Dampak
Positif dan Negatif Ekowisata Yang Ada di Daerah Pedesaan Bali Terhadap
Lingkungan Sekitar
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah ekoturisme
Disusun oleh
: Hana Hunafa Hidayat
Npm :140410100036
JURUSAN
BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2014
PENDAHULUAN
Kadang kala dalam pariwisata warga
lokal hanya menjadi penonton. seperti saluran irigasi di tutup untuk membangun
jalan,sawah harus dijual untuk membangun hotel dan pertanian pun harus mengalah
karena pengelolaan suatu pariwisata.
Empat desa di Bali telah tercatat
terpinggirkan oleh pariwisata kemudian membentuk kelompok bernama Jaringan
Ekowisata Desa (JED), selain untuk distribusi pemasaran hasil pertanian
masing-masing desa jaringan ini juga menjadi alternatif di antara mess tourism
Bali hingga akhirnya JED menjadi upaya
bagi Bali agar tidak terlalu banyak di ekspoitasi atas nama pariwisata, hingga
akhirnya JED menjadi solusi bagi
kegelisahan masyarakat Bali terhadap gemerlap pariwisata yang selama ini lebih
banyak ada di Bali selatan seperti Badung, Denpasar, dan Gianyar.
PEMBAHASAN
1.
Dampak
Positif Ekowisata Yang Ada di Pedesaan Bali Terhadap Lingkungan Sekitar
Empat desa itu, Tenganan, Pelaga, Sibetan, dan Ceningan dipertemukan
oleh Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemberdayaan
masyarakat lokal yang berkantor di Bali. Tujuannya agar masyarakat bisa berdaya
menggunakan sumber daya yang mereka miliki sendiri.
Pada tahun 2000, Wisnu memberikan pelatihan kemampuan pemetaan
(mapping) agar warga empat desa itu memiliki pengetahuan tentang sumber daya
desa masing-masing. Dari situ terlihat bahwa selain potensi wisata seperti
daerah lain di Bali, masing-masing desa juga punya potensi yang bisa lebih
didayagunakan. Tenganan punya padi. Ceningan punya rumput laut. Pelaga punya
kopi. Sibetan punya salak. Semua sumber daya itu bisa dioptimalkan untuk
menunjang pariwisata, penggerak utama roda ekonomi di Bali.
Setelah tahu potensi masing-masing, warga kemudian belajar tentang
ekowisata. Hal ini karena bagaimana pun Bali tidak bisa dilepaskan dari pariwisata.
Sekitar 80 persen roda ekonomi Bali digerakkan oleh sektor ini. Sektor lain
seperti pertanian kemudian berperan sebagai pendukung penggerak utama. Misalnya
menyuplai sayur, beras, dan semacamnya ke hotel dan restoran di lokasi utama
pariwisata Bali.
Tapi kali ini warga tidak hanya belajar tentang bagaimana menyuplai
sumber daya ke pusat-pusat pariwisata. Petani di empat desa itu belajar tentang
bagaimana mengelola sumber daya mereka sendiri tanpa harus tergantung pihak
lain. Maka, tidak hanya belajar soal memproduksi komoditi unggulan seperti
salak, kopi, padi, dan rumput laut, mereka juga membuat jalur distribusi
sendiri dari hasil pertanian tersebut.
Desa Tenganan Kecamatan Manggis
Kabupaten Karangasem sejak tahun 1930an sudah jadi salah satu tujuan wisata di
Bali. Desa di Bali bagian timur ini memiliki kekayaan budaya berupa tradisi
yang tidak ditemukan di daerah lain di Bali. Misalnya arsitektur wilayah,
pakaian tenun khas, dan seterusnya
2.
Dampak
Negatif Ekowisata Yang Ada di Pedesaan Bali Terhadap Lingkungan Sekitar
Desa Tenganan Kecamatan Manggis adalah public space, maka setiap orang
dapat ke sana, termasuk turis-turis asing yang dibawa oleh travel agent.
Istilahnya mass tourism. Sayangnya banyaknya turis yang berkunjung ini tidak
begitu berpengaruh pada warga setempat, terutama dari sisi ekonomi.
Penduduk Tenganan yang sebagian besar adalah petani tahu bahwa tiap
tamu asing yang datang ke Tenganan membayar sampai US $ 100 (sekitar Rp 1 juta)
ke pihak travel agent. Namun uang yang masuk ke desa tidak lebih dari Rp 10 000
sampai Rp 20 000 per orang. Ini praktik yang sangat tidak fair.
Sampai akhirnya, penduduk setempat tidak tahan lagi ketika suatu hari
serombongan turis asing dan pemandunya meninggalkan bekas makanannya begitu
saja di pelataran pura desa dalam kondisi berantakan. Penduduk mulai berpikir
untuk mengubah kondisi itu dengan cara terlibat langsung dalam pariwisata.
Selain untuk mendapat porsi sewajarnya, atau bahkan mendapatkan langsung dari
turis, juga agar penduduk setempat bisa menjaga dan mengelola lingkungan mereka
sendiri.
Masalah yang berbeda terjadi di tiga desa lain. Petani kopi di Desa
Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung seringkali iri dengan keberhasilan
pariwisata di Badung bagian Selatan. Penduduk setempat merasa gemerlap
pariwisata hanya bisa dinikmati oleh warga Kuta, Nusa Dua, dan Denpasar.
Pemerintah Kabupaten Badung sudah berusaha mengurangi kesenjangan ini dengan
membuat proyek agrowisata di Badung Utara seperti Pelaga dan sekitarnya. Namun
proyek ini tidak banyak melibatkan warga setempat. Akhirnya, warga setempat pun
hanya jadi obyek. Agrowisata itu tidak berjalan sesuai rencana.
Petani salak di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem
pun tidak jauh berbeda dengan petani kopi di Pelaga. Mereka semua menghadapi
masalah yang sama: ingin mendapat tempat di antara gemerlap pariwisata.
Dari tiga desa tersebut, pengalaman Desa Nusa Ceningan mungkin paling
mengenaskan. Pulau kecil di Bali bagian tenggara akan dijadikan kawasan wisata
terpadu seperti Nusa Dua yang dikelola Bali Tourism Development Centre (BTDC).
Proyek pada tahun 1999 ini memaksa warga setempat untuk menjual tanah mereka.
Masyarakat pun menolak karena tidak mau pindah dari tempat di mana sebagian
besar dari mereka bertani rumput laut.
SARAN PENULIS
kurangnya
pengalaman dalam menejemen dan terbatasnya sumber daya manusia dalam mengelola
distribusi barang membuat program ini mandeg. Seharusnya JED memutuskan untuk
fokus mengelola ekowisata disamping mengelola kegiatan lain seperti unit simpan
pinjam dan serba usaha dimasing – masing desa. Tahun ini pendistribuasian
barang dan lembaga non bank digagas kembali dengan menyiapkan SDM yang memadai
dan diperkirakan tahun depan sudah akan beroperasi.
No comments:
Post a Comment