Peran Ekosistem Mangrove
A.
Peran Ekologis Mangrove
1.
Mangrove dan tsunami.
Hasil
penelitian Istiyanto (2003) yang melakukan pengujian model di laboratorium
menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora
sp.) dapat memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut.
Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa
vegetasi mangrove terutama perakaran dapat meredam energi gelombang dengan cara
menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.
2.
Mangrove dan
sedimentasi.
Hutan
mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi
atau abrasi. Selain itu juga dapat menahan lumpur dan penahan sedimen yang
diangkut oleh aliran air permukaan.
3.
Mangrove dan siklus
hara.
Penelitian
tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan, dari beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa produksi serasah daun dan ranting pohon pada hutan mangrove
menyumbangkan nilai unsur hara yang sangat berarti bagi flora dan fauna yang
hidup di daerah mangrove maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam
ekosistem mangrove. Sebagian didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi bahan
anorganik yang berperan dalam menyuburan perairan dan mangrove itu sendiri.
4.
Mangrove dan Instrusi
air laut.
Mangrove
juga mampu menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian
Sukresno dan Anwar (1999) mengatakan bahwa air sumur pada jarah 1 km dari
mangrove kondisi baik tergolong baik, sedangkan pada mangrove yang buruk,
kondisi air sumur sudah terintrusi.
B.
Peran Biologi Mangrove
1.
Mangrove dan
keanekaragaman hayati.
Mengrove
memiliki fungsi sebagai habitat berbagai jenis fauna akuatik seperti ikan,
udang, kerang, dan lainnya; dan fauna terestrial seperti insekta, reptilia,
amphibi, mamalia, dan burung.
2.
Mangrove dan kesehatan.
Rusminarto
(1984) menyatakan bahwa nyamuk Anopheles sp. vektor penyakit malaria,
populasinya meningkat seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam area
mangrove. Berkaitan dengan polutan, Gunawan dan Anwar (2005) menemukan bahwa
tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih
tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 ali lebih tinggi dari tambak
yang bermangrove. Saat ini masih diteliti dimana kandungan merkuri yang diserap
(pohon mangrove atau biota perairan).
3.
Mangrove dan kehidupan
fauna.
Fauna
akuatik dan fauna terestrial memanfaatkan hutan mangrove sebagai daerah asuhan,
mencari makan, dan daerah pemijahan. Ekosistem mangrove berperan salam memberi
energi bagi revitalisasi sumberdaya perikanan.
C.
Peran Ekonomi Mangrove
1.
Bahan baku arang
Arang
mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang
onshyu dari Cina. Jenis Rhizophoraceae seperti
Rhizopora apiculata, R. mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza (Higaki, 1980; Inoue et al., 1999) merupakan kayu
bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet.
2.
Bahan baku chip
Jenis
Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku
chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi
chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke
Korea dan Jepang. Areal produksinya
tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga
chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
3.
Bahan bangunan
Kayu
mangrove seperti R. apiculata, R.
Mucronata, dan B. Gymnorrhiza sangat
cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya
lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun.
Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1
m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,-
sampai Rp 9.000,-. Kayu ini
diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).
4.
Kayu bakar
Jenis
Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R.
Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena
menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi
masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak
melambung tinggi (Inoue et al., 1999).
5.
Tanin
Tanin
merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak
kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis.
Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga
2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
6.
Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang
sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang
dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan
ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan
ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan
mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah
dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.
7.
Obat-obatan
Beberapa
jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk
menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai
antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan
untuk obat diabetes (Inoue et al.,
1999)
8.
Pertanian
Keberadaan
hutan mangrove penting bagi pertanian di
sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang,
dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga
dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas
baik. Tempat di area hutan mangrove yang
masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan
perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu mangrove yang mati.
Di
Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak
mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila
dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp
68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua
dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp
2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).
9.
Perikanan
Sejumah
spesies ikan, moluska dan crustacea menggunakan mangrove sebagai daerah asuhan
(nursery ground). Setidaknya ada 77
spesies finfish di bawah 60 divisi dari mangrove Samudera Hindia bagian Barat Pasifik
Tengah (Jeyaseelan, 1998).
