Saturday, October 24, 2015

KAJIAN KOMUNITAS BIOLOGI UNPAD SUMEDANG

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN
KAJIAN KOMUNITAS
Disusun oleh :
Kelompok 6
Adhy Widya Setiawan
140410100014
Fitriyani
140410100017
Ricky Rinaldi
140410100018
Pinandita Mufqi Rinaldi
140410100022
Nunung Nurhafifah
140410100028
Amalia Fildzah Tamimi
140410100039
Maulidiyah Utami
140410100041
Ismi Istiqomah Ruhyati
140410100051
Eva Zulmayeni
140410100085
Hana Hunafa Hidayat
140410100036
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain disebut dengan komunitas. Setiap komunitas tidak harus menempati daerah yang luas, artinya komunitas tidak terbatas pada ukuran daerahnya. Apabila suatu komunitas sudah terbentuk, maka populasi-populasi yang ada haruslah hidup berdampingan atau bertetangga satu sama lainnya. Di alam terdapat berbagai macam komunitas. Komunitas ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni komunitas akuatik (laut, sungai, danau dan kolam) dan komunitas terestrial (hutan, padang rumput, padang pasir, dan lain-lain).
Ciri, sifat, dan kemampuan dalam komunitas lebih tinggi dari populasi, seperti contohnya dalam hal interaksi. Dalam komunitas dapat terjadi interaksi antar populasi, tidak hanya antar individu atau antar spesies seperti pada populasi. Hubungan antar populasi ini menggambarkan berbagai keadaan yang dapat saling menguntungkan, sehingga terwujud suatu hubungan timbal balik yang positif bagi kedua belah pihak (mutualisme). Begitupun sebaliknya, dapat juga terjadi hubungan yang merugikan salah satu pihak (parasitisme).
Pemberian nama pada suatu komunitas di suatu kawasan dapat dilihat dari ciri atau sifat yang jelas, seperti kondisi biotik dan fisik kawasan tersebut. Data biotik dapat mencakup komposisi jenis tumbuhan atau tanaman yang mendominasi serta tipe vegetasi yang menyusunnya. Sedangkan data fisik lingkungan atau kawasan tersebut dapat berupa ketinggian, intensitas cahaya, pH tanah, kelembaban, dan suhu lingkungan. Pengumpulan data-data tersebut akan mempermudah kita dalam menentukan tipe komunitas di lapangan atau suatu lokasi penelitian. 1.2 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana cara menentukan tipe komunitas pada suatu lokasi penelitian?
2. Apa pengaruh dari komponen biotik dan abiotik dalam menentukan suatu komunitas?
2
1.3 Maksud, Tujuan, Kegunaan
Adapun maksud dan tujuan dari praktikum kajian komunitas adalah dapat mengetahui dan memberikan gambaran keadaan secara umum dari suatu komunitas yang dikaji, yakni komunitas lapangan merah, dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen biotiknya seperti jenis tumbuhan dan hewan yang dominan di komunitas tersebut dan komponen abiotiknya seperti intensitas cahaya, kelembaban udara, ketinggian tempat, dan pH tanah. Sedangkan kegunaan praktikum kajian komunitas ini adalah agar praktikan dapat mendeskripsikan keadaan sekitar suatu lokasi penelitian, yakni komunitas lapangan merah secara detail dan terperinci.
1.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam praktikum kajian komunitas ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data, yakni pengumpulan data biotik dan data abiotik atau fisik. Teknik pengumpulan data biotik mencakup komposisi jenis tumbuhan beserta tipe vegetasi yang menyusunnya. Teknik ini di lakukan dengan menelusuri jalur transek bayangan dengan setiap interval 5 meter dilakukan pencatatan jenis tumbuhan yang terdapat dalam radius 5 meter.
Adapun parameter yang dikumpulkan mencakup : Daftar nama tumbuhan, deskripsi dan penampakan vegetasi, mendeskripsikan tipe komunitas menggunakan nama spesies dominan, stratifikasi atau menunjukan lapisan-lapisan tumbuhan secara jelas, penutupan dan dispersi atau penyebaran.Sedangkan teknik pengumpulan data abiotik atau fisik dilakukan dengan pengukuran informasi dan kondisi iklim saja. Informasi iklim seperti mengukur ketinggian wilayah komunitas lapangan merah yang dilakukan dengan altimeter sebanyak satu kali di tengah plot, sedangkan pengukuran kondisi iklim seperti intensitas cahaya, temperatur dan kelembaban udara, pH tanah di lakukan di lokasi pengamatan dengan alat ukur tertentu.
