UPAYA KONSERVASI KEKAYAAN HAYATI OLEH PEMERINTAH
DI PULAU SULEWESI
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 05
Nurmaryati. S
|
140410100003
|
Irpan Fauzi
|
140410100045
|
Tika Noviana
|
140410100012
|
Ismi Istiqomah R.
|
140410100051
|
Adhy Widya. S
|
140410100014
|
Novandha L. W
|
140410100056
|
Nisa Auliya. M
|
140410100027
|
Karlina Sulistiyani
|
140410100088
|
Dini Primadiani
|
140410100032
|
Fachmi Azhar A.
|
140410100089
|
Hana Hunafa
|
140410100036
|
Silmi Nur. S
|
140410100102
|
Acep. M Hamdan
|
140410100043
|
Ilyas Nursamsi
|
140410100104
|
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah negara yang terletak di garis khatulistiwa dan hal tersebut
menjadi salah satu ciri khas dari negara ini. Gugusan pulau-pulau yang
membentang dari Sabang sampai Merauke menjadi tempat tersimpannya
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua
kehidupan di atas bumi ini mulai tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme
serta berbagai materi genetik yang dikandungnya juga keanekaragaman sistem
ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya terdapat kelimpahan dan
keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua
habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem lainnya.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang terus bertambah setiap waktu, baik disadari maupun tidak dapat mengakibatkan
keanekaragamanhayati tersebut menurun. Beberapa diantaranya disebabkan karena
berkurangnya habitat akibat terjadinya alih fungsi lahan untuk kepentingan
manusia. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan pengrusakan suatu ekosistem
dapat merusak pula sumberdaya yang ada didalamnya. Informasi mengenai kondisi
keanekaragamanhayati dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya diperlukan
untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membuat suatu keputusan mengenai
regulasi yang mendukung terjaganya keanekaragamanhayati daerah tersebut, apakah
akan dilakukan pengelolaan secara in situ atau secara ex-situ. Konservasi
tersebut adalah penting untuk menjaga keanekaragamanhayati tetap terjaga.
Kawasan-kawasan konservasi di pulau Sulawesi sudah didirikan dengan berbagai
tipe dan memiliki tujuannya masing-masing. Hal tersebut karena setiap daerah
yang berbeda memiliki karakteristik dan isi dari keanekaragamanhayati yang
berbeda pula. Untuk mengetahui informasi mengenai bagaimana konservasi yang
dilakukan di daerah Sulawesi, maka di dalam makalah ini akan dilakukan studi
literatur untuk mempelajari konservasi yang telah dilakukan oleh pemerintah
beserta regulasi yang mengaturnya.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Apa
saja upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah dilakukan pemerintah di Pulau
Sulawesi.
2. Apa
saja regulasi yang mengatur upaya konservasi in-situ dan ex-situ yang telah
dilakukan oleh pemerintah di Pulaua Sulawesi.
3. Apa
saja keanekaragaman hayati yang dikonservasi
oleh Pemerintah di Pulau Sulawesi
1.3. Maksud dan Tujuan
Makalah ini dibuat dengan maksud
agar dapat memahami peranan pemerintah dalam upaya konservasi keanekaragaman
hayati di pulau Sulawesi. Sedangkan tujuan dari pembuatan adalah untuk
mengetahui peranan dan kebijakan
pemerintah dalam melakukan upaya konservasi keanekaragaman hayati di
pulau Sulawesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengertian
konservasi
Konservasi merupakan upaya pelestarian
lingkungan dengan tetap memperhatika dan memanfaatkan yang dapat diperoleh pada
saat itu dan mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk
pemanfaatan di masa depan. Upaya konservasi di Indonesia seharusnya
dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum,
swasta, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi serta pihak-pihak lainnya
(Susilo, 2011).
Menurut
UU No. 5 Tahun 1990 Kawasan Konservasi dibagi menjadi dua yaitu Kawasan Suaka
Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kawasan suaka alam adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. KSA meliputi Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa.
Sedangkan KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. KPA meliputi Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya (Dephut, 1998).
1.2 Keanekaragaman Hayati di Sulawesi
Pulau
Sulawesi merupakan merupakan akhir dari penyebaran fauna oriental (Asia). Selat
Makasar yang dikenal sebagai pemisah garis Wallace merupakan benteng alam yang tidak dapat
ditembus oleh penyebaran fauna dari wilayah barat, oleh karena itu pulau
Sulawesi memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari komunitas biologinya.
Sehingga memiliki tingkat endemisitas fauna yang tinggi. Bahkan beberapa ahli
menyebutkan bahwa pulau Sulawesi menunjukkan ciri dari wujud suatu pulau
oseanik. Sulawesi adalah pulau yang sangat berharga bagi konservasi biologi
karena memiliki tingkat endemik yang tinggi. Ada 165 jenis hewan mamalia yang
endemik Indonesia, hampir setengahnya (46%) ada di Sulawesi. Dari 127 jenis
mamalia yang ditemukan di Sulawesi, 79 jenis (62%) endemik. Hanya di daratan Sulawesi
tercatat ada 233 jenis burung, 84 diantaranya endemik Sulawesi. Jumlah ini
mencakup lebih dari sepertiga dari 256 jenis burung yang endemik Indonesia.
Sulawesi didiami oleh sebanyak 104 jenis reptilia, hampir sepertiganya atau 29
jenis adalah jenis endemik. Itu berarti, dari 150 reptilia yang tercatat
endemik di Indonesia, seperlimanya ada di Pulau Sulawesi (Tasirin, 2012).