Di
Mangrove Sundaran ada 120 spesies ikan ditangkap, hampir semuanya merupakan
spesies di air payau dan estuarin.
Termasuk di dalamnya ikan belanak ( Mugilidae sp.), kakap ( Lutjanidae sp.), bandeng (Chanos chanos), kakap merah (Lates calcarifer) dan Mujair (Cichlidae
sp.). Ikan yang paling menarik perhatian dan mungkin merupakan ikan endemik mangrove
adalah ikan glodok (Periophthalmus sp.).
10.
Pariwisata
Hutan
mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di
Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan
dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap
(Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek
wisata alam lainnya. Karakteristik
hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam
beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan
langsung dari alam.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
H. dan C. Anwar. 2005. Kajian
Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan
Silvofishery. Laporan Tahunan.
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor
Inoue,
Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model
Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.
Istiyanto,
D.C., S.K. Utomo, dan Suranto. 2003.
Pengaruh Rumpun Bakau terhadap Perambatan Tsunami di Pantai. Makalah pada
Seminar Nasional “Mengurangi Dampak Tsunami: Kemungkinan Penerapan Hasil Riset”
di Yogyakarta, 11 Maret 2003.
Mazda,
Y. and E. Wolanski. 1997. Drag Force Due
to Vegetation in Mangrove Swamp. Mangrove and Salt Marches. Kluwer Academic
Publisher, Netherland.
Mazda,
Y. and M. Magi. 1997. Mangrove Coastal
Protection From Waves in the Tong King Delta, Vietnam. Kluwer Academic Publisher, Netherland.
Rusminarto,
S., A. Munif, dan B. Riyadi. 1984.
Survey Pendahuluan Fauna Nyamuk di Sekitar Hutan Mangrove Tanjung
Karawang, Jawa Barat. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 232-234. LIPI,
Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
Sukresno
dan C. Anwar. 1999. Kajian Intrusi Air
Asin pada Kawasan Pantai Berlumpur di Patai Utara Jawa Tengah. Bulletin Teknologi Pengelolaan DAS V (1) :
64-72. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta, Solo.
4. a. Faktor lingkungan (abiotik) yang mempengaruhi
keberadaan Ekosistem Mangrove.
Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan,
hutan mangrove mempunyai gradien sifat
lingkungan yang sangat ekstrim. Pasang-surut air laut menyebabkan terjadinya perubahan
beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Kondisi faktor
abiotik lingkungan ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan
zonasi pada hutan mangrove. Zonasi yang terjadi pada hutan mangrove ini sangat
berkaitan erat dengan beberapa faktor lingkungan, antara lain adalah tipe
tanah, keterbukaan areal mangrove dari hempasan ombak, salinitas dan pengaruh
pasang-surut (Soerianegara, 1971; Chapman, 1976, Kartawinata & Waluyo,
1977).
1.
Tipe Tanah.
Pengaruh tipe tanah atau substrat
tersebut, sangat jelas terlihat pada jenis Rhizophora,
misalnya pada tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh dan didominasi
oleh Rhizophora mucronata yang
kadang-kadang tumbuh berdampingan dengan Avicennia
marina, kemudian untuk Rhizophora
stylosa lebih menyukai pada pantai yang memiliki tanah pasir atau pecahan
terumbu karang, dan biasanya berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba. Sedangkan untuk jenis Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.
2.
Kondisi kadar garam atau salinitas.
Kondisi kadar garam atau salinitas
pada substrat juga mempunyai pengaruh terhadap sebaran dan terjadinya zonasi.
Berbagai macam jenis tumbuhan mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas
tinggi, namun jenis Avicennia merupakan
jenis yang mampu hidup bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat
besar. MacNAE (1968) menyebutkan bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas
sangat rendah sampai 90%, sedangkan Sonneratia
sp. umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, kecuali Sonneratia casiolaris (sekitar 10%). Jenis Bruguiera sp. biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar 25%,
sedangkan jenis Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa mampu hidup pada
salinitas yang relatif tinggi.
3.