Pengukuran pH tanah diukur dengan soiltester sebanyak satu kali, intensitas cahaya tiap plot diukur dengan menggunakan luxmeter sebanyak satu sampai dua kali di lokasi pengamatan. Pengukuran suhu dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan swing hygrometer selama 5 menit dan sebanyak satu kali pengukuran di lokasi pengamatan.
3
1.5 Waktu dan Lokasi Pengamatan
Waktu Pengamatan kajian komunitas ini dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2012 dari pukul 06.00-selesai. Lokasi pengamatan kajian komunitas ini di lakukan di kawasan Lapangan Merah Universitas Padjadjaran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas tumbuhan adalah unit-unit alami vegetasi dan merupakan benda nyata yang tampak dari pembicaraan sehari-hari seperti hutan, padang rumput , dan rawa (Loveless,1989).
Suatu komunitas tumbuhan dapat ditentukan dengan jelas dan dipisahkan satu dari lainnya apabila habitatnya memperlihatkan perubahan komunitas yang mendadak tajam namun batas- batas yang relatif tajam ini dapat juga terjadi karena adanya interaksi diantara komunitas tumbuhan itu sendiri. Namun demikian, seringkali perubahan tersebut terjadi secara berangsur-angsur sehingga suatu komunitas tumbuhan terlihat berbaur satu sama lain dan tidak terdapat batas yang tajam atau jelas (Resosoedarmo dkk,1985).
Vegetasi diartikan sebagai suatu penutupan massa tumbuhan pada suatu daerah tertentu dengan luas yang bervariasi; dapat berupa sejumlah pepohonan, semak, dan herba(rerumputan) yang secara bersama-sama menutupi suatu wilayah yang luas. Vegetasi yang terbentuk merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen, baik antara sesama tumbuhan maupun antara tumbuhan dengan habitatnya yang dipengaruhi oleh keberadaan faktor lingkungan seperti iklim, topografi, tanah dan organisme hidup (Syafei,1994).
Temperatur di daerah tropis memiliki kisaran yang tidak begitu ekstrim, pada umumnya berkisar antara 20-28˚C . Suhu yang tinggi disebabkan karena sudut jatuhnya cahaya hampir tegak, perubahan panjangnya hari dalam setahun relatif kecil, dan kapasitas panas yang terjadi di wilayah laut dan daratan. Kisaran suhu harian berubah-ubah hampir sebesar atau lebih besar daripada kisaran suhu sepanjang tahun. Di daerah tropika, suhu menurun mengikuti ketinggian, menurunnya temperatur berdasarkan ketinggian akan menyebabkan vegetasi terbagi ke dalam beberapa wilayah penyebaran dan spesiesnya pun berubah (Ewusie,1990).
Kelembaban atmosfer merupakan faktor lingkungan yang penting karena dapat menentukan ada atau tidaknya beberapa jenis tumbuhan dan hewan tertentu dalam suatu daerah. Kelembaban atmosfer ini akan meningkat ataupun menurun sejalan dengan berubahnya ketinggian suatu wilayah, seperti dari pantai ke daerah pedalaman di
5
pegunungan atau sebaliknya. Kelembaban yang tinggi terlihat dari keadaan permukaan tanah yang basah dan berjamurnya kayu lapuk di dalam hutan (Ewuise, 1990).
Cahaya merupakan faktor pembatas dan jumlah cahaya yang menembus melalui kanopi hutan akan tampak membentuk lapisan atau tingkatan yang terbentuk oleh pepohonannya. Keadaan ini mencerminkan kebutuhan tumbuhan akan jumlah penerimaan cahaya yang berbeda-beda di dalam hutan. Sebagai contoh, semaian pohon di hutan yang sangat memerlukan cahaya akan terhambat pertumbuhannya apabila jatuhnya cahaya matahari terhalang tajuk pepohonan di atasnya. Sebaliknya apabila terdapat celah dalam tajuk hutan maka pertumbuhannya akan berubah menjadi lebih cepat(Ewusie,1990).
