Tuesday, January 5, 2016

Keanekaragaman Hayati di Sulawesi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah negara yang terletak di garis khatulistiwa dan hal tersebut menjadi salah satu ciri khas dari negara ini. Gugusan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke menjadi tempat tersimpannya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di atas bumi ini mulai tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya juga keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya terdapat kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem lainnya.
            Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus bertambah setiap waktu, baik disadari maupun  tidak dapat mengakibatkan keanekaragamanhayati tersebut menurun. Beberapa diantaranya disebabkan karena berkurangnya habitat akibat terjadinya alih fungsi lahan untuk kepentingan manusia. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan pengrusakan suatu ekosistem dapat merusak pula sumberdaya yang ada didalamnya. Informasi mengenai kondisi keanekaragamanhayati dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membuat suatu keputusan mengenai regulasi yang mendukung terjaganya keanekaragamanhayati daerah tersebut, apakah akan dilakukan pengelolaan secara in situ atau secara eksitu. Konservasi tersebut adalah penting untuk menjaga keanekaragamanhayati tetap terjaga. Kawasan-kawasan konservasi di pulau Sulawesi sudah didirikan dengan berbagai tipe dan memiliki tujuannya masing-masing. Hal tersebut karena setiap daerah yang berbeda memiliki karakteristik dan isi dari keanekaragamanhayati yang berbeda pula. Untuk mengetahui informasi mengenai bagaimana konservasi yang dilakukan di daerah Sulawesi, maka didalam makalah ini akan dilakukan studi literatur untuk mempelajari konservasi yang telah dilakukan beserta regulasi yang mengaturnya.

1.2. Identifikasi Masalah
1.      Apa saja upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah dilakukan pemerintah kepulauan Sulawesi.
2.      Apa saja regulasi yang mengatur upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi
3.      Apa saja keanekaragamanhayati yang  dikonservasi oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi

1.3. Maksud dan Tujuan
            Makalah ini dibuat dengan maksud agar dapat memahami peranan pemerintah dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati di pulau Sulawesi. Sedangkan tujuan dari pembuatan adalah untuk mengetahui peranan dan kebijakan  pemerintah dalam melakukan upaya konservasi keanekaragaman hayati di pulau Sulawesi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1       Pengertian konservasi
            Konservasi merupakan upaya pelestarian lingkungan dengan tetap memperhatika dan memanfaatkan yang dapat diperoleh pada saat itu dan mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan di masa depan. Upaya konservasi di Indonesia seharusnya dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi serta pihak-pihak lainnya (Susilo, 2011).
`           Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Kawasan Konservasi dibagi menjadi dua yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. KSA meliputi Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa. Sedangkan KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. KPA meliputi Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya (Dephut, 1998).
1.2       Keanekaragaman Hayati di Sulawesi
Pulau Sulawesi merupakan merupakan akhir dari penyebaran fauna oriental (Asia). Selat Makasar yang dikenal sebagai pemisah garis Wallace  merupakan benteng alam yang tidak dapat ditembus oleh penyebaran fauna dari wilayah barat, oleh karena itu pulau Sulawesi memiliki keunikan tersendiri ditinjau dari komunitas biologinya. Sehingga memiliki tingkat endemisitas fauna yang tinggi. Bahkan beberapa ahli menyebutkan bahwa pulau Sulawesi menunjukkan ciri dari wujud suatu pulau oseanik. Sulawesi adalah pulau yang sangat berharga bagi konservasi biologi karena memiliki tingkat endemik yang tinggi. Ada 165 jenis hewan mamalia yang endemik Indonesia, hampir setengahnya (46%) ada di Sulawesi. Dari 127 jenis mamalia yang ditemukan di Sulawesi, 79 jenis (62%) endemik. Hanya di daratan Sulawesi tercatat ada 233 jenis burung, 84 diantaranya endemik Sulawesi. Jumlah ini mencakup lebih dari sepertiga dari 256 jenis burung yang endemik Indonesia. Sulawesi didiami oleh sebanyak 104 jenis reptilia, hampir sepertiganya atau 29 jenis adalah jenis endemik. Itu berarti, dari 150 reptilia yang tercatat endemik di Indonesia, seperlimanya ada di Pulau Sulawesi (Tasirin, 2012).
Semenanjung utara Sulawesi (tanah Minahasa, Totabuan dan Gorontalo) merupakan kawasan terpenting di Sulawesi. Kawasan ini didiami oleh 89 atau sekitar 86% dari 103 jenis burung endemik di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya. Pernahkah anda membayangkan bahwa ada sebanyak 38 jenis tikus endemik Sulawesi. Hampir setengahnya (45%, 17 jenis) ada di semenanjung utara Pulau Sulawesi. Semenanjung utara ini juga menjadi rumah dari 20 jenis kelelawar buah endemik Sulawesi. Itu berarti, sebagian besar (atau lebih dari 83% dari 24 jenis) kelelawar endemik Sulawesi terdapat di kawasan ini.Sulawesi memiliki sejumlah satwa endemik yang menakjubkan (Tasirin, 2012).