Pasang-surut Air Laut
Pasang-surut air laut juga mempunyai pengaruh terhadap
jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah. Watson dalam Kartawinata
ddk. (1979) memberikan gambaran tentang lima kelas genangan yang merupakan
korelasi antara tingginya genangan air pasang dan lama genangan, dengan jenis
tumbuhan mangrove.
Adapun klasifikasi kelas genangan tersebut adalah sebagai
berikut:
Klasifikasi genangan
|
Deskripsi keberadaan mangrove
|
a. Kawasan pantai digenangi
oleh setiap air pasang (all high tides).
|
Di tempat seperti ini jarang
jenis mangrove yang mampu hidup, kecuali Rhizophora
mucronata.
|
b. Kawasan pantai digenangi
oleh air pasang agak besar (medium high tide).
|
Di tempat seperti ini yang
muncul adalah jenis Avicennia sp.
dan Sonneratia sp.
|
c. Kawasan pantai digenangi oleh
air pasang rata-rata (normal high tide).
|
Tempat ini mencakup sebagian
besar hutan mangrove, yang ditumbuhi jenis
Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora.
|
d. Kawasan pantai digenangi
oleh air pasang
perbani (spring tides).
|
Di daerah ini jenis tumbuh jenis Bruguiera sp., dan umumnya adalah Bruguiera
cylindrica membentuk tegakan murni, namun kadang-kadang pada areal yang
baik drainasinya ditumbuhi oleh Bruguiera
parviflora dan Bruguiera sexangula.
|
e. Kawasan pantai yang
kadang-kadang digenangi oleh pasang
tertinggi (exceptional or equinoctial tides).
|
Di tempat ini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan
baik, dan kadang berasosiasi dengan paku-pakuan Acrostichum sp.
|
Ekosistem mangrove yang tumbuh di
sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai dipengaruhi oleh pasang surut
perpaduan antara air sungai dan air laut. Terdapat tiga syarat utama yang mendukung
berkembangnya ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air payau, tenang dan
endapan lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat
bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan
air pasang di kawasan pantai tersebut (Waryono, 2000)
Ketika
lingkungan mengalami perubahan kondisi, hal ini dapat menyebabkan berbagai
perubahan juga pada ekosistem mangrove. Sebagai contoh pada laporan penelitian
yang dilakukan di Sub-Distrik Liquisa bulan Desember 2012. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove dan pengaruh parameter lingkungan
fisika-kimia terhadap struktur komunitas vegetasi mangrove di kawasan pesisir
Tibar, Ulmera, dan Kaitehu daerah Bazartete District Liquisa, Timor-Leste.
Tidak tersedianya air tawar dan salinitas yang tinggi mencapai kisaran 34 ppt
serta ketersediaan unsur hara yang minim menyebabkan kerapatan mangrove yang
jarang di stasiun Tibar. Oleh karena itu, perubahan faktor-faktor lingkungan
habitat mangrove akan sangat mempengaruhi keberadaan tumbuhan mangrove, fauna
yang berkembanbiak dan tinggal di kawasan mangrove. Jika kondisi atau faktor
lingkungan ini terjaga dengan baik, maka ekosistem mangrove dapat terus ada dan
stabil, sebaliknya jika faktor lingkungan ini terabaikan maka keberadaan
ekosistem mangrove ini akan terancam.
Daftar
Pustaka
Chapman, V. J. 1976. Mangrove Vegetation.
J. Cramer, Inder A. R. Gantner Verlag Kommanditgesellschaft, FL-9490 VADUZ, p.
447
Jesus, A. 2012. Kondisi ekosistim
mangrove di Sub District Liquisa Timor-Leste. Jurnal Depik, 1 (3) : 136-143
Desember 2012. ISSN 2089-7790. Universitas Brawijaya
Kartawinata, K. and E. B. Waluyo
1977. A Preliminary Study of The Mangrove Forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mar.
Res. Indon. 18:119-129.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S.
Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di
Indonesia. Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Soerianegara, I. 1971.
Characteristic of Mangrove Soil of Java. Rimba Indonesia 15:141-150.
Waryono, T. 2000. Keanekaragaman
Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove. Diskusi Panel Progam Studi Biologi
Konservasi FMIPA-UI, Depok. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008.
No comments:
Post a Comment