Semenanjung
utara Sulawesi (Tanah Minahasa, Totabuan dan Gorontalo) merupakan kawasan
terpenting di Sulawesi. Kawasan ini didiami oleh 89 atau sekitar 86% dari 103
jenis burung endemik di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya. Pernahkah anda
membayangkan bahwa ada sebanyak 38 jenis tikus endemik Sulawesi. Hampir
setengahnya (45%, 17 jenis) ada di semenanjung utara Pulau Sulawesi. Semenanjung
utara ini juga menjadi rumah dari 20 jenis kelelawar buah endemik Sulawesi. Itu
berarti, sebagian besar (atau lebih dari 83% dari 24 jenis) kelelawar endemik
Sulawesi terdapat di kawasan ini.
Sulawesi
memiliki sejumlah satwa endemik yang menakjubkan (Tasirin, 2012).
1.3 Ancaman terhadap Kelestarian
Populasi satwa-satwa asli Sulawesi
sedang menuju kepunahan karena berbagai ancaman. Ada 81 jenis burung, mamalia,
reptilia dan ampibi Sulawesi terdaftar dalam Red List of Threatened Animals
yang diterbitkan oleh World Conservation Union (IUCN). Perburuan dan perusakan
habitat merupakan ancaman serius bagi satwa-satwa asli Sulawesi ini. Perburuan
menjadi marak karena orang Sulawesi memakan satwa-satwa ini. Namun konsumen
terbesar ditemukan di Tanah Minahasa dan Totabuan. Sudah menjadi hal yang
lumrah di sana bahwa seseorang memakan tikus, paniki, yaki dan tuturuga. Bahkan
tak jarang mereka memakan babi hutan, kuskus, musang, anoa dan babi rusa jika
ada. Semua satwa asli Sulawesi ini bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional di
tanah Minahasa (Tasirin, 2012).
Ancaman
serius terhadap kelangsungan hidup adalah berkurangnya ruang habitat,
menurunnya kualitas habitat dan perburuan. Berkurangnya luas habitat akibat
dari konversi kawasan hutan baik legal maupun ilegal menjadi lahan pertanian,
perkebunan, pemukiman dan lain-lain. Mengingat populasi satwa ini sudah sangat
memperhatinkan, apalagi Pemerintah dan semua pihak yang terkait perlu
berpartisipasi dalam upaya pelestarian satwa ini baik secara in-situ maupun ex-situ.
Sosialisasi diperlukan berkaitan pentingnya satwa ini terutama bagi penelitian,
pendidikan, wisata maupun keseimbangan ekosistem. Begitupula dari segi
konservasinya yaitu pentingnya satwa ini hidup bebas di habitatnya tanpa ada
tekanan perburuan, kerusakan habitat serta kekurangan pakan (Ukf, 2011 ).
1.4 Upaya Konservasi di Sulawesi
Penangkapan
satwa dan perusakan habitat satwa adalah perbuatan melanggar hukum dan memiliki
sangsi pidana. Menahan satwa untuk dijadikan hewan peliharaan juga melanggar
hukum dengan sangsi pidana yang cukup serius. Hukum Indonesia melindungi
jenis-jenis langka ini karena populasi satwa-satwa ini yang menukik tajam,
menuju ke kepunahan. Usaha penyelamatan satwa-satwa sulawesi ini bisa dilakukan
dengan menegaskan penegakan hukum bagi para penjahat lingkungan, menghentikan
penebangan (legal maupun illegal) di hutan-hutan yang menjadi habitat satwa
langka, menghentikan perburuan, menghentikan kebiasaan memakan satwa liar, dan
berpartisipasi aktif dalam usaha restorasi habitat dan pembiakan satwa secara
alami (Tasrin, 2012).
Ada beberapa hal strategis yang
dapat dilakukan yaitu, habitat yang ada di luar kawasan konservasi segera
ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung, sedangkan yang berada
didalam taman nasional dijadikan zona inti agar satwa tersebut tidak terancam
kelestariannya. Kedua, perlunya penyuluhan sebagai upaya peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pelestarian satwa. Ketiga, perlunya merestorasi habitat anoa yang rusak. Keempat, penelitian
tentang teknik penangkaran sebagai upaya pelestarian ex-situ perlu segera
dilakukan. Dan Kelima, perlunya dilakukan penelitian mengenai data pasti jumlah
populasi satwa yang ada di Sulawesi (Ukf, 2011 ).
1.4.1 Kawasan Suaka Alam ( KSA )
KSA meliputi Kawasan Cagar Alam dan
Kawasan Suaka Margasatwa. Berikut KSA yang terdapat di beberapa wilayah di
Sulawesi.
A. Sulawesi
Utara
1. Cagar
Alam Tangkoko memiliki luas 3.196 Ha berlokasi di Bitung
2. Cagar
Alam Duasudara memiliki luas 4.299 Ha berlokasi di Bitung.
3. Cagar
Alam Lokon memiliki luas 716 Ha berlokasi di kabupaten Minahasa.
4. Suaka
Margasatwa Menembo-nembo memiliki luas 6.426 Ha berlokasi di kabupaten
Minahasa.
5. Taman
Wisata Alam Batuputih memiliki luas 615 Ha berlokasi di Bitung.
6. Taman
Wisata Alam Batuangus memiliki luas 635 Ha berlokasi di Bitung.