1.3 Ancaman terhadap Kelestarian
            Populasi satwa-satwa asli Sulawesi sedang menuju kepunahan karena berbagai ancaman. Ada 81 jenis burung, mamalia, reptilia dan ampibi Sulawesi terdaftar dalam Red List of Threatened Animals yang diterbitkan oleh World Conservation Union (IUCN). Perburuan dan perusakan habitat merupakan ancaman serius bagi satwa-satwa asli Sulawesi ini. Perburuan menjadi marak karena orang Sulawesi memakan satwa-satwa ini. Namun konsumen terbesar ditemukan di Tanah Minahasa dan Totabuan. Sudah menjadi hal yang lumrah di sana bahwa seseorang memakan tikus, paniki, yaki dan tuturuga. Bahkan tak jarang mereka memakan babi hutan, kuskus, musang, anoa dan babirusa jika ada. Semua satwa asli Sulawesi ini bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional di tanah Minahasa (Tasirin, 2012).
Ancaman serius terhadap kelangsungan hidup adalah berkurangnya ruang habitat, menurunnya kualitas habitat dan perburuan. Berkurangnya luas habitat akibat dari konversi kawasan hutan baik legal maupun ilegal menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain. Mengingat populasi satwa ini sudah sangat memperhatinkan, apalagi Pemerintah dan semua pihak yang terkait perlu berpartisipasi dalam upaya pelestarian satwa ini baik secara insitu maupun eksitu. Sosialisasi diperlukan berkaitan pentingnya satwa ini terutama bagi penelitian, pendidikan, wisata maupun keseimbangan ekosistem. Begitupula dari segi konservasinya yaitu pentingnya satwa ini hidup bebas di habitatnya tanpa ada tekanan perburuan, kerusakan habitat serta kekurangan pakan (Ukf, 2011 ).
1.4 Upaya Konservasi di Sulawesi
Penangkapan satwa dan perusakan habitat satwa adalah perbuatan melanggar hukum dan memiliki sangsi pidana. Menahan satwa untuk dijadikan hewan peliharaan juga melanggar hukum dengan sangsi pidana yang cukup serius. Hukum Indonesia melindungi jenis-jenis langka ini karena populasi satwa-satwa ini yang menukik tajam, menuju ke kepunahan. Usaha penyelamatan satwa-satwa sulawesi ini bisa dilakukan dengan menegaskan penegakan hukum bagi para penjahat lingkungan, menghentikan penebangan (legal maupun illegal) di hutan-hutan yang menjadi habitat satwa langka, menghentikan perburuan, menghentikan kebiasaan memakan satwa liar, dan berpartisipasi aktif dalam usaha restorasi habitat dan pembiakan satwa secara alami (Tasrin, 2012).
            Ada beberapa hal strategis yang dapat dilakukan yaitu, habitat yang ada diluar kawasan konservasi segera ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung, sedangkan yang berada didalam taman nasional dijadikan zona inti agar satwa tersebut tidak terancam kelestariannya. Kedua, perlunya penyuluhan sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian satwa. Ketiga, perlunya merestorasi  habitat anoa yang rusak. Keempat, penelitian tentang teknik penangkaran sebagai upaya pelestarian eksitu perlu segera dilakukan. Dan Kelima, perlunya dilakukan penelitian mengenai data pasti jumlah populasi satwa yang ada di Sulawesi (Ukf, 2011 ).
1.4.1    Konservasi Suaka Alam ( KSA )
            KSA meliputi Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa. Berikut KSA yang terdapat di beberapa wilayah di Sulawesi.
A.        Sulawesi Utara
1.      Cagar Alam Tangkoko memiliki luas 3.196 Ha berlokasi di Bitung
2.      Cagar Alam Duasudara memiliki luas 4.299 Ha berlokasi di Bitung.
3.      Cagar Alam Lokon memiliki luas 716 Ha berlokasi di kabupaten Minahasa.
4.      Suaka Margasatwa Menembo-nembo memiliki luas 6.426 Ha berlokasi di kabupaten Minahasa.
5.      Taman Wisata Alam Batuputih memiliki luas 615 Ha berlokasi di Bitung.
6.      Taman Wisata Alam Batuangus memiliki luas 635 Ha berlokasi di Bitung.
7.      Suaka Margasatwa Karakelang memiliki luas 24.669 Ha berlokasi di kabupaten Talaud.
B.        Gorontalo:
1.      Cagar Alam MAS POPAYA RAJA; Gorontalo, dengan luas 100,00 ha
2.      Cagar Alam TANJUNG PANJANG; Gorontalo, dengan luas 3.000,00 ha.
3.      Cagar Alam PANUA; Gorontalo, dengan luas 45.575,00 ha.
4.      Cagar Alam TANGGALE; Gorontalo, dengan luas 112,50 ha.
C.        Sulawesi Tengah:
Sulawesi tengah memiliki  hutan seluas 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari wilayah ini (6.803.300 ha) merupakan kawasan hutan. Saat ini di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 8 unit Cagar Alam dengan total luas 378.894,82 ha, dan 7 unit Suaka Margasatwa dengan luas 68.144,00 ha.