Kandungan hara mikro seperti boron, tembaga, mangan, dan besi secara umum meningkat seiring dengan meningkatnya keasaman tanah (pH lebih rendah). Pada tanah dimana cadangan hara ini rendah, reduksi nyata pada keasaman tanah akan menghasilkan defisiensi satu atau lebih elemen esensial ini.Sebagai contoh, defisiensi cepat dari besi dan boron telah ditandai pada area lokal dari tegakan muda pinus slash di bagian tenggara pesisir Amerika. Pergerakan angin dan air dari partikel batuan kapur atas jalan raya hutan ditemukan penurunan keasaman dari tanah berpasir menyebabkan pohon mengalami defisiensi hara mikro pada 10-20m dari jalan raya. Gejala defisiensi secara umum menghilang bersamaan dengan terbangunnya system perakaran menembus tanah asam (Pritchett, 1979).
Menurut (Hardjowigeno, 1995), pentingnya pH tanah terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut:
a. Menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman,umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Al, sedang pada pH alkalis unsur P difiksasi oleh Ca.
b. Menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun. Pada tanah masam banyak ditemukan ion-ion Al di dalam tanah, disamping memfiksasi unsur P juga merupakan racun bagi akar tanaman. Disamping itu pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro merupakan hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sangat kecil, sehingga menjadi racun kalau dalam jumlah besar.
6
c. Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Bakteri, jamur yang bermanfaat bagi tanah dan tanaman akan berkembang baik pada Ph > 5,5 apabila pH tanah terlalu rendah maka akan terhambat aktivitasnya.
7
BAB III
Metodologi
3.1 Metodologi Umum
Dilakukan dua metode pada praktikum ini, yakni metode jelajah atau observasi dan studi literatur. Metode jelajah adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung dengan mengeksplorasi lapangan atau wilayah yang telah ditentukan. Dengan metode jelajah seseorang akan berinteraksi dengan fakta yang ada di lapangan sehingga dapat mengkaji serta melihat secara langsung komponen yang ada di lokasi pengamatan tersebut, baik itu tumbuhan ataupun hewan.
Adapun metode yang kedua, yakni metode studi literatur dilakukan ketika data dari lapangan (hasil pengamatan dengan metode jelajah) telah selesai diambil, kemudian dengan data yang telah tersedia itu barulah kita membandingkan dengan referensi yang telah ada sebelumnya sehingga didapat data hasil pengamatan yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

3.2 Alat dan Bahan
ALAT/BAHAN
FUNGSI/KEGUNAAN
Kompas bidik
Menenentukan koordinat lokasi yang akan diamati
Soil tester
Mengukur kelembaban tanah/PH tanah
Termometer
Mengukur suhu udara di lokasi pengamatan
Lux meter
Mengukur intensitas cahaya
Buku identifikasi tumbuhan
Mengidentifikasi jenis tumbuhan yang ditemukan
Alat tulis
Mencatat data yang dikumpulkan
8
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada praktikum kali ini dilakukan dengan cara non survei dan dengan cara survei. Teknik non survei adalah menentukan terlebih dahulu lokasi atau kawasan yang akan diidentifikasi biodiversitinya. Sedangkan teknik survei yaitu pengumpulan data sekunder kawasan yang telah ditentukan, termasuk didalamnya data fisik dan data biotik serta abiotiknya.
Ketika lokasi pengamatan ditentukan, yang selanjutnya dilakukan adalah menetapkan jalur transek yang terlihat representatif atau mewakili secara keseluruhan komponen yang ada pada lokasi tersebut. Setelah itu lokasi pengamatan dideskripsikan dengan mencatat keadaan lingkungan di sekitar lokasi, keadaan tanah, intensitas cahaya, temperatur, ketinggian, tanggal pengamatan berikut waktu pengamatannya.
Dalam praktikum kajian komunitas ini, pengamatan dilakukan di lapangan merah Universitas Padjajaran. Total transek yang dibuat yaitu sepanjang 20m dengan jarak tiap transek sepanjang 5m. Dan pada jalur transek itulah dilakukan pengamatan secara detail mengenai apa-apa saja yang ada pada komunitas tersebut baik komponen abiotik ataupun abiotiknya. Tumbuhan dan hewan yang ditemukan pada lokasi pengamatan dicatat di buku catatan untuk kemudian dihitung dan diidentifikasi tiap-tiap jenisnya.
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Sampling yang dilakukan pada kajian komunitas ini merupakan pembuatan plot bayangan hanya untuk mengetahui data kehadiran vegetasi yang dilihat dari struktur dan komposisi yang ada pada daerah tersebut serta dilihat jenis yang mendominasi. Setelah pengamatan selesai dan hasil pengamatan kajian komunitas telah didapat, plot yang telah kita buat bisa dihilangkan kembali.