7. Suaka
Margasatwa Karakelang memiliki luas 24.669 Ha berlokasi di kabupaten Talaud.
B. Gorontalo:
1. Cagar
Alam MAS POPAYA RAJA; Gorontalo, dengan luas 100,00 ha
2. Cagar
Alam TANJUNG PANJANG; Gorontalo, dengan luas 3.000,00 ha.
3. Cagar
Alam PANUA; Gorontalo, dengan luas 45.575,00 ha.
4. Cagar
Alam TANGGALE; Gorontalo, dengan luas 112,50 ha.
C. Sulawesi
Tengah:
Sulawesi
tengah memiliki hutan seluas 4.394.932
ha atau sekitar 64% dari wilayah ini (6.803.300 ha) merupakan kawasan hutan.
Saat ini di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 8 unit Cagar Alam dengan total
luas 378.894,82 ha, dan 7 unit Suaka Margasatwa dengan luas 68.144,00 ha.
1. Cagar
Alam
2. Cagar
Alam Pangi Binangga
3. Cagar
Alam Gunung Tinombala
4. Cagar
Alam Gunung Sojol
5. Cagar
Alam Gunung Dako
6. Cagar
Alam Tanjung Api
7. Cagar
Alam Morowali
8. Cagar
Alam Pati-Pati
9. Cagar
Alam Pamona
Suaka Margasatwa
Menurut Noer, 2011 di provinsi
Sulawesi Tengah terdapat suaka margasatwa :
1. Suaka
Margasatwa Pulau Dolangon, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat penyu
dan habitat maleo.
2. Suaka
Margasatwa Pinjan Matop, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo,
dan habitat penyu.
3. Suaka
Margasatwa Bakiriang, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo.
4. Suaka
Margasatwa Lombuyan, potensi utama kawasan adalah sebagai rusa.
5. Suaka
Margasatwa Pulau Pasoso, potensi utama kawasan adalah habitat penyu dan habitat
burung gosong.
6. Suaka
Margasatwa Pulau Tiga, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota Laut
dan terumbu karang.
7. Suaka
Margasatwa Tanjung Santigi, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat buaya
muara.
D. Sulawesi
Tenggara:
1. Cagar
Alam KAKINAUWE
2. Cagar
Alam LAMEDAE
3. Cagar
Alam NAPABALANO
E. Sulawesi
Selatan:
1. Cagar
Alam PEGUNUNGAN FARUHUMPENAI; Luwu, Sulawesi Selatan.
2. Cagar
Alam KALAENA; Luwu, 110.000,00 ha, Sulawesi Selatan.
3. Cagar
Alam PONDA-PONDA.
1.4.2 Kawasan Pelestarian Alam
A. Sulawesi Selatan
Taman Hutan Raya Abdul Latief di
lokasi Taman Hutan Raya Abdul Latief terdapat berbagai jenis flora, diantaranya
adalah: Pinus (Pinus sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Sengon (Paraserianthes
falcataria), Kajuara (Ficus sp.), Pakis (Cyatea contaminans) kayu manis
(Cinnamomum sp.), Spatodea, bambu (Bambusa sp.), pinang (Areca catecu), Pulai
(Alstonia scholaris), kemiri (Aleurites mollucana), kopi hutan, mangga
(Mangifera indica) serta berbagai jenis anggrek, baik anggrek tanah maupun
anggrek pohon
B. Sulawesi
Tengah
Taman Nasional
Taman Nasional merupakan kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekositem asli yang dikelola dengan sistem
zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya
tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Sekarang ini di Provinsi
Sulawesi Tengah telah ada 2 unit Taman Nasional
yaitu Taman Nasional Lore Lindu dengan luas 217.991,18 Ha, dan Taman
Nasional Kepulauan Togean dengan luas 362.605,00 Ha., Kabupaten Tojo Una-Una.
Taman Hutan Raya
Taman hutan raya merupakan kawasan
pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan/atau
satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli atau bukan asli yang
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Saat ini terdapat 1 unit Taman Hutan
Raya yaitu Tahura Palu yang luasnya sekitar 7.128 Ha, terletak di Kabupaten
Sigi Biromaru dan Palu.
Taman Wisata Alam
Taman wisata alam adalah kawasan
pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
pariwisata dan rekreasi alam. Saat ini di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 2
unit Taman Wisata Alam yaitu, Taman Wisata Alam Bancea dan Taman Wisata Alam
Air Terjun Wera. Sedangkan untuk taman wisata alam laut terdapat 5 unit TWL
dengan luas sekitar 176.312,00 Ha,
dengan rincian sebagai berikut:
1. Taman
Laut Teluk Tomori, dengan luas 7.200,00 Ha, terletak di Kab. Morowali.
2. Taman
Laut Pulau Tokobae, dengan luas 1.000,00 Ha, terletak di Kab. Morowali.
3. Taman
Wista Laut Tosale, dengan luas 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Donggala.
4. Taman
Wista Laut Pulau Peleng, dengan luas 17.462,00 Ha, terletak di Kabupaten
Banggai Kepulauan.
5. Taman
Wista Laut Kepulauan Sago, dengan luas 153.850,00 Ha, terletak di Kabupaten
Banggai Kepulauan.
Taman Buru
Taman
buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Saat
ini terdapat 1 unit taman wisata buru yaitu Taman Buru Landusa, dengan luas
5.000,00 Ha, terletak di Kab. Poso & Morowali, potensi utama kawasan adalah
sebagai penangkaran rusa, anoa dan babi rusa.