1.      Cagar Alam
2.      Cagar Alam Pangi Binangga
3.      Cagar Alam Gunung Tinombala
4.      Cagar Alam Gunung Sojol
5.      Cagar Alam Gunung Dako
6.      Cagar Alam Tanjung Api
7.      Cagar Alam Morowali
8.      Cagar Alam Pati-Pati
9.      Cagar Alam Pamona
Suaka Margasatwa
            Menurut Noer, 2011 di provinsi Sulawesi Tengah terdapat suaka margasatwa :
1.      Suaka Margasatwa Pulau Dolangon, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat penyu dan habitat maleo.
2.      Suaka Margasatwa Pinjan Matop, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo, dan habitat penyu.
3.      Suaka Margasatwa Bakiriang, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat maleo.
4.      Suaka Margasatwa Lombuyan, potensi utama kawasan adalah sebagai rusa.
5.      Suaka Margasatwa Pulau Pasoso, potensi utama kawasan adalah habitat penyu dan habitat burung gosong.
6.      Suaka Margasatwa Pulau Tiga, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat biota Laut dan terumbu karang.
7.      Suaka Margasatwa Tanjung Santigi, potensi utama kawasan adalah sebagai habitat buaya muara.
D.        Sulawesi Tenggara:
1.      Cagar Alam KAKINAUWE
2.      Cagar Alam LAMEDAE
3.      Cagar Alam NAPABALANO
E.        Sulawesi Selatan:
1.      Cagar Alam PEGUNUNGAN FARUHUMPENAI; Luwu, Sulawesi Selatan.
2.      Cagar Alam KALAENA; Luwu, 110.000,00 ha, Sulawesi Selatan.
3.      Cagar Alam PONDA-PONDA.
1.4.2    Konservasi Pelestarian Alam
A. Sulawesi Selatan
            Taman Hutan Raya Abdul Latief di lokasi Taman Hutan Raya Abdul Latief terdapat berbagai jenis flora, diantaranya adalah: Pinus (Pinus sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Sengon (Paraserianthes falcataria), Kajuara (Ficus sp.), Pakis (Cyatea contaminans) kayu manis (Cinnamomum sp.), Spatodea, bambu (Bambusa sp.), pinang (Areca catecu), Pulai (Alstonia scholaris), kemiri (Aleurites mollucana), kopi hutan, mangga (Mangifera indica) serta berbagai jenis anggrek, baik anggrek tanah maupun anggrek pohon
B.        Sulawesi Tengah
Taman Nasional
            Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekositem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Sekarang ini di Provinsi Sulawesi Tengah telah ada 2 unit Taman Nasional  yaitu Taman Nasional Lore Lindu dengan luas 217.991,18 Ha, dan Taman Nasional Kepulauan Togean dengan luas 362.605,00 Ha., Kabupaten Tojo Una-Una.
Taman Hutan Raya
            Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam yang ditetapkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, dari jenis asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Saat ini terdapat  1 unit Taman Hutan Raya yaitu Tahura Palu yang luasnya sekitar 7.128 Ha, terletak di Kabupaten Sigi Biromaru dan Palu.
Taman Wisata Alam
            Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Saat ini di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 2 unit Taman Wisata Alam yaitu, Taman Wisata Alam Bancea dan Taman Wisata Alam Air Terjun Wera. Sedangkan untuk taman wisata alam laut terdapat 5 unit TWL dengan luas  sekitar 176.312,00 Ha, dengan rincian sebagai berikut:
1.      Taman Laut Teluk Tomori, dengan luas 7.200,00 Ha, terletak di Kab. Morowali.
2.      Taman Laut Pulau Tokobae, dengan luas 1.000,00 Ha, terletak di Kab. Morowali.
3.      Taman Wista Laut Tosale, dengan luas 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Donggala.
4.      Taman Wista Laut Pulau Peleng, dengan luas 17.462,00 Ha, terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan.
5.      Taman Wista Laut Kepulauan Sago, dengan luas 153.850,00 Ha, terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan.
Taman Buru
Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Saat ini terdapat 1 unit taman wisata buru yaitu Taman Buru Landusa, dengan luas 5.000,00 Ha, terletak di Kab. Poso & Morowali, potensi utama kawasan adalah sebagai penangkaran rusa, anoa dan babi rusa.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
1.  Apa saja upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah dilakukan Pemerintah Kepulauan Sulawesi.
            Berbagai macam upaya konservasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah di setiap wilayah provinsi masing-masing dengan cara membangun kawasan konservasi di wilayah masing-masing maupun dengan pembuatan PERDA yang mengatur tentang perlindungan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh untuk upaya konservasi insitu di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 6 KSA(Kawasan Suaka Alam) dan 8 KPA(Kawasan Pelestarian Alam) yang mengkonservasi berbagai jenis flora dan fauna endemik Sulawesi contohnya anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan macaca nigra. untuk konservasi eksitu contohnya ada pada Kebun Raya Enrekang yang berkonsentrasi untuk mengkonservasi tumbuhan tropika yang berasal dari seluruh Indonesia terutama tumbuhan yang berasal dari kebulauan yang berada pada garis Wallacea, contohnya Phalaenopsis amibilis, Eria pubescens dan  Spathoglotis plicata.