3.3.2 Prosedur Cara Pengumpulan Data
1. Melakukan sampling pada area yang akan diamati, dengan menggunakan transek bayangan yang telah ditetapkan dengan ukuran 5x5 m secara random.
2. Melakuakan pengambilan data fisik, meliputi : pH tanah, ketinggian, suhu, kelembaban,dan intensitas cahaya.
3. Menyensus semua data biotik dalam transek, dan menentukan jumlah dari masing-masing data biotik tersebut, sehingga didapat data biotik yang mendominasi wilayah plot dan mengkategorikan stratifikasi tiap tumbuhan.
4. Menentukan tipe penutupan dan penyebaran tumbuhan.
9
3.4 Analisis Data
Setelah melakukan sensus terhadap tumbuhan dan hewan yang berada dalam plot, dilakukan pembuatan tabel dan penentuan jumlah dalam skala dan kategori dominansi jenis pada area plot tersebut. Dengan data yang dikumpulkan,tipe komunitas lokasi amatan ditentukan. Luas plot yang diambil tidak terlalu besar, tetapi dapat mewakili vegetasi wilayah tersebut. Data fisik yang didapat di antaranya : ketinggian tempat 600 mdpl, pH tanah 6,9, intensitas cahaya 388 x 102 lux, dan suhu udara kering 25° C serta suhu udara basah 19° C.
10
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
Praktikum kajian komunitas yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui deskripsi umum suatu komunitas melalui identifikasi komponen-komponen biotik dan abiotik pada lokasi pengamatan. Komunitas adalah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu, yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Pada praktikum kajian komunitas, kami mengamati tipe komunitas yang berada di lapangan merah kampus Universitas Padjadjaran . Hal yang pertama yang dilakukan dalam pengamatan kajian komunitas di lapangan merah adalah membuat plot bayangan dengan ukuran 20 m, diambil jarak tiap plot sepanjang 5 m untuk menyensus komponen biotik seperti tumbuhan dan hewan yang ada di plot tersebut. Jarak 5 m diambil karena ukuran tersebut dianggap bisa mewakili vegetasi yang berada disekitar lapangan merah. Komponen abiotik yang diamati dengan menggunakan alat-alat ukur khusus di antaranya : intensitas cahaya , pH tanah , kelembaban dan ketinggian.
Adapun hasil yang pengamatan yang dilakukan disajikan dalam tabel sebagai berikut :




 Dari data yang tersebut dapat diketahui bahwa komponen biotik berupa tumbuhan seperti Mimosa invisa , Famili Papilionaceae dan famili Amaranthaceae memiliki skala 1-5 artinya kedua famili ini terlihat jarang (sedikit ) jumlahnya di lapangan merah yang kami amati. Untuk famili Verbenaceae , Tridax procumbens, Richardia brasilensis , Achyranthes aspera dan Eleusin indica memilki skala 5-10 artinya penyebarannya sedang di daerah tersebut. Skala Brachiaria sp. mendominasi tumbuhan yang lainnya dengan skala >10 karena penutupan dari Brachiaria sp.meliputi 50% dari luas area dengan stratifikasi coverage , tumbuhan dominan lainnya yaitu Mimosa pudica dengan penutupan 5-25% dari luas area (sedang jarang ) yang berarti penyebarannya tersebar secara luas.
Dari pengamatan komponen biotik hewan dapat diketahui bahwa semut , rayap dan belalang mempunyai jumlah skala >10 yang menandakan bahwa hewan tersebut banyak sekali ditemukan di lapangan merah dan mendominasi tempat tersebut , berbeda sekali dengan kupu-kupu, burung walet sapi , burung alap-alap , capung dan lebah yang mempunyai skala 1-5 yang berarti jumlahnya sedikit (masih bisa dihitung ) .
Dari pengamatan komponen abiotik dapat diketahui bahwa kondisi tanah yang kami amati bersifat asam karena mempunya pH 6.9 yang diukur dengan soilmeter , intensitas cahaya 38800 lux yang diukur dengan lux (light) meter , kelembaban udara kering 250 C
13
dan kelembaban basah 190 C yang diukur dengan higrobarometer , sedangkan ketinggian lokasi amatan yang dikur dengan altimeter adalah 600mdpl .
