Saturday, October 24, 2015

Peran Ekosistem Mangrove



Peran Ekosistem Mangrove

A.           Peran Ekologis Mangrove
1.             Mangrove dan tsunami.
Hasil penelitian Istiyanto (2003) yang melakukan pengujian model di laboratorium menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora sp.) dapat memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove terutama perakaran dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
2.             Mangrove dan sedimentasi.
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi. Selain itu juga dapat menahan lumpur dan penahan sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan.
3.             Mangrove dan siklus hara.
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan, dari beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa produksi serasah daun dan ranting pohon pada hutan mangrove menyumbangkan nilai unsur hara yang sangat berarti bagi flora dan fauna yang hidup di daerah mangrove maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove. Sebagian didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi bahan anorganik yang berperan dalam menyuburan perairan dan mangrove itu sendiri.
4.             Mangrove dan Instrusi air laut.
Mangrove juga mampu menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) mengatakan bahwa air sumur pada jarah 1 km dari mangrove kondisi baik tergolong baik, sedangkan pada mangrove yang buruk, kondisi air sumur sudah terintrusi.
B.            Peran Biologi Mangrove
1.             Mangrove dan keanekaragaman hayati.
Mengrove memiliki fungsi sebagai habitat berbagai jenis fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya; dan fauna terestrial seperti insekta, reptilia, amphibi, mamalia, dan burung.
2.             Mangrove dan kesehatan.
Rusminarto (1984) menyatakan bahwa nyamuk Anopheles sp. vektor penyakit malaria, populasinya meningkat seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam area mangrove. Berkaitan dengan polutan, Gunawan dan Anwar (2005) menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 ali lebih tinggi dari tambak yang bermangrove. Saat ini masih diteliti dimana kandungan merkuri yang diserap (pohon mangrove atau biota perairan).
3.             Mangrove dan kehidupan fauna.
Fauna akuatik dan fauna terestrial memanfaatkan hutan mangrove sebagai daerah asuhan, mencari makan, dan daerah pemijahan. Ekosistem mangrove berperan salam memberi energi bagi revitalisasi sumberdaya perikanan.
C.            Peran Ekonomi Mangrove
1.             Bahan baku arang
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Jenis Rhizophoraceae seperti  Rhizopora apiculata,  R. mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza (Higaki, 1980; Inoue et al., 1999)  merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet.
2.             Bahan baku chip
Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku  chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi  chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang.  Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua.  Harga  chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
3.             Bahan bangunan
Kayu mangrove seperti  R. apiculata, R. Mucronata, dan  B. Gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun.  Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,-  sampai Rp 9.000,-.  Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).
4.             Kayu bakar
Jenis Rhizophoraceae seperti  R. apiculata, R. Mucronata, dan  B. gymnorrhiza  merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al., 1999).
5.             Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan  Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis.  Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
6.             Nipah
Nipah  (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove.  Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue  et al., 1999).  Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang.  Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.
7.             Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional.  Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan.  Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan  Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999)
8.             Pertanian
Keberadaan hutan mangrove penting bagi  pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia  sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik.  Tempat di area hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam.  Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu mangrove yang mati.
Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp 68.000,-/kg).   Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).
9.             Perikanan
Sejumah spesies ikan, moluska dan crustacea menggunakan mangrove sebagai daerah asuhan (nursery ground).  Setidaknya ada 77 spesies finfish di bawah 60 divisi dari mangrove Samudera Hindia bagian Barat Pasifik Tengah (Jeyaseelan, 1998).
Di Mangrove Sundaran ada 120 spesies ikan ditangkap, hampir semuanya merupakan spesies di  air payau dan estuarin. Termasuk di dalamnya  ikan belanak ( Mugilidae sp.), kakap ( Lutjanidae sp.), bandeng (Chanos chanos), kakap merah (Lates calcarifer) dan Mujair  (Cichlidae sp.). Ikan yang paling menarik perhatian dan mungkin merupakan ikan endemik mangrove adalah ikan glodok (Periophthalmus sp.).
10.         Pariwisata
Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat),  dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya.  Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, H. dan C. Anwar. 2005.  Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan  Silvofishery.  Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor

Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari.  Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA.  Jakarta.

Istiyanto, D.C., S.K. Utomo, dan  Suranto. 2003. Pengaruh Rumpun Bakau terhadap Perambatan Tsunami di Pantai. Makalah pada Seminar Nasional “Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset” di Yogyakarta, 11 Maret 2003.

Mazda, Y. and E. Wolanski. 1997.  Drag Force Due to Vegetation in Mangrove Swamp. Mangrove and Salt Marches. Kluwer Academic Publisher, Netherland.

Mazda, Y. and  M. Magi. 1997. Mangrove Coastal Protection From Waves in the Tong King Delta, Vietnam.  Kluwer Academic Publisher, Netherland.

Rusminarto, S., A. Munif, dan B. Riyadi. 1984.  Survey Pendahuluan Fauna Nyamuk di Sekitar Hutan Mangrove Tanjung Karawang, Jawa Barat. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 232-234. LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit.  Bina Program Kehutanan, Jakarta.

Sukresno dan C. Anwar. 1999.  Kajian Intrusi Air Asin pada Kawasan Pantai Berlumpur di Patai Utara Jawa Tengah.  Bulletin Teknologi Pengelolaan DAS V (1) : 64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.