2. Apa saja regulasi yang mengatur upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi.
            Pemerintah kepulauan Sulawesi memiliki berbagai macam perda yang mengatur regulasi tentang konservasi di wilayah provinsinya masing-masing, sebagai contoh untuk regulasi konservasi eksitu adalah PERATURAN DAERAH SULAWESI UTARA NO 38 TAHUN 2003 yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berisikan 15 pasal mengenai pengelolaan dan perbaikan wilayah pesisir dan laut dan regulasi konservasi berbagai jenis mangrove di wilayah ersebut. Sulawesi Utara juga memiliki PERATURAN DAERAH SULAWESI UTARA NO 9 TAHUN 2002 yang mengatur regulasi dan konservasi terumbu karang dan ikan di Taman Nasional Laut Bunaken.  Untuk regulasi konservasi eksitu pemerintah Sulawesi Selatan memiliki PERDA NO 9 TAHUN 2009 yang mengatur tentang regulasi pengelolaan dan pemanfaatan Kebun Raya Enrekang yang menkonservasi berbagai macam tumbuhan tropika khususnya tumbuhan wallacea(tumbuhan yang terdapat di kepulauan garis wallacea, contohnya pulau flores, Maluku, NTT, NTB, dll).
3.  Apa saja yang dikonservasi oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi.
            Pemerintah kepulauan Sulawesi telah melakukan upaya konservasi terhadap berbagai jenis hewan endemik Sulawesi juga terhadap berbagai jenis satwa lain yang dilindungi yang menjadi konsentrasi konservasi satwa Indonesia. satwa satwa tersebut meliputi berbagai macam mamalia, reptile, burung bahkan insekta. 233 jenis burung, 84 diantaranya endemik Sulawesi. 104 jenis reptilian. beberapa jenis satwa endemic yang dikonservasi oleh pemerintah Sulawesi antara lain :   Maleo (Macrocephalon maleo). Babirusa (Babyrousa babyrussa). Yaki utara, the crested black macaque, (Macaca nigra). Anoa (Bubalus spp.). Kuskus (Ailurops ursinus dan Stigocuscus celebensis). Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii). selain satwa darat, pemerintah kepulauan Sulawesi juga mengkonservasi berbagai satwa perairan khususnya satwa laut, contohnya di Taman Nasional Bunaken yang memiliki 14 jenis cetacea, 2000 jenis ikan, 390 karang keras (63 genus dan 15 family).
4. Contoh konservasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi.
            Salah satu contoh konservasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kepulauan Sulawesi adalah konservasi berbagai jenis ikan dan terumbu karang yang ada di Bunaken, Taman ini terletak di Segitiga Terumbu Karang menjadi habitat bagi 390 spesies terumbu karang dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan mamalia laut. Taman Nasional Bunaken merupakan perwakilan ekosistem laut Indonesia, meliputi padang rumput laut, terumbu karang dan ekosistem pantai.
3.2 Pembahasan
            Pulau Sulawesi, yang terdiri dari 6 provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo, telah dikenal sebagai pulau yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang unik, sebagai contoh fauna yang berada di pulau ini yang merupakan fauna tipe peralihan, yakni tipe fauna campuran antara tipe fauna barat dan timur Indonesia, bahkan ditemukan hewan endemik yang menjadi khas tipe pulau tersebut serta berbeda dari kedua tipe fauna tersebut.
            Fauna endemik khas Sulawesi tersebut di antaranya adalah Maleo (Macrocephalon maleo). Babirusa (Babyrousa babyrussa). Yaki utara, the crested black macaque, (Macaca nigra). Anoa (Bubalus spp.). Kuskus (Ailurops ursinus dan Stigocuscus celebensis). Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) dan satwa perairan atau satwa laut seperti 14 jenis Cetacea, 2000 jenis ikan, 390 karang keras (63 genus dan 15 familia). Tidak kalah menariknya flora yang berada di Pulau Sulawesi ini merupakan flora yang berasal dari Nusa Tenggara dan Jawa, dan flora yang berada di habitat pantai, dataran rendah, dan pantai mirip dengan flora yang berada di Irian, fakta ini menandakan bahwa Pulau Sulawesi adalah pulau yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi karena tipe flora dan fauna yang termasuk ke dalam tipe peralihan atau campuran tipe Asiatis dan Australis.
            Telah diakui oleh dunia, keberadaan hewan dan flora endemik ini merupakan kekayaan penting bagi dunia. Berbagai ilmuwan datang ke Sulawesi dan menyatakan bahwa Sulawesi merupakan tempat tinggal ribuan jenis tumbuhan dan binatang yang tidak ditemui di belahan dunia manapun, dalam jurnal ilmiah Nature tim ilmuwan menyatakan bahwa Sulawesi berada dalam peringkat pertama dalam prioritas global bagi upaya kegiatan konservasi.