BAB III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
1. Apa saja upaya konservasi in situ dan ex situ yang
telah dilakukan pemerintah di Pulau Sulawesi.
Berbagai macam upaya konservasi telah dilakukan oleh
pemerintah daerah di setiap wilayah provinsi masing-masing dengan cara
membangun kawasan konservasi di wilayah masing-masing maupun dengan pembuatan
PERDA yang mengatur tentang perlindungan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh
untuk upaya konservasi in-situ di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 6
KSA(Kawasan Suaka Alam) dan 8 KPA(Kawasan Pelestarian Alam) yang mengkonservasi
berbagai jenis flora dan fauna endemik Sulawesi contohnya anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis), anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Macaca nigra. Untuk konservasi ex-situ
contohnya ada pada Kebun Raya Enrekang yang berkonsentrasi untuk mengkonservasi
tumbuhan tropika yang berasal dari seluruh Indonesia terutama tumbuhan yang
berasal dari kebulauan yang berada pada garis Wallacea, contohnya Phalaenopsis
amibilis, Eria pubescens dan Spathoglotis plicata.
2.
Apa saja regulasi yang mengatur upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah
dilakukan oleh pemerintah di Pulau Sulawesi.
Pemerintah
kepulauan Sulawesi memiliki berbagai macam perda yang mengatur regulasi tentang
konservasi di wilayah provinsinya masing-masing, sebagai contoh untuk regulasi
konservasi ex-situ adalah PERATURAN DAERAH SULAWESI UTARA NO 38 TAHUN 2003 yang
mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berisikan 15 pasal
mengenai pengelolaan dan perbaikan wilayah pesisir dan laut dan regulasi
konservasi berbagai jenis mangrove di wilayah tersebut. Sulawesi Utara juga
memiliki PERATURAN DAERAH SULAWESI UTARA NO 9 TAHUN 2002 yang mengatur regulasi
dan konservasi terumbu karang dan ikan di Taman Nasional Laut Bunaken. Untuk regulasi konservasi ex-situ pemerintah
Sulawesi Selatan memiliki PERDA NO 9 TAHUN 2009 yang mengatur tentang regulasi
pengelolaan dan pemanfaatan Kebun Raya Enrekang yang menkonservasi berbagai
macam tumbuhan tropika khususnya tumbuhan wallacea(tumbuhan yang terdapat di
kepulauan garis wallacea, contohnya pulau flores, Maluku, NTT, NTB, dll).
3. Apa saja yang dikonservasi oleh pemerintah di
Pulau Sulawesi.
Pemerintah melalui Pemerintah
Daerah di Pulau Sulawesi
telah melakukan upaya konservasi terhadap berbagai jenis hewan endemik Sulawesi
juga terhadap berbagai jenis satwa lain yang dilindungi yang menjadi
konsentrasi konservasi satwa Indonesia. satwa satwa tersebut meliputi berbagai
macam mamalia, reptile, burung bahkan insekta. 233 jenis
burung, 84 diantaranya endemik Sulawesi. 104 jenis reptilian. beberapa jenis
satwa endemik
yang dikonservasi oleh pemerintah Sulawesi antara lain : Maleo
(Macrocephalon maleo). Babi rusa (Babyrousa babyrussa). Yaki
utara, the crested black macaque, (Macaca nigra). Anoa (Bubalus spp.).
Kuskus (Ailurops ursinus dan Stigocuscus celebensis). Musang
Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii). selain satwa darat, pemerintah
kepulauan Sulawesi juga mengkonservasi berbagai satwa perairan khususnya satwa
laut, contohnya di Taman Nasional Bunaken yang memiliki 14 jenis cetacea, 2000 jenis ikan, 390 karang keras (63 genus dan 15
familia).
4. Contoh
konservasi yang telah dilakukan oleh pemerintah di Pulau Sulawesi.
Salah satu contoh konservasi yang telah
dilakukan oleh pemerintah di Pulau Sulawesi adalah konservasi
berbagai jenis ikan dan terumbu karang yang ada di Bunaken, Taman ini terletak di Segitiga Terumbu Karang menjadi habitat bagi 390
spesies terumbu karang dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan
mamalia laut. Taman Nasional Bunaken merupakan perwakilan ekosistem laut
Indonesia, meliputi padang rumput laut, terumbu karang dan ekosistem pantai.
3.2 Pembahasan
Pulau Sulawesi, yang
terdiri dari 6 provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo, telah dikenal
sebagai pulau yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang unik, sebagai contoh fauna
yang berada di pulau ini yang merupakan fauna tipe peralihan, yakni tipe fauna
campuran antara tipe fauna barat dan timur Indonesia, bahkan ditemukan hewan
endemik yang menjadi khas tipe pulau tersebut serta berbeda dari kedua tipe
fauna tersebut.
Fauna endemik khas
Sulawesi tersebut di antaranya adalah Maleo (Macrocephalon maleo). Babi rusa (Babyrousa babyrussa). Yaki utara, the crested black macaque, (Macaca nigra). Anoa (Bubalus spp.). Kuskus (Ailurops ursinus dan Stigocuscus celebensis). Musang Sulawesi
(Macrogalidia musschenbroeckii) dan
satwa perairan atau satwa laut seperti 14 jenis Cetacea, 2000 jenis ikan, 390
karang keras (63 genus dan 15 familia). Tidak kalah menariknya flora yang
berada di Pulau Sulawesi ini merupakan flora yang berasal dari Nusa Tenggara
dan Jawa, dan flora yang berada di habitat pantai, dataran rendah, dan pantai
mirip dengan flora yang berada di Irian, fakta ini menandakan bahwa Pulau
Sulawesi adalah pulau yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi karena
tipe flora dan fauna yang termasuk ke dalam tipe peralihan atau campuran tipe
Asiatis dan Australis.
