonomi dari penerapan pajak ini akan
menggeser kurva penawaran lahan sawah ke kiri. Kalaupun terjadi transaksi
dengan harga yang relatif mahal. Untuk kebutuhan konsumtif (perumahan)
sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah, karena dibebankan pada konsumen
yang umumnya berpendapatan menegah ke atas. Jika konsumennya untuk kegiatan
industri, akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Namun dengan kondisi pasar
yang makin mengglobal, ekonomi biaya tinggi akan menjadi tidak efisen dan kalah
bersaing. Hal tersebut seharusnya menyebabkan investor mengalihkan ke lahan
yang sesuai dengan peruntukkannya. Apalagi pemerintah menyediakan fasilitas
industri, perkantoran dan perdagangan yang dilengkapi dengan sarana penunjang
lainnya.
Hingga saat ini kekhawatiran
juga terjadi dalam hal penerapan hukum yang berkaitan dengan pengendalian
konversi lahan sawah. Data menunjukkan konversi lahan sawah terus terjadi.
Sebagian permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan terjadi
akumulasi penguasaan lahan pada pihak tertentu dapat dijawab dengan reformasi
agraria. Namun kegiatan ini membutuhkan tenaga pelaksana yang jujur,
tersedianya data penguasaan dan pemilikan lahan yang lengkap, dan dukungan dana
yang terus menerus. Prasyarat tersebut menyebabkan banyak negara gagal
melaksanakannya.
Konversi lahan sawah di Jawa
jauh lebih besar dibandingkan wilayah lain di Indonesia, dan
kecenderungannya terus meningkat. Kondisi ini mengindikasikan upaya
pengendalian konversi lahan sawah yang dilakukan pemerintah tidak efektif. Di
Luar Jawa konversi lahan sawah bersifat fluktuatif. Hal ini disebabkan adanya upaya
pemerintah mencetak sawah baru untuk mengantisipasi tingginya konversi yang
terjadi di Jawa.
Tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi menyebabkan banyak petani menjual
asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya secara umum
meningkatkan konversi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak
pemilik modal.
Secara nasional sawah tadah
hujan paling banyak mengalami konversi. Di Jawa lahan sawah dengan berbagai jenis irigasi mengalami konversi, yaitu
sawah tadah hujan, sawah irigasi teknis, sawah irigasi semi teknis dan sawah
irigasi sederhana. Sementara itu di Luar Jawa konversi hanya terjadi pada sawah
beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya konversi lahan sawah beririgasi
di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa peraturan pengendalian konversi lahan
sawah yang ada tidak efektif.
Kementerian Pertanian mengungkapkan, saat ini kemampuan pemerintah dalam
melakukan pencetakan areal pertanian baru hanya sekitar 50 ribu hektar (ha) per
tahun. Kemampuan cetak sawah baru tersebut jauh lebih rendah dari tingkat alih
fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian yang mencapai 100 ribu
hektar/tahun. Banyak infrastruktur pertanian yang sengaja dirusak agar ada
alasan untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian.
Upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, upaya yang dapat
dilakukan hanya bersifat pengendalian. Prasyarat yang diperlukan untuk itu
adalah perangkat peraturan yang tegas dan harus didukung oleh keakuratan
pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang
memadai. Dengan pendataan yang akurat dan penegakan hukum yang konsisten,
pengenaan pajak progresif pada pembelian lahan sawah lebih aplikatif. Dana
penerimaan pajak tersebut digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan
irigasi.
Konversi Lahan Sawah
Perkembangan konversi lahan didisagregasi menjadi dua. Pertama,
perkembangan konversi lahan menurut wilayah administratif, dalam hal ini pulau.
Kedua, perkembangan konversi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi
teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan. Data yang
digunakan dalam analisis ini bersumber dari publikasi BPS deret waktu tahun
1978 – 2001. Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan neto.
Artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun
sebelumnya (Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi
alih fungsi lahan sawah (At). Secara matematika, diformulasikan sebagai
berikut:
(Ct – At) = Lt – Lt-1 (1)
Dengan demikian jika konversi lahan sawah bernilai positif, berarti hanya
terjadi pencetakan sawah baru, atau pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih
luas dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun t. Sebaliknya jika
konversi lahan sawah bernilai negatif, berarti hanya terjadi alih fungsi lahan
sawah atau, alih fungsi lahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah
masing-masing pada tahun t.
Berdasarkan Wilayah
Disagergasi berdasarkan
wilayah pulau, mencakup wilayah Sumatera, Jawa (tidak termasuk DKI Jakarta),
Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk wilayah Maluku dan Papua tidak
dimasukkan dalam analisis, karena pada kedua wilayah tersebut masalah konversi
lahan dianggap masih belum merupakan permasalahan yang serius. Disagregasi wilayah pulau tersebut didasarkan atas
adanya variasi dalam hal kualitas lahan, kondisi infrastruktur dan kelembagaan
pertanian yang tersedia. Di samping itu perkembangan sektor industri dan Jasa
yang diduga mempengaruhi konversi lahan relatif berbeda pada bebagai pulau di
atas. Untuk analisis makro, analisis berdasarkan pulau akan lebih sederhana
dibandingkan berdasarkan provinsi.
Analisis berdasarkan
provinsi akan menjadi sangat melebar, sementara itu aktivitas konversi yang
signifikan tidak terjadi sepanjang tahun pada sebagian besar provinsi.
Ada empat informasi
penting dalam hal konversi lahan sawah, yaitu:
(1) konversi lahan sawah tidak hanya terjadi di
Jawa, tetapi juga terjadi di luar Jawa;
(2) konversi lahan sawah di Jawa jauh lebih besar
dibandingkan wilayah lainnya dan dari periode ke periode cenderung terus
meningkat;
(3) pada priode pasca krisis ekonomi (1997-2000)
baik secara nasional, maupun pada beberapa wilayah, konversi lahan sawah
meningkat tajam; dan
(4) secara nasional selama periode 1979-2000
konversi lahan sawah netto bernilai positif, artinya pencetakan sawah baru
lebih luas dari konversi lahan sawah.
Dari empat informasi
tersebut, dua informasi pertama mengindikasikan bahwa upaya yang dilakukan
pemerintah tidak dapat menghambat terjadinya konversi lahan sawah. Konversi
lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah
urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Bahkan di luar
Jawa kecenderungannya meningkat. Di Banjarmasin banyak terjadi koversi lahan
sawah di daerah urban dan semi-urban akibat perluasan pemukiman. Keadaan ini
dapat memicu konversi lebih luas lagi. Karena pembangunan pemukiman tersebut
akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian hal
tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama, kurangnya
penyinaran, dan gangguan tata air. Artinya konversi lahan sifatnya cenderung
akseleratif.
Dengan mengambil kasus
Banjarmasin, hal yang sama tentu terjadi pada daerah urban dan semi-urban di
perkotaan lain di luar Jawa. Bahkan dengan adanya otonomi daerah banyak daerah
provinsi dan kabupaten mengalami pemekaran wilayah. Konsekuensinya mebutuhkan bangunan perkantoran dan
sarana serta prasana ekonomi pendukung yang tidak sedikit mengunakan lahan
sawah.
Informasi ke tiga menunjukkan
bahwa krisis ekonomi berakibat tingginya angka pengagguran menyebabkan
menurunnya pendapatan masyarakat. Keadaan ini memicu terjadinya konversi lahan
sawah. Karena sebagian masyarakat yang hanya memiliki aset berupa lahan sawah,
akan menjual lahannya untuk kebutuhan hidupnya kepada pihak-pihak yang
berpendapatan tinggi. Mereka dapat berupa petani kaya, investor atau bahkan
para spekulan.
Informasi ke empat dapat
diinterpretasikan bahwa walaupun pemerintah sulit mengendalikan konversi lahan
sawah, antisipasi melalui pencetakan sawah baru dan perbaikan kualitas irigasi
mampu meningkatkan luas lahan sawah secara agregat.