            Kegiatan pembangunan yang sedang digalakan, pengalihfungsian lahan, illegal logging, pembukaan lahan, dan pemburuan satwa liar merupakan ancaman serius bagi keberadaan flora dan fauna endemik di Sulawesi. Masalah konservasi merupakan masalah yang paralel dan melibatkan banyak pihak. Alih fungsi lahan di sektor pertambangan menurunkan jumlah Anoa, alih fungsi hutan mangrove yang menjadi tambak oleh oknum tak dikenal turut mengancam kelestarian lingkungan dari abrasi, illegal logging oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, serta perburuan satwa liar seperti babi rusa, sangat memprihatinkan, dan menjadi sorotan dunia dalam upaya konservasi. Berbagai peneliti asing dan relawan asing berdatangan ke wilayah-wilayah di Sulawesi memberikan edukasi dan terlibat langsung dengan kegiatan masyarakat dalam usaha konservasi lingkungan.
Umumnya topik utama yang mengancam keberadaan fauna endemik adalah soal ‘perut’ (konsumsi), babi rusa diburu tidak lagi memperhatikan kearifan lingkungan, tapi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka memburu dan menjual babi rusa dengan harga mencapai 150.000 rupiah. Pemerintah Indonesia, melalui Pemerintahan Daerah yang berada di Pulau Sulawesi melakukan upaya-upaya konservasi in-situ dan ex-situ untuk menindak lanjuti perusakan alam oleh manusia dan untuk mempertahankan keberadaan jenis flora dan fauna endemik ini.
Upaya konservasi in-situ merupakan konservasi spesies baik flora maupun fauna di habitatnya, sedangkan konservasi ex-situ adalah konservasi spesies diluar habitatnya. Upaya konservasi in-situ yang dilakukan Pemerintah Daerah di Sulawesi contohnya di Sulawesi Utara terdapat beberapa lembaga Konservasi Suaka Alam (KSA), antara lain : Cagar Alam Tangkoko , Suaka Margasatwa Karakelang , Cagar Alam Lokon , Suaka Margasatwa Menembo-nembo, Taman Wisata Alam Batu putih, Taman Wisata Alam Batu angus, dan Cagar Alam Dua sudara yang ada disekitar wilayah Bitung, Minahasa dan Talaud.
KSA yang terdapat di Gorontalo di antaranya : Cagar Alam Tanggale, Cagar Alam Panua, Cagar Alam Tanjung Panjang, dan Cagar Alam Mas Popaya Raja. Sulawesi Tengah memiliki Konservasi Suaka Alam (KSA) di antaranya : Cagar Alam Pangi Binangga, Cagar Alam Gunung Tinombala, Cagar Alam Gunung Sojol, Cagar Alam Gunung Dako, Cagar Alam Tanjung Api, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Pati-Pati, Cagar Alam Pamona, selain cagar alam di Sulawesi Tengah juga terdapat Suaka Margasatwa antara lain Suaka Margasatwa Pulau Dolangon, Suaka Margasatwa Pinjan Matop, Suaka Margasatwa Tanjung Santigi, Suaka Margasatwa Lombuyan, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso, Suaka Margasatwa Pulau Tiga, dan Suaka Margasatwa Bakiriang. Konservasi Pelestarian Alam. (KPA) yang ada di wilayah Sulawesi Tengah antara lain :  Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Kepulauan Togean, Taman Hutan Raya  Tahura Palu, Taman Wisata Alam Bancea, Taman Wisata Alam Air Terjun Wera, Taman Laut Teluk Tomori, Taman Laut Pulau Tokobae, Taman Wista Laut Tosale, Taman Wista Laut Pulau Peleng, Taman Wista Laut Kepulauan Sago, dan Taman Buru Landusa. Sedangkan di Sulawesi Tenggara terdapat Konservasi Suaka Alam antara lain Cagar Alam Napabalano, Cagar Alam Lamedae, dan Cagar Alam Kakinauwe. Sedangkan di wilayah Sulawesi Selatan Terdapat Konservasi Suaka Alam (KSA) yaitu Cagar Alam Pegunungan Faruhumpenai, Cagar Alam Kalaena, Dan  Cagar Alam Ponda-Ponda. Selain itu juga terdapat Konservasi Pelestarian Alam (KPA) yaitu Taman Hutan Raya Abdul Latief.
Dalam melakukan upaya konservasi pemerintah daerah membuat Peraturan Daerah (Perda) dalam rangka mengelola dan melindungi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Pulau Sulawesi ini. Salah satu contoh dari Peraturan Daerah yang mengatur konservasi in-situ adalah Peraturan Daerah Sulawesi Selatan No. 44 Tahun 2001. Perda  mengenai konservasi in-situ berisi tentang pengeloaan KPA maupun KSA seperti ; Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, dan Taman Wisata Alam, serta melakukan pendataan berdasarkan surat keputusan mengenai daerah dan nama-nama kawasan konservasi tersebut,  mengikat masyarakat untuk turut aktif dalam kegiatan konservasi, pemanfaatan sumber daya alam dari daerah konservasi diatur menurut ketetapan pemerintah daerah seperti harus ada izin terlebih dahulu untuk pembukaan lahan, pemanfaatan lahan wilayah konservasi, dan penyelidikan terlebih dahulu atau verifikasi dari pemerintah daerah sebelum melakukan pemanfaatan. Selain itu adanya regulasi untuk penarikan dana sebagai kompensasi upaya reabilitasi daerah konservasi dan izin masuk ke daerah konservasi, dan membagi wilayah konservasi untuk beberapa kegunaan seperti pariwisata, pemanfaatan sumberdaya alam,  Pemanfaatan sumber daya laut, penerapan batas garis wilayah pemanfaatan kawasan laut, dan pembagian wilayah hutan atau zonasi hutan juga turut diatur dalam undang-undang konservasi keanekaan hayati ini.