Telah diakui oleh
dunia, keberadaan hewan dan flora endemik ini merupakan kekayaan penting bagi
dunia. Berbagai ilmuwan datang ke Sulawesi dan menyatakan bahwa Sulawesi
merupakan tempat tinggal ribuan jenis tumbuhan dan binatang yang tidak ditemui
di belahan dunia manapun, dalam jurnal ilmiah Nature tim ilmuwan menyatakan bahwa Sulawesi berada dalam peringkat
pertama dalam prioritas global bagi upaya kegiatan konservasi.
Kegiatan pembangunan
yang sedang digalakan, pengalihfungsian lahan, illegal logging, pembukaan lahan, dan pemburuan satwa liar
merupakan ancaman serius bagi keberadaan flora dan fauna endemik di Sulawesi.
Masalah konservasi merupakan masalah yang paralel dan melibatkan banyak pihak.
Alih fungsi lahan di sektor pertambangan menurunkan jumlah Anoa, alih fungsi
hutan mangrove yang menjadi tambak oleh oknum tak dikenal turut mengancam
kelestarian lingkungan dari abrasi, illegal
logging oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, serta perburuan satwa liar
seperti babi rusa, sangat memprihatinkan, dan menjadi sorotan dunia dalam upaya
konservasi. Berbagai peneliti asing dan relawan asing berdatangan ke
wilayah-wilayah di Sulawesi memberikan edukasi dan terlibat langsung dengan
kegiatan masyarakat dalam usaha konservasi lingkungan.
Umumnya topik utama yang mengancam keberadaan
fauna endemik adalah soal ‘perut’ (konsumsi), babi rusa diburu tidak lagi
memperhatikan kearifan lingkungan, tapi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka
memburu dan menjual babi rusa dengan harga mencapai 150.000 rupiah. Pemerintah
Indonesia, melalui Pemerintahan Daerah yang berada di Pulau Sulawesi melakukan
upaya-upaya konservasi in-situ dan ex-situ untuk menindak lanjuti perusakan
alam oleh manusia dan untuk mempertahankan keberadaan jenis flora dan fauna
endemik ini.
Upaya konservasi in-situ merupakan konservasi
spesies baik flora maupun fauna di habitatnya, sedangkan konservasi ex-situ
adalah konservasi spesies diluar habitatnya. Upaya konservasi in-situ yang
dilakukan Pemerintah Daerah di Sulawesi adalah membangun beberapa lembaga Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), contohnya di Sulawesi
Utara terdapat Kawasan Suaka Alam (KSA), seperti : Cagar Alam Tangkoko , Suaka
Margasatwa Karakelang , Cagar Alam Lokon , Suaka Margasatwa Menembo-nembo,
Taman Wisata Alam Batu putih, Taman Wisata Alam Batu angus, dan Cagar Alam Dua
sudara yang ada disekitar wilayah Bitung, Minahasa dan Talaud.
KSA yang terdapat di Gorontalo di antaranya :
Cagar Alam Tanggale, Cagar Alam Panua, Cagar Alam Tanjung Panjang, dan Cagar
Alam Mas Popaya Raja. Sulawesi Tengah memiliki Kawasan Suaka Alam (KSA) di
antaranya : Cagar Alam Pangi Binangga, Cagar Alam Gunung Tinombala, Cagar Alam
Gunung Sojol, Cagar Alam Gunung Dako, Cagar Alam Tanjung Api, Cagar Alam
Morowali, Cagar Alam Pati-Pati, Cagar Alam Pamona, selain cagar alam di
Sulawesi Tengah juga terdapat Suaka Margasatwa antara lain Suaka Margasatwa
Pulau Dolangon, Suaka Margasatwa Pinjan Matop, Suaka Margasatwa Tanjung
Santigi, Suaka Margasatwa Lombuyan, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso, Suaka
Margasatwa Pulau Tiga, dan Suaka Margasatwa Bakiriang. Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) yang ada di wilayah Sulawesi Tengah antara lain : Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional
Kepulauan Togean, Taman Hutan Raya
Tahura Palu, Taman Wisata Alam Bancea, Taman Wisata Alam Air Terjun
Wera, Taman Laut Teluk Tomori, Taman Laut Pulau Tokobae, Taman Wista Laut
Tosale, Taman Wista Laut Pulau Peleng, Taman Wista Laut Kepulauan Sago, dan
Taman Buru Landusa. Sedangkan di Sulawesi Tenggara terdapat Kawasan Suaka Alam
antara lain Cagar Alam Napabalano, Cagar Alam Lamedae, dan Cagar Alam
Kakinauwe. Sedangkan di wilayah Sulawesi Selatan Terdapat Kawasan Suaka Alam
(KSA) yaitu Cagar Alam Pegunungan Faruhumpenai, Cagar Alam Kalaena, Dan Cagar Alam Ponda-Ponda. Selain itu juga
terdapat Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yaitu Taman Hutan Raya Abdul Latief.