4. a. Faktor lingkungan (abiotik) yang mempengaruhi keberadaan Ekosistem Mangrove.
Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan, hutan mangrove mempunyai gradien  sifat lingkungan yang sangat ekstrim. Pasang-surut air laut menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Kondisi faktor abiotik lingkungan ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan zonasi pada hutan mangrove. Zonasi yang terjadi pada hutan mangrove ini sangat berkaitan erat dengan beberapa faktor lingkungan, antara lain adalah tipe tanah, keterbukaan areal mangrove dari hempasan ombak, salinitas dan pengaruh pasang-surut (Soerianegara, 1971; Chapman, 1976, Kartawinata & Waluyo, 1977).
1. Tipe Tanah.
            Pengaruh tipe tanah atau substrat tersebut, sangat jelas terlihat pada jenis Rhizophora, misalnya pada tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh dan didominasi oleh Rhizophora mucronata yang kadang-kadang tumbuh berdampingan dengan Avicennia marina, kemudian untuk Rhizophora stylosa lebih menyukai pada pantai yang memiliki tanah pasir atau pecahan terumbu karang, dan biasanya berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba. Sedangkan untuk jenis Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.
2. Kondisi kadar garam atau salinitas.
            Kondisi kadar garam atau salinitas pada substrat juga mempunyai pengaruh terhadap sebaran dan terjadinya zonasi. Berbagai macam jenis tumbuhan mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas tinggi, namun jenis Avicennia merupakan jenis yang mampu hidup bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat besar. MacNAE (1968) menyebutkan  bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas sangat rendah sampai 90%, sedangkan Sonneratia sp. umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, kecuali Sonneratia casiolaris (sekitar 10%). Jenis Bruguiera sp. biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar 25%, sedangkan jenis Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa mampu hidup pada salinitas yang relatif tinggi.


3. Pasang-surut Air Laut
Pasang-surut air laut juga mempunyai pengaruh terhadap jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah. Watson dalam Kartawinata ddk. (1979) memberikan gambaran tentang lima kelas genangan yang merupakan korelasi antara tingginya genangan air pasang dan lama genangan, dengan jenis tumbuhan mangrove.
Adapun klasifikasi kelas genangan tersebut adalah sebagai berikut:
Klasifikasi genangan
Deskripsi keberadaan mangrove
a. Kawasan pantai digenangi oleh setiap air pasang (all high tides).
Di tempat seperti ini jarang jenis mangrove yang mampu hidup, kecuali Rhizophora mucronata.
b. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tide).

Di tempat seperti ini yang muncul adalah jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp.
c. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tide).
Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove, yang    ditumbuhi    jenis    Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora.

d. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang
perbani (spring tides).
Di daerah ini jenis  tumbuh jenis Bruguiera sp., dan umumnya  adalah Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni, namun kadang-kadang pada areal yang baik drainasinya ditumbuhi oleh Bruguiera parviflora dan Bruguiera sexangula.

e. Kawasan pantai yang kadang-kadang  digenangi oleh pasang tertinggi (exceptional or equinoctial tides).
Di tempat ini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik, dan kadang berasosiasi dengan paku-pakuan Acrostichum sp.


            Ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut. Terdapat tiga syarat utama yang mendukung berkembangnya ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air payau, tenang dan endapan lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan air pasang di kawasan pantai tersebut (Waryono, 2000)
 Ketika lingkungan mengalami perubahan kondisi, hal ini dapat menyebabkan berbagai perubahan juga pada ekosistem mangrove. Sebagai contoh pada laporan penelitian yang dilakukan di Sub-Distrik Liquisa bulan Desember 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove dan pengaruh parameter lingkungan fisika-kimia terhadap struktur komunitas vegetasi mangrove di kawasan pesisir Tibar, Ulmera, dan Kaitehu daerah Bazartete District Liquisa, Timor-Leste. Tidak tersedianya air tawar dan salinitas yang tinggi mencapai kisaran 34 ppt serta ketersediaan unsur hara yang minim menyebabkan kerapatan mangrove yang jarang di stasiun Tibar. Oleh karena itu, perubahan faktor-faktor lingkungan habitat mangrove akan sangat mempengaruhi keberadaan tumbuhan mangrove, fauna yang berkembanbiak dan tinggal di kawasan mangrove. Jika kondisi atau faktor lingkungan ini terjaga dengan baik, maka ekosistem mangrove dapat terus ada dan stabil, sebaliknya jika faktor lingkungan ini terabaikan maka keberadaan ekosistem mangrove ini akan terancam.

Daftar Pustaka
Chapman, V. J. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer, Inder A. R. Gantner Verlag Kommanditgesellschaft, FL-9490 VADUZ, p. 447
Jesus, A. 2012. Kondisi ekosistim mangrove di Sub District Liquisa Timor-Leste. Jurnal Depik, 1 (3) : 136-143 Desember 2012. ISSN 2089-7790. Universitas Brawijaya
Kartawinata, K. and E. B. Waluyo 1977. A Preliminary Study of The Mangrove Forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mar. Res. Indon. 18:119-129.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Soerianegara, I. 1971. Characteristic of Mangrove Soil of Java. Rimba Indonesia 15:141-150.
Waryono, T. 2000. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove. Diskusi Panel Progam Studi Biologi Konservasi FMIPA-UI, Depok. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008.


No comments:

Post a Comment