Dalam prakteknya upaya konservasi in-situ karena spesies yang dilindungi berada pada habitatnya, dilakukan batas-batas Cagar Alam, batas Suaka Marga Satwa, dengan batas daerah penggunaan lahan oleh masyarakat, sehingga dikenal dengan Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona Pemanfaatan. Pada Zona Pemanfaatan masyarakat sekitar dapat memanfaatkan secara langsung sumber daya alam yang ada di kawasan konservasi dengan pantauan peraturan setempat, berbeda dengan Zona Inti yakni zona khusus yang diperuntukan untuk perlindungan dan tidak diperkenankan adanya kegiatan-kegiatan eksploitasi lahan oleh masyarakat setempat.
Zona Penyangga adalah zona peralihan atau batas antara Zona Pemanfaatan dan Zona Inti, sebagai upaya konservasi terhadap Zona Inti yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Pada usaha konservasi in-situ, spesies dibiarkan hidup di daerah konservasi tersebut karena merupakan daerah atau habitat aslinya, pemantauan oleh manusia hanya dilakukan bila perlu.
Upaya konservasi ex-situ adalah konservasi spesies atau jenis di luar habitatnya, contoh upaya ini yang telah dilakukan pemerintah di Pulau Sulawesi, yakni dengan pendirian Kebun Raya Enrekang di Sulawesi Selatan dan Penangkaran Anoa di Bali Penelitian Kehutanan di Manado.
Upaya konservasi ex-situ dengan pembangunan Kebun Raya Enrekang di Sulawesi Selatan ini berkonsentrasi mengkonservasi tumbuhan tropika yang berasal dari seluruh Indonesia, terutama tumbuhan yang berasal dari kepulauan yang berada pada garis Wallacea, usaha ini pun diatur dalam regulasi Perda Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009 mengenai pengelolaan pembangunan tata ruang dan tata guna lahan untuk upaya konservasi ini. Adapun upaya konservasi ex-situ lainnya yakni dengan melakukan penangkaran Anoa di Balai Penelitian Kehutanan (BPK) di Manado.
Berbeda dengan upaya konservasi secara in-situ, upaya konservasi ex-situ adalah upaya konservasi dengan kontrol penuh atau keterlibatan penuh manusia atau dengan kata lain intervensi manusia lebih ditekankan untuk melihat perkembangan spesies yang dikonservasi, sebagai contoh penangkaran Anoa di BPK Manado dilakukan inseminasi buatan untuk mempertahankan eksistensi Anoa di Sulawesi dan dilakukan monitoring terhadap perkembangan Anoa yang diinseminasinya.
Salah satu contoh taman nasional yang terdapat di Sulawesi adalah Taman Nasional Bunaken. Taman Nasional Bunaken adalah salah satu taman laut Indonesia yang terletak di Sulawesi Utara. Menurut catatan Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Taman Nasional ini merupakan perwakilan ekosistem perairan tropis yang ada di Indonesia, terdiri dari ekosistem hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem daratan/pesisir.
Flora taman nasional ini terdiri dari flora hutan pantai dan tumbuhan daratan. Terdapat kurang lebih 29 spesies tumbuhan mangrove di ekosistem hutan pantai/bakau menurut Buku Panduan Lapangan Taman Nasional Bunaken (1999) beberapa di antaranya yang mendominasi adalah Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia sp. Tumbuhan dan pohon daratan asli yang ada di taman nasional ini di antaranya bambu, Livistona rotundifolia, Calamus spp. Arenga sp., beringin (Ficus spp.), Macaranga mappa, dan Piper aduncum.
Tidak kalah pentingnya fauna yang masih banyak ditemukan di TN Bunaken misalnya beberapa mamalia seperi : yaki hitam (Macaca nigra) dan kus-kus, rusa, dan tarsius, yang beberapa di antaranya merupakan fauna endemik Sulawesi. Sedikitnya terdapat 30 jenis burung laut dan burung rawa yang terdapat di daerah ini, seperti camar laut, bangau rawa laut, dan burung-burung penangkap ikan lainnya. Adapun burung pipit, drongi, gagak, dan burung hantu juga ditemukan di kawasan Taman Nasional Bunaken ini. Beberapa jenis reptil seperti kadal, ular baik berbisa maupun tidak berbisa juga dapat ditemukan sepanjang kawasan Bunaken.