Dalam melakukan upaya konservasi pemerintah
daerah membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam rangka mengelola dan melindungi
sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Pulau Sulawesi ini. Salah satu
contoh dari Peraturan Daerah yang mengatur konservasi in-situ adalah Peraturan
Daerah Sulawesi Selatan No. 44 Tahun 2001. Perda mengenai konservasi in-situ berisi tentang
pengeloaan KPA maupun KSA seperti ; Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional,
dan Taman Wisata Alam, serta melakukan pendataan berdasarkan surat keputusan
mengenai daerah dan nama-nama kawasan konservasi tersebut, mengikat masyarakat untuk turut aktif dalam
kegiatan konservasi, pemanfaatan sumber daya alam dari daerah konservasi diatur
menurut ketetapan pemerintah daerah seperti harus ada izin terlebih dahulu
untuk pembukaan lahan, pemanfaatan lahan wilayah konservasi, dan penyelidikan
terlebih dahulu atau verifikasi dari pemerintah daerah sebelum melakukan
pemanfaatan. Selain itu adanya regulasi untuk penarikan dana sebagai kompensasi
upaya reabilitasi daerah konservasi dan izin masuk ke daerah konservasi, dan
membagi wilayah konservasi untuk beberapa kegunaan seperti pariwisata,
pemanfaatan sumberdaya alam, Pemanfaatan
sumber daya laut, penerapan batas garis wilayah pemanfaatan kawasan laut, dan
pembagian wilayah hutan atau zonasi hutan juga turut diatur dalam undang-undang
konservasi keanekaan hayati ini.
Dalam prakteknya upaya konservasi in-situ
karena spesies yang dilindungi berada pada habitatnya, dilakukan batas-batas
Cagar Alam, batas Suaka Marga Satwa, dengan batas daerah penggunaan lahan oleh
masyarakat, sehingga dikenal dengan Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona
Pemanfaatan. Pada Zona Pemanfaatan masyarakat sekitar dapat memanfaatkan secara
langsung sumber daya alam yang ada di kawasan konservasi dengan pantauan
peraturan setempat, berbeda dengan Zona Inti yakni zona khusus yang
diperuntukan untuk perlindungan dan tidak diperkenankan adanya
kegiatan-kegiatan eksploitasi lahan oleh masyarakat setempat.
Zona Penyangga adalah zona peralihan atau batas
antara Zona Pemanfaatan dan Zona Inti, sebagai upaya konservasi terhadap Zona
Inti yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Pada usaha
konservasi in-situ, spesies dibiarkan hidup di daerah konservasi tersebut
karena merupakan daerah atau habitat aslinya, pemantauan oleh manusia hanya
dilakukan bila perlu.
Upaya konservasi ex-situ adalah konservasi
spesies atau jenis di luar habitatnya, contoh upaya ini yang telah dilakukan
pemerintah di Pulau Sulawesi, yakni dengan pendirian Kebun Raya Enrekang di
Sulawesi Selatan dan Penangkaran Anoa di Bali Penelitian Kehutanan di Manado.
Upaya konservasi ex-situ dengan pembangunan
Kebun Raya Enrekang di Sulawesi Selatan ini berkonsentrasi mengkonservasi
tumbuhan tropika yang berasal dari seluruh Indonesia, terutama tumbuhan yang
berasal dari kepulauan yang berada pada garis Wallacea, usaha ini pun diatur
dalam regulasi Perda Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009 mengenai pengelolaan
pembangunan tata ruang dan tata guna lahan untuk upaya konservasi ini. Adapun
upaya konservasi ex-situ lainnya yakni dengan melakukan penangkaran Anoa di
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) di Manado.
Berbeda dengan upaya konservasi secara in-situ,
upaya konservasi ex-situ adalah upaya konservasi dengan kontrol penuh atau
keterlibatan penuh manusia atau dengan kata lain intervensi manusia lebih
ditekankan untuk melihat perkembangan spesies yang dikonservasi, sebagai contoh
penangkaran Anoa di BPK Manado dilakukan inseminasi buatan untuk mempertahankan
eksistensi Anoa di Sulawesi dan dilakukan monitoring terhadap perkembangan Anoa
yang diinseminasinya.
Salah satu contoh taman nasional yang terdapat
di Sulawesi adalah Taman Nasional Bunaken. Taman Nasional Bunaken adalah salah
satu taman laut Indonesia yang terletak di Sulawesi Utara. Menurut catatan
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Taman Nasional ini merupakan
perwakilan ekosistem perairan tropis yang ada di Indonesia, terdiri dari
ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem
daratan/pesisir.
Flora taman nasional ini terdiri dari flora
hutan pantai dan tumbuhan daratan. Terdapat kurang lebih 29 spesies tumbuhan
mangrove di ekosistem hutan pantai/bakau menurut Buku Panduan Lapangan Taman
Nasional Bunaken (1999) beberapa di antaranya yang mendominasi adalah Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia
sp. Tumbuhan dan pohon daratan asli yang ada di taman nasional ini di antaranya
bambu, Livistona rotundifolia, Calamus spp. Arenga sp., beringin (Ficus
spp.), Macaranga mappa, dan Piper aduncum.
Tidak kalah pentingnya fauna yang masih banyak
ditemukan di TN Bunaken misalnya beberapa mamalia seperti : yaki hitam (Macaca nigra) dan kus-kus, rusa, dan
tarsius, yang beberapa di antaranya merupakan fauna endemik Sulawesi.
Sedikitnya terdapat 30 jenis burung laut dan burung rawa yang terdapat di
daerah ini, seperti camar laut, bangau rawa laut, dan burung-burung penangkap
ikan lainnya. Adapun burung pipit, drongi, gagak, dan burung hantu juga
ditemukan di kawasan Taman Nasional Bunaken ini. Beberapa jenis reptil seperti
kadal, ular baik berbisa maupun tidak berbisa juga dapat ditemukan sepanjang
kawasan Bunaken.