Walaupun kualitas lahan sawah
yang baru dicetak lebih rendah dari lahan sawah yang sudah mapan berbeda,
demikian juga untuk kualitas lahan sawah di Jawa relatif lebih baik dari lahan
sawah di Luar Jawa. Dengan berjalannya waktu dan penerapan teknologi,
diharapkan lahan baru tersebut akan meningkat kualitasnya. Saat ini banyak
lahan sawah pada sentra produksi padi di Luar Jawa yang mampu menghasilkan
produksi gabah sama dengan lahan sawah di Jawa.
Berdasarkan
Jenis Irigasi
Berdasarkan jenis
irigasinya, ada tiga kemungkinan bentuk konversi lahan sawah. Pertama, dari
semua klasifikasi irigasi ke penggunaan non pertanian. Namun berdasarkan peraturan
yang ada, tidak mungkin terjadi konversi lahan beririgasi. Dari sisi praktis,
bagi individu petani juga kecil kemungkinan mengkonversi lahan irigasi,
khususnya untuk pemukiman. Karena lahan sawah irigasi relatif lebih produktif
dan dibutuhkan biaya relatif besar untuk menimbun jika digunakan untuk
pemukiman. Tidak demikian halnya bagi
investor, walaupun biaya timbun relatif tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan
usaha akan memberikan land rent yang lebih baik. Ke dua, konversi
lahan sawah dari satu jenis irgasi ke irigasi lainnya yang lebih baik. Hal ini
dapat terjadi jika ada program perbaikan irigasi baik yang dilakukan secara
swadaya ataupun yang didanai pemerintah. Ke tiga, kebalikan dari bentuk
kedua, yaitu konversi dari lahan irigasi yang baik ke irigasi yang kurang baik.
Hal ini dapat terjadi karena proses alam yang menyebabkan tidak berfungsinya
sistem irigasi, atau dilakukan secara sengaja untuk menghindari peraturan yang
ada. Alih fungsi lahan pertanian ke kawasan pemukiman awalnya sebagian besar
berasal dari lahan sawah beririgasi.
Secara nasional, banyak sawah
tadah hujan yang mengalami koversi neto, yaitu sekitar 15 ribu hektar per
tahun. Namun jika dirinci berdasarkan wilayah gambarannya sebagai berikut:
(1) Di Jawa semua jenis irigasi mengalami
konversi, dimana sawah tadah hujan menduduki urutan pertama, diikuti oleh sawah
irigasi teknis, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi sederhana; dan
(2) Wilayah Luar Jawa, konversi lahan sawah yang
terjadi relatif sedikit, itupun hanya pada sawah irigasi sederhana dan tadah
hujan di Bali dan Nusa Tenggara) dan sawah tadah hujan di Kalimantan dan
Sulawesi.
Khusus untuk wilayah Luar
Jawa, jika dirinci konversi yang terjadi dari periode ke periode adalah sebagai
berikut:
(1) Secara neto, hanya di Sumatera dan Sulawesi
sawah irigasi teknisnya tidak pernah terkonversi, sedangkan sawah lainnya
pernah; dan
(2) Wilayah Bali dan Nusa Tenggara dan wilayah
Kalimantan sawah irigasi teknisnya pernah mengalami konversi.
Peraturan yang ada belum dapat berjalan efektif untuk meniadakan terjadinya
konversi lahan sawah beririgasi, khususnya di Jawa, Kalimantan, , Bali dan Nusa
Tenggara. Namun dari kecenderungan yang terjadi di Jawa konversi lahan sawah
irigasi cukup besar, sedangkan di wilayah Kalimantan dan Bali-Nusa Tenggara sifatnya
sporadis.
Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung
melalui dua pola, yaitu : pola dimana kedudukan petani sebagai penjual
bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena
pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik
informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih
menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah
konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan
karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang bertugas
mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data
kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya.
Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Asahan (Studi Kasus : Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara) (Fajar Akbar Addhitama)
Kabupaten Asahan adalah salah satu Kabupaten yang
dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami konversi lahan, khususnya lahan
pertanian. Konversi lahan ini mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten
Asahan terus mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak terkonversi adalah
jenis lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering, dan menjadi lahan
non pertanian, seperti digunakan untuk bangunan, dan hal-hal lain sebagainya.
Luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah berhubungan dengan tingkat produksi
padi.
Konversi lahan sawah mempengaruhi produksi padi di
Kabupaten Asahan. Jika luas lahan sawah terus berkurang karena adanya konversi,
maka sudah tentu produksi padi juga akan ikut berkurang
Pemanfaatan lahan di Kabupaten Asahan dapat dibagi
menjadi 4 (empat) jenis, yaitu tanah sawah, tanah kering, bangunan/pemukiman
dan lain-lain dimana pemanfaatan lahan yang terbesar jika dilihat dari
rata-rata penggunaannya terdapat pada tanah kering dengan rataan 328.314,07 ha,
rataan untuk penggunaan bangunan sebesar 51.795,96 ha, rataan untuk penggunaan
tanah sawah sebesar 45.870,81 ha, dan rataan penggunaan untuk lain-lain sebesar
36.878,16 ha.
Luas lahan pertanian pada tahun 2020 diramalkan
sebesar 334351.64 ha, dimana lahan pertanian pada tahun 2020 mengalami
penurunan luas lahan sebesar 27,928.42 ha dibandingkan luas lahan tahun 2006.
Sedangkan produksi padi pada tahun 2020 diramalkan sebesar 149.989,10 ton,
dimana produksi padi pada tahun 2020 akan mengalami penurunan sebesar 108.990
ton dibandingkan produksi padi pada tahun 2006.
Namun demikian jika tidak ada
upaya pencetakan lahan sawah di Luar Jawa tentunya impor yang dibutuhkan akan
lebih besar lagi. Di samping itu hendaknya perbaikan teknologi budidaya padi
lahan sawah dan lahan kering serta upaya-upaya penyuluhan yang akhir-akhir ini
menurun, sebaiknya ditingkatkan lagi secara terus menerus. Di sisi permintaan,
upaya diversifikasi pangan pokok dengan bahan lokal yang masih tersendat perlu
diupayakan terus. Jika dikaji secara fisik, alih fungsi lahan sawah ke non
pertanian merupakan suatu proses yang mahal. Biaya investasi untuk pencetakan
dan pengembangan sistem pertanian sawah sangat besar, baik kaitannya dengan
pembangunan waduk, sistem irigasi, maupun pemantapan ekosistem sawah yang
umumnya butuh waktu lebih dari 10 tahun.
Dampak lain dari alih fungsi lahan pertanian adalah: kesempatan kerja pertanian menurun sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi lingkungan. Di samping itu biaya investasi pengembangan struktur sosial terutama dalam bentuk pengembangan sistem kelembagaan pertanian, yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia sangat mahal.
Konversi Lahan Ancam Produksi beras
04 Desember
2010 06:27 WIB.
JAKARTA--MICOM:
Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa konversi atau alih fungsi
lahan pertanian mengganggu produksi beras.
Setiap tahun
tidak kurang dari 100 ribu hektare lahan pertanian yang mengalami alih fungsi.
Sebagian besar untuk membangun pemukiman atau pabrik. Padahal, kemampuan mencetak
sawah saat ini baru 30 ribu hektare setiap tahun. Memang sekarang ini
ancamannya adalah konversi lahan.
Pada saat ini, rata-rata kebutuhan beras mencapai 2,7 juta ton setiap
bulannya. Adapun secara kumulatif kebutuhan dalam setahun sekitar 33 juta ton.
Di sisi lain, tingkat produksi beras rata-rata mencapai 38 juta ton per
tahun. Tetapi produksi itu belum memadai memenuhi kebutuhan beras setiap
bulannya. Sebab hanya selisih 5 juta ton saja dengan tingkat kebutuhan atau
rata-rata hanya cukup untuk kurang dari 2 bulan saja.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas. Selain itu,
pemerintah juga akan menggalakkan kampanye mengurangi konsumsi beras. Sebab,
masih banyak sumber karbohidrat selain beras, ditargetkan sekitar 1,5%
pengurangan konsumsi beras per tahun.