Taman Nasional Bunaken memiliki tiga jenis ekosistem pesisir utama, yakni Hutan Bakau (Mangrove), Padang Lamun, dan Terumbu Karang. Terdapat lebih dari 58 genus dan sub-genus karang keras yang terdapat di TN Bunaken, fakta ini menyatakan bahwa jumlah genus terumbu karang yang terdapat di Bunaken melebihi daerah terumbu karang yang terkenal di Karibia, selain itu terdapat sekitar 2.000 jenis spesies ikan di kawasan TN Bunaken yang tercatat di Buku Panduan Lapangan TN Bunaken (1999). Terdapat pula organisme laut lainnya seperti alga laut, Foraminifera, Sponge/spons, Cnidaria (karang keras, karang lunak kipas laut, hydroid, anemone, dan ubur-ubur). Cacing laut, Crustaseae, Echinodermata, Moluska, dan Ascidian (sejenis hewan Avertebrata penyaring air yang melekat pada terumbu, biasa dikenal sebagai Tunikata).
Ikan tropis yang berada di seluruh dunia yakni sekitat 7000 jenis, 30% darinya terdapat di Taman Nasional Bunaken dan sangat bergantung pada keberadaan terumbu karang. Ikan hiu, ikan pari, ikan pelagis bisa ditemui di TN Bunaken, namun untuk keberadaan hiu mulai langka ditemui karena seringnya aksi penangkapan untuk mendapatkan siripnya yang bisa dijual dengan harga yang mahal. Hiu terumbu, hiu ekor putih (Triaenodon obesus) dapat ditemui sesekali di rataan terumbu saat air pasang. Ikan-ikan cantik seperti Angelfish, Anemonefish, Batfish, dan ikan kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati ikan yang ada di TN Bunaken.
Menyadari bahwa Bunaken memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang tinggi, jalur migrasi bagi hewan laut Cetaceae (paus, lumba-lumba) penyu, dan habitat fauna endemic Macaca nigra, serta memiliki nilai ekonomis dan pariwisata alam, pemerintah daerah Sulawesi membuat Perda yang berfungsi mengatur, mengelola, dan mengkonservasi kekayaan hayati di Sulawesi Utara ini, di antaranya : menetapkan kawasan ini sebagai Taman Nasional Bunaken pada tanggal 15 Oktober 1991; menetapkan Zonasi Taman Nasional Bunaken menjadi Zona Inti (Zona Pemulihan dan Rehabilitasi), Zona Pemanfaatan (Zona Pemanfaatan Terbatas dan Intensif), dan Zona Pendukung (Zona Pendukung Perairan, Zona Pendukung Daratan, dan Zona Pendukung Umum, serta Zona Penyangga) berdasarkan SK Dirjen PHPA No.147/Kpts/DJ-VI/1997.
Penetapan Bunaken sebagai Taman Nasional, dikhususkan untuk tiga tujuan berikut (Buku Panduan Lapangan TN Bunaken, 1991) : sebagai tempat konservasi hewan maupun tumbuhan unik dan langka, serta habitatnya baik yang ada di laut maupun di darat; sebagai tempat mencari nafkah yang berkelanjutan bagi sekitar 20.000 jiwa penduduknya, yang bergantung pada sumber daya alam dalam kawasan, dan sebagai tempat bagi pengembangan terbatas kegiatan wisata alam (khususnya wisata selam).
Banyak aktifitas manusia yang merusak lingkungan di daerah TN Bunaken, mengingat jumlah penduduk yang menghuni kawasan Bunaken mencapai 20.000 jiwa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hampir keseluruhan bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani. Kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan petani banyak merusak tumbuhan asli flora peralihan yang terdapat di Bunaken dan mengancam eksistensi hewan dan burung yang menghuni kawasan tersebut seperti Macaca nigra, dan kegiatan pembukaan lahan ini mengancam masuknya erosi tanah ke laut, perambahan hutan bakau menjadi kayu bakar dan keperluan lainnya juga telah lama menjadi ancaman seperti abrasi laut bagi daerah sekitar Bunaken, belum lagi para nelayan yang menggunakan bom dan pukat harimau untuk mengambil terumbu karang dan ikan sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistem laut, banyak dari ikan yang tinggal di terumbu karang akan terancam, juga ikan-ikan juvenil dan muda akan terbawa dan mati akibat bom dan pukat harimau ini.
Pemerintah daerah Sulawesi Utara membangun regulasi untuk upaya konservasi di Bunaken ini, di antaranya Perda, dan sistem terstruktur organisasi Balai TN Bunaken. Kepala Seksi Konservasi langsung di bawah Kepala Balai TN Bunaken membentuk tiga Sub-Seksi Konservasi yakni unit Pulau Mantehage, Pulau Nain, dan Pulau Siladen; unit Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, dan Tanjuk Pisok; unit Arakan-Wawontulap. Serta terdapat bagian Jagawana, Pariwisata Alam, dan Staf Teknis Konservasi yang juga berada langsung di bawah Kepala Balai TN Bunaken. Pemerintah daerah melalui struktur organisasi ini menindaklanjuti kegiatan yang merusak lingkungan seperti pemboman dan pukat harimau serta pembukaan lahan tanpa izin melalui patrol laut dan daerah daratan di kawasan TN Bunaken.