Taman Nasional Bunaken memiliki tiga jenis
ekosistem pesisir utama, yakni Hutan Bakau (Mangrove), Padang Lamun, dan
Terumbu Karang. Terdapat lebih dari 58 genus dan sub-genus karang keras yang
terdapat di TN Bunaken, fakta ini menyatakan bahwa jumlah genus terumbu karang
yang terdapat di Bunaken melebihi daerah terumbu karang yang terkenal di
Karibia, selain itu terdapat sekitar 2.000 jenis spesies ikan di kawasan TN
Bunaken yang tercatat di Buku Panduan Lapangan TN Bunaken (1999). Terdapat pula
organisme laut lainnya seperti alga laut, Foraminifera, Sponge/spons, Cnidaria
(karang keras, karang lunak kipas laut, hydroid, anemone, dan ubur-ubur).
Cacing laut, Crustaseae, Echinodermata, Moluska, dan Ascidian (sejenis hewan Avertebrata
penyaring air yang melekat pada terumbu, biasa dikenal sebagai Tunikata).
Ikan tropis yang berada di seluruh dunia yakni
sekitat 7000 jenis, 30% darinya terdapat di Taman Nasional Bunaken dan sangat
bergantung pada keberadaan terumbu karang. Ikan hiu, ikan pari, ikan pelagis
bisa ditemui di TN Bunaken, namun untuk keberadaan hiu mulai langka ditemui
karena seringnya aksi penangkapan untuk mendapatkan siripnya yang bisa dijual
dengan harga yang mahal. Hiu terumbu, hiu ekor putih (Triaenodon obesus) dapat ditemui sesekali di rataan terumbu saat
air pasang. Ikan-ikan cantik seperti Angelfish, Anemonefish, Batfish, dan ikan
kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati ikan yang ada di TN Bunaken.
Menyadari bahwa Bunaken memiliki tingkat
keanekaragaman hayati laut yang tinggi, jalur migrasi bagi hewan laut Cetaceae
(paus, lumba-lumba) penyu, dan habitat fauna endemic Macaca nigra, serta memiliki nilai ekonomis dan pariwisata alam,
pemerintah daerah Sulawesi membuat Perda yang berfungsi mengatur, mengelola,
dan mengkonservasi kekayaan hayati di Sulawesi Utara ini, di antaranya :
menetapkan kawasan ini sebagai Taman Nasional Bunaken pada tanggal 15 Oktober 1991;
menetapkan Zonasi Taman Nasional Bunaken menjadi Zona Inti (Zona Pemulihan dan
Rehabilitasi), Zona Pemanfaatan (Zona Pemanfaatan Terbatas dan Intensif), dan
Zona Pendukung (Zona Pendukung Perairan, Zona Pendukung Daratan, dan Zona
Pendukung Umum, serta Zona Penyangga) berdasarkan SK Dirjen PHPA
No.147/Kpts/DJ-VI/1997.
Penetapan Bunaken sebagai Taman Nasional,
dikhususkan untuk tiga tujuan berikut (Buku Panduan Lapangan TN Bunaken, 1991)
: sebagai tempat konservasi hewan maupun tumbuhan unik dan langka, serta
habitatnya baik yang ada di laut maupun di darat; sebagai tempat mencari nafkah
yang berkelanjutan bagi sekitar 20.000 jiwa penduduknya, yang bergantung pada
sumber daya alam dalam kawasan, dan sebagai tempat bagi pengembangan terbatas
kegiatan wisata alam (khususnya wisata selam).
Banyak aktifitas manusia yang merusak
lingkungan di daerah TN Bunaken, mengingat jumlah penduduk yang menghuni
kawasan Bunaken mencapai 20.000 jiwa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hampir
keseluruhan bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani. Kegiatan pembukaan
lahan yang dilakukan petani banyak merusak tumbuhan asli flora peralihan yang
terdapat di Bunaken dan mengancam eksistensi hewan dan burung yang menghuni
kawasan tersebut seperti Macaca nigra,
dan kegiatan pembukaan lahan ini mengancam masuknya erosi tanah ke laut,
perambahan hutan bakau menjadi kayu bakar dan keperluan lainnya juga telah lama
menjadi ancaman seperti abrasi laut bagi daerah sekitar Bunaken, belum lagi
para nelayan yang menggunakan bom dan pukat harimau untuk mengambil terumbu
karang dan ikan sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistem laut, banyak dari
ikan yang tinggal di terumbu karang akan terancam, juga ikan-ikan juvenil dan
muda akan terbawa dan mati akibat bom dan pukat harimau ini.
Pemerintah daerah Sulawesi Utara membangun
regulasi untuk upaya konservasi di Bunaken ini, di antaranya Perda, dan sistem
terstruktur organisasi Balai TN Bunaken. Kepala Seksi Konservasi langsung di
bawah Kepala Balai TN Bunaken membentuk tiga Sub-Seksi Konservasi yakni unit
Pulau Mantehage, Pulau Nain, dan Pulau Siladen; unit Pulau Bunaken, Pulau
Manado Tua, dan Tanjuk Pisok; unit Arakan-Wawontulap. Serta terdapat bagian
Jagawana, Pariwisata Alam, dan Staf Teknis Konservasi yang juga berada langsung
di bawah Kepala Balai TN Bunaken. Pemerintah daerah melalui struktur organisasi
ini menindaklanjuti kegiatan yang merusak lingkungan seperti pemboman dan pukat
harimau serta pembukaan lahan tanpa izin melalui patrol laut dan daerah daratan
di kawasan TN Bunaken.