Menurut Fanindi (2011), Brachiaria sp. merupakan rumput yang berumur panjang , tumbuh membentuk hamparan lebat , tinggi hamparan dapat mencapai 30-45 cm . Brachiaria sp. dapat ditemukan di sebagian besar Indonesia karena sesuai dengan iklim di Indonesia yang tropis dan toleran terhadap berbagai jenis tanah, termasuk tanah asam. Dari literatur tersebut jika dibandingkan dengan data yang didapatkan menunjukkan Brachiaria sp. merupakan tanaman yang toleran terhadap berbagai jenis tanah termasuk tanah asam menjadi alasan spesies ini mendominasi hampir 50% di hamparan lokasi pengamatan. Semut, belalang dan rayap banyak terdapat di tempat pengamatan dan mendominasi tempat tersebut karena hewan-hewan tersebut memakan Brachiaria sp. dan semut menjadikan tanah kering yang berada disekitar pengamatan tersebut untuk tempat tinggalnya . Haris (2010) menyatakan bahwa sarang semut paling banyak di temukan di padang rumput dan jarang ditemukan di hutan tropis dataran rendah namun lebih banyak ditemukan di hutan dan daerah dengan ketinggian + 600 mdpl.
Komponen biotik dan abiotik menjadi ciri khas suatu komunitas, umumnya spesies yang paling mendominasi, baik spesis tumbuhan dan hewan didukung dengan kondisi lingkungan yang menjadi faktor abiotiknya menjadi kunci dalam penentian tipe komunitas, melalui pengamatan yang dilakukan dan membandingkan dengan literatur yang ada, tipe komunitas yang kami amati adalah komunitas lapangan, di mana ciri khasnya adalah spesies Branchiaria sp. yang mendominasi dan tingkat penutupan lahan (vegetasinya) tinggi, atau dengan kata lain Branchiaria sp. menjadi landasan stratifikasi coverage (penutupan) pada komunitas lapangan merah UNPAD karena memiliki skala jumlah >10 (banyak, tidak terhitung) karena penutupan dari Brachiaria sp.meliputi 50% dari luas area amatan. Begitu pula semut yang terhitung banyak dan faktor fisik lingkungan yang mendukung, dapat menjadikan semut sebagai spesies ciri komunitas lapangan, dikarenakan habitat umumnya di ketinggian dataran rendah 600 mdpl.
14
BAB V
Kesimpulan
1. Penentuan tipe komunitas suatu lokasi penelitian dapat ditentukan dari komponen biotik dan abiotik yang menyusun komunitas tersebut. 2. Komponen biotik dan abiotik memberi pengaruh dalam penentuan tipe komunitas karena interaksi keduanya. Pengaruh komponen biotik dilihat dari penyebaran (dispersi ) spesies dominan yang menyusunnya. Spesies dominan ini dilihat dari skala penyebarannya dalam suatu komunitas. Didukung dengan kondisi fisik lingkungan sebagai penyokong kehidupan spesies-spesies yang ada dalam suatu komunitas. Contohnya pada lokasi amatan, komponen biotik yakni Brachiaria sp. yang mendominasi area amatan, dikatakan sebagai landasan stratifikasi coverage (penutupan) pada komunitas lapangan merah Unpad, karena memiliki skala kategori jumlah >10 dan tampak menutupi 50% dari luas area, dan semut sebagai komponen biotik berupa hewan yang juga mendominasi jumlahnya di lokasi amatan, keduanya didukung faktor fisik lingkungan (abiotik) yakni ketinggian 600 mdpl, tanah yang kering serta asam, yakni pH tanah 6.9 , menjadi penentu tipe komunitas lokasi pengamatan. Karena interaksi kedua komponen biotik dan abiotik yang mendominasi ini, tipe komunitas yang kami amati adalah komunitas lapangan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ewusie, J. Yanney. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung : Penerbit ITB.
Fanindi, A dan Prawiradiputra, B. 2011. Karakteristisasi dan Pemanfaatan Rumput Branchiaria sp. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Haris. 2010.Habitat Semut.http://haris1aja.wordpress.com/2010/04/01/habitat-semut/ . Diakses tanggal 13 oktober 2012
Loveless, M. D. 1989. The genetic structure of tropical tree populations: Associations with reproductive biology. pp 131-146 In Bock, J. H. and Y. B. Linhart (eds.) Plant Evolutionary Ecology. Westview Press, Boulder Colo
Pritchett, W.L. 1979. Properties and Management of Forest Soils. New York, NY: John Wiley & Sons.
Resosoedarmo, Sujiran. R . 1985. Pengantar Ekologi. Bandung : Remaja Karya CV.
Syafei, E.S. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: FMIPA ITB.



No comments:

Post a Comment