Infrastruktur untuk meningkatkan produksi beras juga terus
diprioritaskan. Mulai tahun depan akan dibangun 5.200 embung atau penahan air
di seluruh Indonesia. Oleh karena itu kalau membangun bendungan jelas
memerlukan biaya cukup besar dan dalam waktu dekat tidak mungkin.
Mentan: Awasi Izin Konversi Lahan. (REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA)
Menteri Pertanian, menghimbau kepada seluruh pihak untuk mengawasi pemberian izin konversi lahan yang dilakukan bupati atau walikota. Banyaknya incumbent bupati atau wali kota yang maju kembali dalam pencalonan pemilihan kepala daerah, ditenggarai turut memicu mudahnya pemberian izin konversi lahan, khususnya lahan pertanian produktif.
Selama ini laju alih fungsi lahan pertanian sudah sangat mengkhawatirkan dengan angka mencapai 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan paling parah terjadi di Pulau Jawa. Umumnya, lahan-lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, pertokoan modern, dan wahana rekreasi.
Dengan fakta seperti ini, salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai target swasembada sejumlah komoditas pangan adalah pembukaan lahan baru. Untuk tanaman pangan seperti padi, pembukaan sawah-sawah baru harus dapat dilakukan dengan cepat. Setiap pengurangan lahan pertanian banyak akan berpengaruh pada produktivitas tanaman pangan. Padahal produktivitas harus dapat ditingkatkan untuk swasembada pangan.
Untuk mengejar peningkatan lahan-lahan pertanian baru, pemerintah menargetkan ada penambahan lahan sampai 50 ribu hektare setiap tahunnya. Anggaran untuk pembukaan lahan sawah tahun ini hanya cukup untuk kapasitas 30 ribu hektare sawah. Tahun depan anggarannya harus tersedia di atas 50 ribu hektare. Kalau tidak produktivitas pangan dikhawatiekan akan terancam.
Selain mengandalkan anggaran negara, saat ini pemerintah juga memfokuskan diri pada keterlibatan peran swasta untuk pembukaan lahan baru. Melalui program usaha pertanian skala luas (food estate), diharapkan defisit lahan akan teratasi dan produktivitas juga meningkat. Potensi lahan yang idle masih sangat luas. Lahan seperti ini dapat dimanfaatkan investor untuk berperan dalam usaha pertanian industrial.
Moratorium hutan antara pemerintah dan Norwegia yang membatasi adanya alih fungsi hutan untuk penggunaan lain, tak perlu dikhawatirkan terlalu jauh. Moratorium, hanya membatasi alih fungsi hutan alam primer dan lahan gambut. Sementara lahan idle tidak termasuk dalam hutan alam primer dan lahan gambut.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pemerintah tidak akan memberikan izin pembukaan lahan baru untuk usaha perkebunan sawit. Pada saat ini luas areal tanam sawit yang mencapai 7,9 juta hektare sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sawit, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
JAKARTA —
Indonesia diklaim kehilangan areal persawahan sebesar 80.000 ha-100.000
ha/tahun akibat kemampuan cetak lahan yang dilakukan pemerintah tidak
mampu mengimbangi konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian.
“Setiap kita bangun tidur, 220
ha sawah hilang. Padahal kita masih belum bisa lepas dari nasi. Ini
disebabkan keberpihakan makro ke sektor pertanian kurang, fragmentasi
lahan dan lemahnya penegakan hukum,” kata Direktur Pengelolaan Air Irigasi
Ditjen Sarana dan Prasarana Kementan Tunggul Iman Panudju, Rabu (16/4/2014).
Kementerian Pertanian mencatat
sampai tahun lalu Indonesia memiliki sawah seluas 8,13 juta ha, pertanian
lahan kering 18,58 juta ha dan perkebunan 18,93 juta ha, yang berpotensi
terus berkurang karena konversi menjadi perumahan atau perkebunan
(nonsawah).