Peraturan Daerah Sulawesi Utara mengenai aturan
pengunjung juga ditetapkan sebagai usaha rehabilitasi dan pengelolaan daerah
wisata seperti retribusi pengunjung dan aturan masuk mengunjungi TN Bunaken,
seperti pada Perda Provinsi Sulawesi Utara No.14 Tahun 2000 mengenai Pungutan
Masuk yang dikenakan bagi pengunjung, dan petunjuk pelaksanaan Perda yang
mengatur konservasi Taman Nasional Bunaken SK Gubernut No.49 Tahun 2001. Hingga
kini, masih sering terjadi pelanggaran yang dilakukan warga sekitar dan oknum
yang tidak dikenal, untuk itu upaya konservasi ini memerlukan usaha yang
menyeluruh melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memanfaatkan kearfan lokal
yang telah ada di Bunaken, turut serta pemerhati konservasi dunia dari berbagai
pihak seperti peneliti asing juga dapat membantu usaha rehabilitasi dan
konservasi yang baik bagi pengelolaan TN Bunaken ini agar tetap dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekitar namun tidak dengan merusak
lingkungan Bunaken.
BAB
IV
KESIMPULAN
1.
Upaya
konservasi in-situ yang dilakukan Pemerintah Daerah di Sulawesi adalah
membangun beberapa lembaga Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA), contohnya di Sulawesi Utara terdapat Kawasan Suaka Alam (KSA), seperti
Cagar Alam Tangkoko, Suaka Margasatwa Karakelang, Cagar Alam Lokon, Suaka
Margasatwa Menembo-nembo, Taman Wisata Alam Batu putih, Taman Wisata Alam Batu
angus, dan Cagar Alam Dua sudara yang ada disekitar wilayah Bitung, Minahasa
dan Talaud. Sedangkan contoh upaya konsevasi ex-situ yang telah dilakukan
pemerintah di Pulau Sulawesi, yakni dengan pendirian Kebun Raya Enrekang di
Sulawesi Selatan dan Penangkaran Anoa di Bali Penelitian Kehutanan di Manado.
2.
Regulasi yang mengatur upaya konservasi in-situ adalah Peraturan Daerah Sulawesi Selatan No. 44 Tahun
2001 yang berisi tentang pengeloaan Konservasi Pelestarian Alam maupun Konservasi Suaka Alam. Sedangkan regulasi yang mengatur
upaya konservasi ex-situ ialah Perda Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009 mengenai
pengelolaan pembangunan tata ruang dan tata guna lahan untuk upaya konservasi
ini.
3.
Keanekaragaman hayati yang telah dikonservasi oleh pemerintah di Pulau Sulawesi
adalah konservasi berbagai jenis ikan dan terumbu karang yang ada di Bunaken, Taman ini terletak di Segitiga Terumbu Karang menjadi habitat bagi 390
spesies terumbu karang dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan
mamalia laut. Taman Nasional
Bunaken ini merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis yang ada di
Indonesia, terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang,
dan ekosistem daratan/pesisir.
DAFTAR
PUSTAKA
Adishakti. 2007. Pengertian Konservasi. http: //
www.scribd.com/doc/80536741/PENGERTIAN-KONSERVASI . Diakses pada tanggal 20
Maret 2013 pukul 20.05 WIB.
Anonim. 2013. Peraturan Pemerintah Replubik Indonesia. http: //
www.dephut.go.id/files/PERATURAN%20PEMERINTAH%20REPUBLIK%20INDONESIA%20NOMOR%2068%20TAHUN%201998_0
.pdf. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013 pukul 19.21 WIB.
Buku Panduan Lapangan TN Bunaken.
1999. Bunaken Natural History Book. Balai Taman Nasional Bunaken. Arnez
Metha-Yayasan Kelola Manado. Sulawesi Utara.
John,Tasirin. 2013. Konservasi Keanekaan Hayati Sulawesi. www.//
celebio.org/beranda/konservasi-keanekaan-hayati-sulawesi /. Diakses pada
tanggal 22 Maret 2013 pukul 21.30 WIB.
Noer. 2011. Gambaran Hutan Konservasi Di Sulawesi Tengah. http ://
noerdblog.wordpress.com/2011/10/25/gambaran-hutan-konservasi-di-sulawesi-tengah
/. Diakses pada tanggal 22 Maret 2013 pukul 22.00 WIB.
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi
Utara No. 14 Tahun 2000. Pungutan Masuk TN Bunaken.pdf.http://www.bunaken.org/download/PERDA_Propinsi%20No.%2014%20Tahun%202000_Pungutan%20Masuk%20TN%20Bunaken.pdf.
Diakses pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 21.05 WIB.
Susilo. 2011. Pengertian Konsevasi .http ://
susilofy.wordpress.com/2011/02/18/pengertian-konservasi /. Diakses pada
tanggal 22 Maret 2013 pukul 18.23 WIB.
Ukf. 2011. Konservasi
Herbivora Sulawesi. http ://
unikonservasifauna.org/2011/02/konservasi-herbivora-sulawesi /. Diakses
pada tanggal 22 Maret 2013 pukul 21.00 WIB.
No comments:
Post a Comment