Peraturan Daerah Sulawesi Utara mengenai aturan pengunjung juga ditetapkan sebagai usaha rehabilitasi dan pengelolaan daerah wisata seperti retribusi pengunjung dan aturan masuk mengunjungi TN Bunaken, seperti pada Perda Provinsi Sulawesi Utara No.14 Tahun 2000 mengenai Pungutan Masuk yang dikenakan bagi pengunjung, dan petunjuk pelaksanaan Perda yang mengatur konservasi Taman Nasional Bunaken SK Gubernut No.49 Tahun 2001. Hingga kini, masih sering terjadi pelanggaran yang dilakukan warga sekitar dan oknum yang tidak dikenal, untuk itu upaya konservasi ini memerlukan usaha yang menyeluruh melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memanfaatkan kearfan lokal yang telah ada di Bunaken, turut serta pemerhati konservasi dunia dari berbagai pihak seperti peneliti asing juga dapat membantu usaha rehabilitasi dan konservasi yang baik bagi pengelolaan TN Bunaken ini agar tetap dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekitar namun tidak dengan merusak lingkungan Bunaken.


BAB IV
KESIMPULAN

1.      Upaya konservasi in situ yang telah dilakukan pemerintah Kepulauan Sulawesi adalah dengan membangun suatu cagar alam, taman nasional, taman wisata dan suaka margasatwa. Sedangkan konservasi ex situ yang dilakukan pemerintah kepulauan Sulawesi ialah dengan membangun taman hutan raya dan kebun binatang.
2.      Regulasi yang dilakukan pemerintah Kepulauan Sulawesi diantaranya ialah adanya SK.418 Tahun 2004 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Kawasan Perairan seluas ± 362.605 (Tiga Ratus Enam Puluh Dua Ribu Enam Ratus Lima) Hektar, terletak di Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah Menjadi Taman nasional Kepulauan Togean dan menurut SK.398 Tahun 2004 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung - Bulusaraung Seluas ± 43.750 hektar terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Menjadi Taman Nasional Bantimurung–Bulusaraung.
3.      Dari 127 jenis mamalia yang ditemukan di Sulawesi, 79 jenis (62%) endemik. Hanya di daratan Sulawesi tercatat ada 233 jenis burung, 84 diantaranya endemik Sulawesi. Jumlah ini mencakup lebih dari sepertiga dari 256 jenis burung yang endemik Indonesia. Sulawesi didiami oleh sebanyak 104 jenis reptilia, hampir sepertiganya atau 29 jenis adalah jenis endemik. Salah satu hewan yang ada di pulau Sulawesi ini adalah Anoa dan Babi rusa.
4.      Contoh konservasi yang dilakukan oleh pemerintah kepulaun Sulawesi antara lain : Cagar Alam Lokon (Sulawesi Utara), Suaka Margasatwa Pulau Dolangon (Sulawesi Tengah), Cagar Alam Kakinauwe (Sulawesi Tenggara), Cagar Alam Kalaena (Sulawesi Selatan), dan Cagar Alam Panua (Gorontalo).


DAFTAR PUSTAKA

Adishakti.2007. Pengertian Konservasi. http: // www.scribd.com/doc/80536741/PENGERTIAN-KONSERVASI . Diakses pada tanggal 22 Maret 2013.
Anonim,2013. Peraturan Pemerintah Replubik Indonesia. http: // www.dephut.go.id/files/PERATURAN%20PEMERINTAH%20REPUBLIK%20INDONESIA%20NOMOR%2068%20TAHUN%201998_0 .pdf.
John,Tasirin. 2013. Konservasi Keanekaan Hayati Sulawesi. www.// celebio.org/beranda/konservasi-keanekaan-hayati-sulawesi /. Diekses pasa tanggal 22 Maret 2013.
Noer. 2011. Gambaran Hutan Konservasi Di Sulawesi Tengah. http :// noerdblog.wordpress.com/2011/10/25/gambaran-hutan-konservasi-di-sulawesi-tengah /. Diakses pasa tanggal 22 Maret 2013.
Susilo. 2011. Pengertian Konsevasi .http :// susilofy.wordpress.com/2011/02/18/pengertian-konservasi /. Diakses pada tanggal 22 Maret 2013.
Ukf. 2011.  Konservasi Herbivora Sulawesi.  http :// unikonservasifauna.org/2011/02/konservasi-herbivora-sulawesi /. Diakses pada tanggal 22 Maret 2013.


Description: D:\data\myu\maru\Lambang Unpad.jpgKEANEKAAN HAYATI DAN LEMBAGA KONSERVASI DI PULAU SULEWESI





DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 05
Nurmaryati. S
140410100003
Ifran Fauzi
140410100045
Tika Noviana
140410100012
Ismi Istiqomah. R
140410100051
Adhy Widya. S
140410100014
Novandha L. W
140410100056
Nisa Auliya. M
140410100027
Karlina Sulistiyani
140410100088
Dini Primadiani
140410100032
Silmi Nur. S
140410100102
Hana Hunafa
140410100036
Ilyas Nursamsi
140410100104
Acep. M Hamdan
140410100043



JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2013

No comments:

Post a Comment