Di luar Jawa, sekitar 48,6%
sawah yang dikonversi berubah menjadi perkebunan, sementara pola yang
terjadi di Jawa sebagian besar konversi menjadi perumahan, yaitu sebesar
58,7%.Dia mengatakan bahwa hal ini makin diperparah dengan kualitas
sawah yang baru dicetak itu hanya 1/3 dari kualitas sawah yang sudah
ada, serta tidak adanya kepastian rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Dari total 491 Pemda, ada 347
RTRW yang sudah ditetapkan, tapi hanya 160 perda yang menetapkan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Ini ancaman serius terhadap sawah,
yang anehnya by law, by design. Sampai saat ini masih
tersisa 4,7 juta ha sawah untuk pangan,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta kepada
pemerintah kabupaten/kota yang belum menuntaskan Peraturan Daerah RTRW
agar segera membuat terlebih dahulu Peraturan Bupati atau Wali Kota, untuk
mempertahankan lahan sawah.(bisnis.com)
BAB III
KESIMPULAN
Kebanyakan sawah-sawah yang di miliki petani di beberapa tempat di
indonesia selain terjadi karena masalah intrapersonal masing-masing pemilik lahan
sawah juga adalah karena kebijakan pemerintahan baik dalam kelompok pemerintah
Kabupaten maupun Kota yang di terapkan kurang mendukung dan memperhatikan
lahan-lahan pertanian, malah lebih memilih perluasan wilayah yang diisi oleh
sektor pabrik, pertokoan, kantor-kantor, depot pertamina ataupun lahan-lahan
industri lainnya. Hal ini menyebabkan lahan persawahan yang menyempit dan nasib
petani pun menjadi terancam, hilangnya budaya petani. Sebagian besar sawah
telah beralih penggunaan.
Hilangnya lahan-lahan sawah tersebut berakibat pada hilangnya produksi
padi sawah di daerah tersebut, hilangnya pendapatan petani pemilik sawah,
penyewa, pemaro dan buruh tani, hilangnya budaya petani dalam berinteraksi
dengan lingkungannya dan hilangnya kawasan bagi penampungan air larian.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2003. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan
Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Peluang Indonesia untuk Mencukupi Kebutuhan Beras”
tanggal 2 Oktober 2003 di Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Departemen Pertaniab, Bogor.
BPS. 1991-2001. Neraca Bahan Makanan Indonesia. Badan
Pusat Statistik Jakarta.
____. 1989 - 2001. Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia
1997 – 2000. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1999 dan 2001. Pendapatan Domestik Regional Bruto
Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Badan Pusat Statistik.
Jakarta, Indonesia.
____. 1996. Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di
Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1999 dan 2001. Pendapatan Nasional Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1984, 1986, 1991, 1993,
dan 1997. Pendapatan Nasional Indonesia. Biro Pusat
Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1985, 1986, 1989, dan
1992. Pendapatan Regional
Provinsi-Provinsi di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 2001. Penduduk
Indonesia, Hasil Sensus Penduduk Tahun
2000 Seri: L2.2. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1991. Penduduk
Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 1990.
Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
____. 1978 – 2000. Survei Pertanian: Luas Lahan Menurut
Penggunaannya di Indonesia. Badan Pusat
Statistik. Jakarta, Indonesia.
Irawan, B., A. Purwoto, C.
Saleh, A. Supriatna, dan N.A. Kirom. 2000. Pengembangan
Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Irawan, B. dan S. Friyatno.
2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa
Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal
Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA:
Vol.2 No.2 : 79 – 95. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non
Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 19 Nomor 1:45-63. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
_______. 2000. Beberapa
Permasalahan dalam Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia. Forum Agro
Ekonomi. Volume 18. No. 1 dan 2.: 16 – 24. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Bogor.
Nasoetion, L. dan J.
Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan
Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam
Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:
Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Hasil Kerja
sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
Rusastra, I W. dan G.S.
Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan
Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Julnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Volume XVI, Nomor 4 : 107 – 113. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Rusatra, I.W., G.S. Budhi, S.
Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan:
Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Laporan Hasil Penelitian. . Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Bogor.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Sumaryanto, Hermanto, dan E.
Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi
Lahan Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani.
Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 - 112. Hasil
Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
Bogor.
Syafa’at, N., W. Sudana, N.
Ilham, H. Supriyadi dan R. Hendayana. 2001. Kajian
Penyebab Penurunan Produksi
Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian: Analisis Kebijaksanaan
Pembangunan Pertanian Respon terhadap Issu Aktual. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian Pertanian, Departemen
Pertanian. Bogor.
Syafa’at, N., H.P. Saliem dan
Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil
Penelitian “Profil Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Buku 1: 42
– 56. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Syam, A., M. Syukur, N. Ilham
dan Sumedi. 2000. Baseline Survey Program
Pemberdayaan Petani Untuk Mencapai Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Suwarno, P.S. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah
Penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 121 - 134. Hasil Kerja sama Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
Syaukat, Y. 2003. Ekonomi Sumberdaya & Lingkungan
Lanjutan: Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 33 p.
Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan
Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya
Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 -
120. Hasil Kerja sama Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
Hidayat, Hamid. 1991. Masalah Struktur Agraria dan Kedudukan
Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul (Wilayah Daerah Aliran Sungai
Konto, Kabupaten Malang). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.
Hidayat , Kliwon. 1984. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja
Agraris di Desa Jatisari, Lumjang, Jawa Timur. Tesis. Program
Pasca Sarjana IPB.
Irawan, Bambang. 2005.
Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak,
Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Volume 23 No. 1, Juli 2005: 1-18.
Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan pertanian dan
Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus : Wilayah Pantai
Utara Jawa. Jurnal PWK Vol.8. No 1/Januari 1997.
Mahodo, Riptono Sri. 1991. Struktur Pemilikan Penguasaan Lahan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Lahan di Kabupaten Tangerang. Tesis. Program
Pasca Sajana. IPB.
Martua Sihaloho. 2004. Konversi Lahan pertanian dan Perubahan
Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan,
Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis. .Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Nasoetion, Lutfi Ibrahim. 2006. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan
Implementasinya. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional Disampaikan pada
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.
Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi
Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang pertanian
25(4) 2006.
Purtomo Somaji, Rafael.
1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan
Dampaknya terhadap Masyarakat petani di Jawa Timur. Tesis. Program
Pasca Sarjana IPB.
Sajogjo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi
Pembangunan. Jakarta : PT Esata Dinamika.
Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup
Agraria dalam Menuju keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan
Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Sitorus, MT. F. dan Gunawan
Wiradi. 1999. Sosiologi Agraria : Kumpulan Tulisan Terpilih. Bogor :
Labolatorium Sosio, antropologi, dan Kependudukan Faperta IPB.
Sitorus, M. T. Felix. 1998.
Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan.
Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor
Syahyuti..Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat
Pinggir Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan
palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tesis. Program
Pasca Sarjana IPB.
Utomo, Muhajir, Eddy Rifai,
Abdumuthalib Thahar. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan.
Universitas Lampung. Badar Lampung.
Wahyuni, Ekawati sri dan
Pudji Mulyono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diterbitkan di
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB.
Wiradi, G 1984: Pola
Penguasaan tanah dan reforma agraria dalam Dua Abad Penguasaan
Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, penyunting
Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi , PT Gramedia, Jakarta.
Perangkum
Prof Dr
Soemarno
PPSUB –
Nopember 2013
Sumber lain: http://theglobejournal.com/lingkungan/setiap--bangun-tidur-220-ha-sawah-di-indonesia-hilang/index.php
The Rundown of the New Slots & Casinos in 2021
ReplyDeleteLooking 밀양 출장마사지 for a new casino in 2019? Check out 동해 출장안마 our list of the hottest new slots 과천 출장마사지 & casinos 상주 출장안마 on the map! Best Casinos in 안양 출장안마 2019: Best For